Suara kaleng kosong yang kutendang dan membentur dinding taman kota terdengar di sunyinya malam itu. Aku menarik nafas panjang, lalu menghelanya lagi dengan begitu frustasi.
Dimar sudah tidak berada di sebelahku atau dibelakangku, atau dimanapun di dekatku. Aku sudah mengusirnya.
Iya, aku yang memintanya pergi.
***
Aku tidak terlalu paham kata apa yang bisa menggambarkan ekspresi Ibu Dimar saat melihat sosokku. Dia tampak begitu terkejut.
Dalam waktu yang cepat, dengan momen yang tak bisa kucerna, ibu Dimar memintaku mendekatinya, lantas memelukku sambil menangis, seolah baru saja melihat anaknya yang hilang atau apa.
"Agni, Agni sayang, Agni," dia tidak mengatakan apapun dalam beberapa menit pertama, kecuali namaku. "Agni sayang, kamu di sini. Agni...,"
Beberapa saat setelah ibu Dimar merasa lebih tenang, ibu Dimar masih mengatakan hal-hal yang tak masuk di akalku. Sesekali aku melirik Dimar untuk meminta penjelasan, tapi percuma saja karena dia tampak sama bingungnya denganku.
Lalu, saat ibu Dimar berhenti menangis dan mengusap telapak tanganku, ia berkata, "Semoga kamu ikhlaskan kepergian Dimar, Sayang."
"Bu," Suaraku tercekat. Semua yang ingin aku katakan sejak dari rumah sudah meluap pergi. "Saya sama sekali nggak ngerti ibu ngomong apa," ucapku, meski sebagian besar dalam diriku tau kalimat tersebut akan melukai hati ibu Dimar.
Seperti yang kuduga, ibu Dimar merubah ekspresinya. Dia menarik tangannya dari telapak tanganku, lalu mengusap rambutku dengan begitu lembut. Sebuah sentuhan yang tampak familiar.
"Kamu pasti shock banget sejak kecelakaan itu, ya," Ibu Dimar tersenyum lirih, sementara aku terkejut karena ibu Dimar tau soal insiden itu. "Ibu cuma bisa bilang...," ibu menggantungkan kata-katanya. "Maafin Dimar atas apapun yang dia lakukan sama kamu, nak. Meskipun dia bodoh, dingin, ceroboh, tidak pernah jujur, dan sering membuat orang sakit hati, ibu tau dia sayang banget sama kamu.
"Ibu minta maaf, telah memisahkan kalian berdua selama ini."
***
Aku masuk ke kamar Dimar setelah mendapatkan izim dari ibunya, lalu terkejut. Aku tau Dimas berdiri di ambang pintu kamar, tampak merasa bersalah karena menutupi apa yang aku lihat saat itu.
Ada beberapa foto dipajang di atas meja laci panjang di dekat jendela. Fotoku, foto Dimar, foto kami berdua.
Aku memperhatikannya satu persatu. Dimar bahkan pernah berfoto bersamaku dan Taufik saat masih kecil. Foto lainnya saat Dimar lulus SD, sementara aku tampak memakai seragam TK.
Tapi semua foto kami berdua tidak ada setelah insiden itu. Aku menemukan kotak kayu di sudut meja dan langsung membukanya.
Apa yang kutemukan? Semua adalah fotoku saat aku SMA. Saat aku berangkat, pulang sekolah, saat aku dan teman-temanku jajan, saat aku menunggu angkot di pinggir jalan. Semua foto paparazzi ini, Dimar yang ambil?
Selain itu juga, aku melirik kotak sampah di sudut meja karena beberapa gulungan kertas menarik perhatianku. Begitu membukanya, aku menemukan foto wisuda sarjana Dimar bersama ibunya, yang dicoret dan sobek di beberapa bagian.
Aku tidak paham. Tidak paham sama sekali.
Dimana buku-buku IPA SMP yang Dimar katakan kemarin? Kamarnya tampak begitu rapi, tanpa ada buku-buku pelajaran sekolah sama sekali. Kebanyakan diisi oleh peralatan komputer, alat-alat fotografi, kamera.
Apa yang sebenarnya terjadi?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Day
Short StorySaat teman-temanku melihat ke arah korban kecelakaan, aku melihat seseorang di belakang kerumunan, memandang naas tubuhnya sendiri.