12. The End of the Dead Day

300 39 3
                                    

Ini hari ke empat puluh. Aku yang tidak berhasil membantu Dimar, sudah pasrah dengan segala konsekuensi yang akan aku terima. Alih-alih marah, sebetulnya aku lebih ingin meminta maaf.

Orang yang sejak awal kehilangan ingatannya bukanlah Dimar, tapi aku. Konyol, memang. Tapi, mungkin ini memang takdirnya.

Ternyata, perasaan suka sejak kelas 6 SD ini, lahir bukan karena Eiffel, tapi karena Dimar. Dimar yang berbeda enam tahun lebih tua dariku, bagaimana aku bisa lupa.

Pantas saja, aroma tubuh Dimar tampak begitu familiar. Saat aku menyentuhnya pertama kali di jendela, aku tidak merasakan apa-apa. Tapi sewaktu kami tak sengaja bersentuhan di sofa rumah keluarga Dimar, rasanya begitu nostalgia.

Separah apa hingga aku tidak mengingat Dimar sama sekali? Aku bahkan mengiranya orang yang berbeda. Kalau Dimar tau, dia pasti akan sakit hati, dan mungkin marah-marah seperti tempo hari.

Aku menarik sudut bibirku.

Rasanya lucu, sekarang aku berada di hadapan makam Dimar, meminta maaf dengan segala kebodohanku. Aku membawa buah jeruk, yang sudah aku ingat bahwa jeruk adalah favorit Dimar. Pantas saja rasanya aku hanya kepikiran jeruk saat menjenguk ibunya.

Tapi, kali ini ada yang berbeda. Aku membawa setangkai mawar, dan meletakkannnya tepat di depan nisan Dimar. Lalu aku berdoa.

"Kalau kamu dihantuin lagi, aku nggak bisa nolongin lagi, lho."

Suara yang sekarang tampak begitu asing (terutama karena dia merubah gaya saya-kamu menjadi aku-kamu) terdengar begitu aku mengucapkan kata aamiin. Aku menoleh, lalu menemukan Dimar dengan pakaian yang benar-benar berbeda. Lebih bersih, lebih rapi.

"Kenapa?" Aku bertanya polos. Tapi yang kulihat berikutnya adalah senyum Dimar yang lancip.

Dia berjalan ke arahku. Aku baru menyadari bahwa kami memakai pakaian dengan earna yang senada, seperti tidak sengaja jadi pasangan.

Aku membiarkan Dimar berhenti setengah meter di depanku, membuat tangannya yang berada di dalam saku, keluar untuk sekedar mengusap puncak kepalaku.

Tangannya tidak sedingin dulu.

"Kamu hati-hati, ya." Katanya. "Kalaupun aku nggak ada, masih ada orang lain yang nanti Tuhan tunjuk untuk menjaga kamu."

Kalau selama ini aku tidak terbiasa menangis, entah kenapa, rasanya sekarang aku ingin sekali menangis. "Iya,"

Terimakasih, karena kamu sempat hadir di hidupku.

***

Aku tidak tau pasti apakah aku berhasil atau tidak membantu Dimar pulang. Tapi yang pasti, mereka tidak pernah hadir lagi di mimpi atau dunia nyata di hadapanku. Selamanya, mungkin?

TAMAT

The Death DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang