07. Teman

242 33 0
                                    

Aku memejamkan mata. Lalu membukanya. Sekali lagi aku memejamkan mata, lalu membukanya.

Aku seperti orang bodoh, menyaksikan orang lain tidur di kamar yang sama denganku. Dan dia adalah seorang laki-laki.

Tapi ini sudah pagi, dan aku harus berangkat sekolah.

***

Pelajaran olahraga adalah pelajaran yang paling kubenci. Aku benci jika harus berlari. Aku rasa, rasa benci ini dimulai ketika aku menyadari kalau aku bisa melihat hantu.

Mereka bisa terbang, seolah tak punya beban. Tidak perlu berlari, mereka sudah bisa pergi kemanapun dengan cepat.

Sepertinya mereka tidak pernah capek.

"Nih,"

Aku mendongak, menemukan Eiffel sedang menyodorkanku sebotol minuman isotonik. Dia itu yang disebut Dimar sebagai cowok culun -yang kemudian memang kuakui.

Botol yang kuterima seolah dilihat sebagai lampu hijau oleh Eiffel, sehingga akhirnya dia bisa duduk di sampingku selama jam istirahat. Atau setidaknya, sampai aku ingin kita tidak bersama lagi.

"Kamu apa kabar?"

Dia bertanya sementara aku sibuk menyeka keringatku dengan tisu basah. Aku tidak mau Eiffel melihatku berkeringat, kucel, dan bau seperti ini. Kenapa juga sih, dia harus datang di saat yang tidak tepat?

"Baik. Kenapa?"

"Kita udah lama nggak ngobrol. Kamu nggak mau ngobrol sama aku?"

Aku menyipit ke arahnya, lalu kembali memandang lurus ke lapangan. "Yang nyuruh aku buat nggak ganggu kamu, kan kamu."

Eiffel tersenyum lirih, membuatku jadi kesal melihatnya. "Ya udah, bagus." Tuh, kan? Bagian mana dari diri Eiffel yang bisa membuatku malah suka sama dia sih?

"Aku pergi dulu, ya."

Kisah tentang aku yang suka sama Eiffel memang nggak pantas untuk diceritakan. Selain kebanyakan hanya aku saja yang banyak menyimpan rasa untuk dia, Eiffel juga tidak menganggap aku sebagai calon-apanya-gitu. Kami hanya berteman sejak kecil. Itu saja.

Bahkan pertemanan yang panjang ini pun tidak tampak istimewa di hadapan Eiffel. Mungkin itu karena sejak keluargaku meninggal, Eiffel juga, sama seperti yang lain, menganggapku gila. Bicara sendiri, ketakutan sendiri, tiba-tiba menangis, sensitif terhadap cerita-cerita seram yang dibuat lelucon (selain karena selera humorku memang rendah).

Eiffel mungkin ilfeel, meski saat SMA dia mengatakan bahwa dia sayang padaku sebagai teman. Tunggu saja sampai dia tau kalau rumor di sekolah juga disebabkan olehku, mungkin dia akan menyuruhku pergi ke psikiater.

Tapi seumur hidupku, selain adik dan ayahku, tidak ada lagi laki-laki yang berada di dekatku. Eiffel nyaris terlihat seperti kakak, sekaligus adik (kadang-kadang). Karena itulah, tidak seperti Eiffel, aku tidak pernah menganggapnya saudara. Eiffel bukan adik atau kakakku, tapi Eiffel adalah Eiffel.

***

The Death DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang