09. Canggung

222 33 0
                                        

Aku sengaja mengunjungi rumah keluarga Dimar sambil membawa sekantung buah jeruk. Sebetulnya aku tidak punya ide sih, apa yang harus aku bawa ketika menjenguk orang yang sakit.

Sudah begitu, aku harus pura-pura jadi siswa les Dimar sementara aku tidak tau apa-apa soal dia. Satu hal yang pasti, aku sudah minta Dimar mencari tau identitas dirinya sendiri di kamarnya, dan dia menemukan beberapa buku IPA SMP, kalender akademik, juga beberapa lembar kertas ulangan.

Aku menyimpulkan bahwa Dimar adalah seorang guru.

Dengan keberanian dan tekad, aku menekan tombol bel rumah keluarga Dimar. Lalu, wanita yang tempo hari berbicara denganku keluar. Tampaknya ia masih mengenalku karena aku melihatnya tersenyum ramah.

"Oh, neng yang kemarin, ya? Ayo masuk. Ibu ada di kamar."

Aku hanya bisa membalas dengan senyum, sembari mengikutinya masuk ke dalam rumah. Dimar berjalan di belakangku, dia bahkan tersandung sepatuku. Konyol.

"Neng tunggu di sini sebentar ya, duduk dulu aja." Wanita itu berhenti di ruang tamu, lalu masuk lebih dalam ke rumah.

Tanpa sadar aku sudah menahan nafasku, hingga setelah yakin bibi sudah meninggalkanku, aku menarik nafas begitu dalam.

"Gugup amat sih," tiba-tiba aku mendengar Dimar menyeloteh, dan mendapatinya duduk dengan begitu santai di sofa putih yang tampak nyaman. "Anggap aja rumah sendiri,"

"Iyalah," Aku memutar bola mataku. "Ini kan rumah kamu, bukan rumah saya." Meskipun begitu, aku tetap duduk di sebelah Dimar. Sesekali aku mengaitkan rambut ke belekang telingaku, sambil mencoba melafalkan kata-kata yang sudah kucoba latih untuk dikatakan pada ibu Dimar.

"Kamu nggak usah gugup. Kelihatannya ibu saya orang baik, kok."

Sekali lagi aku menoleh pada Dimar. Aku masih tidak habis pikir kecelakaan yang mengakibatkan otaknya pecah membuat seluruh ingatannya hilang. Tapi sejauh ini, untuk mengingat bahwa dia memiliki ibu yang saja sudah kusyukuri.

"Nanti kamu tetep ikut saya, tapi jangan ngomong apa-apa. Paham?"

Dimar mengangkat jempolnya, lalu mengangkat salah satu kakinya ke lutut kakinya yang lain, dan meregangkan kedua tangannya ke punggung sofa. Hingga tak sengaja, salah satunya menyentuh bahuku.

Aku bergidik. Bukan karena tangannya yang dingin, tapi lebih ke perasaan canggung yang tiba-tiba saja datang entah dari mana.

"Neng, ibu ada di kamar. Mari, ikut saya."

***

The Death DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang