06. Denah Untuk Dimar

241 37 0
                                    

"Jadi gini. Kamu harus pulang ke rumah dan temui ibu kamu. Walaupun dia nggak bisa melihat kamu, seenggaknya kamu bisa melihat keadaan dia. Kamu harus ingat, apa yang belum kamu lakukan untuk dia sampai-sampai kamu nggak bisa pergi ke akhirat. Inget ya, kamu harus ing... Dimar! Dengerin saya nggak, sih!?"

***

Setelah berhasil menenangkan Dimas di makam, aku membujuknya supaya dia mau ikut pulang denganku. Masalahnya, untuk menyelesaikan masalah ini, kami membutuhkan rencana. Dan aku tidak akan bisa berpikir kalau perutku kosong.

Oleh karena itu, kami memutuskan untuk membicarakannya di rumah.

Aku tau, pertama kali Dimar masuk ke dalam rumahku, dia tampak begitu canggung. Dia bahkan tidak seperti sebelumnya, berubah jadi kalem dan duduk manis di salah satu bangku kosong di meja makan ketika aku sedang makan malam. Nenek dan kakek sudah tidur, dan aku sudah mendesain kamarku agak pembicaraanku tak terdengar oleh orang lain.

Karena aku akan terlihat seperti orang gila.

"Ini rumah cewek. Saya harus jaga santun."

Rasanya ingin ngakak ketika mendengar alasan Dimar kenapa dia begitu terlihat kaku. Memangnya siapa yang akan melihat dia selain aku? Toh, aku juga tidak akan merasa keberatan bahkan jika dia ikut makan malam denganku.

Tapi sekali lagi, aku tidak paham sedikitpun kenapa begitu masuk ke kamarku, seolah Dimar berubah lagi. Tau-tau saja dia jadi tidak bisa diam, mondar-mandir memperhatikan barang-barang yang ada di kamarku. Bahkan ketika aku sedang bicara mengenai rencanaku tadi, Dimar malah asik membaca diari pribadiku.

"Saya nggak tau kamu suka sama cowok culun." Itu komentarnya yang paling menyebalkan ketika Dimar tak sengaja menemukan sebuah fotoki bersama laki-laki berkacamata yang memang terlihat culun.

"Bawel." Umpatku kesal, lalu merebut kembali foto tersebut dari tangan Dimar dan menyelipkannya di buju diary sebelum menutupnya. "Mau saya lanjutin gak, rencananya?"

"Oke," Dimar menarik tubuhnya duduk bersila di hadapanku. Sekarang, kami sama-sama duduk saling berhadapan di atas kasur.

"Ngomong-ngomong, kamu inget kan rumah kamu yang mana?" Aku menanyakan hal tersebut karena aku yakin saat Dimar mengikuti jasadnya, seharusnya ia juga sampai ke rumahnya. Ke tempat dimana ibunya berada.

"Inget sih,"

Jawabannya yang meragukan membuatku mengerang. Entah mengapa, seolah aku sudah lama mengenalnya, aku tau sebetulnya Dimar tidak ingat. Akhirnya aku memutuskan untuk membuatkan denah menuju rumahnya sendiri.

Aku mengambil buku di atas meja belajarku dan sebuah pulpen, lalu kembali duduk di depan Dimar. Kali ini, lebih dekat, bahkan kedua lutut kami saling bertemu. Lalu aku membuatkan denah dari rumahku hingga ke rumahnya, yang ternyata jaraknya tidak begitu jauh.

"Kamu ngerti nggak?" Aku mendongak, lalu secara tidak sengaja kepala kami saling terbentur. Toh, aku tidak tau ternyata wajahnya berada sedekat itu!

Kami berdua saling merintih. Tapi aku menyadari sesuatu.

Dimar baru saja terkekeh.

***

The Death DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang