05. Makam

268 40 0
                                        

Perutku sudah bunyi untuk ke sekian kalinya. Padahal aku sudah memakan semua cemilan yang kubawa dari rumah, tapi tetap saja lapar. Mungkin cuaca dingin, angin malam, serta bulu kuduk yang kadang-kadang berdiri begitu tubuhku yang sensitif merasakan kehadiran-kehadiran makhluk ghaib.

Ya iyalah, orang gue udah nunggu di makam lebih dari tiga jam.

Besok adalah hari Minggu. Teman-teman juga tidak ada yang menganggur karena mereka semua punya agenda masing-masing di malam minggu. Aku? Aku juga punya agenda, yaitu menunggu Dimar pulang.

Tapi laki-laki itu bahkan belum pulang saat jam sudah hampir menuju jam malamku. Kalau aku pulang dengan tangan kosong, aku pasti akan membunuhnya kalau dia kutemukan nanti.

Eh, dia kan sudah mati.

Saat mataku sedang lelah-lelahnya menahan kantuk, aku mendengar seseorang datang. Kupikir mungkin dia satpam, atau penjaga malam makam ini. Tapi ternyata, yang datang itu adalah Dimar.

Aku tertegun. Ini pertama kalinya aku mendengar langkah seorang hantu tampak begitu seperti manusia.

"Woy," panggilku, setelah yakin kalau dia itu Dimar.

Pria itu melirikku. Meski kaget melihatku duduk di tembok yang mengelilingi tempat tubuhnya dimakamkan, pria itu tampak terlalu lelah untuk protes atau marah. Lantas, dengan pasrah duduk di sebelahku.

Pria itu masih memakai pakaian yang sama, tentu saja. Kemeja biru muda, dasi yang melonggar, celana bahan hitam, serta rambut yang semakin acak-acakan. Aroma tubuhnya juga tampak begitu familiar, masih sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya.

"Kamu dapat apa hari ini?" Tanyaku, menebak bahwa Dimar telah mencari banyak sekali hal yang membuatnya tertahan di dunia, atau mungkin mengobati amnesianya.

Nada ceriaku mungkin sedikit membuat emosinya naik. Buktinya, dia justru melirik ke arahku dengan pandangan mata yang dingin. Biar kutebak, mungkin dia tidak menemukan apa-apa, atau justru menemukan sesuatu yang di luar harapannya.

"Kalau kamu emang malaikat kematian," Dimar membuat jeda sebentar, sambil memandangku lekat-lekat. Dia bahkan memiliki ekspresi intimidasi yang membuat nyaliku agak ciut, sampai-sampai secara tidak sadar, aku menarik tubuhku menjauh darinya. "Kerja yang bener." Lanjutnya dengan penekanan di setiap kata.

"Apa?" Aku melongo. Dia mau menasehatiku untuk kerja dengan baik atau... apa sih, maksudnya?

"Buat apa kamu ada kalau kamu nggak bisa bikin saya cepet-cepet nyampe ke akhirat!" Tiba-tiba saja pria itu meledak. "Kerja itu yang becus, dong!" Dia menunjuk-nunjuk wajahku dengan emosi, lalu tiba-tiba berdiri dan menendang-nendang daun kering di sekitar makamnya sendiri.

Aku masih diam karena bingung harus mengatakan apa, sementara dia terlihat begitu frustasi. "Kamu nggak liat makam saya masih baru, tapi nggak ada bunganya!?" Dia menunjuk ke arah kuburan belakangku, yang sedihnya memang terlihat miskin dari tebaran bunga warna-warni. "Nggak ada yang sedih saya mati. Puas kamu!?"

Ada sedikit rasa perih waktu Dimar mengatakan kalimat tersebut, tapi kemudian aku teringat ibunya yang sekarang sedang sakit karena memikirkan Dimar. Mungkin saja Dimar masih hilang ingatan. "Kamu nggak pulang?" Nada bicaraku berubah pelan, tidak seceria tadi. Aku bahkan sedikit takut karena Dimar sedang emosi. Aku sedang berusaha menanamkan keyakinan pada diri sendiri bahwa hantu tidak akan bisa melukaiku.

"Pulang?" Dia mengulang, tampak bingung.

Aku mengangguk, sambil tetap melawan tatapannya yang dingin. "Ibu kamu." Aku membuat jeda. "Ibu kamu yang sedih kamu meninggal."

"Ibu?"

Aku memahami sesuatu ketika ekspresi Dimar tidak berubah, namun dia kembali duduk dengan rasa frustasi yang sama. Dia masih tidak ingat apa-apa.

***

The Death DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang