Kata siapa laki-laki nggak bisa nangis?
Aku shock banget waktu pulang, kakek dan nenek menyambut kedatanganku. Alih-alih senang, mereka malah mengadu kalau ada suara seorang cewek yang menangis di kamarku.
Dua hal yang membuat alisku berkerut: Pertama, hantu yang sedang sering di dekatku adalah hantu laki laki, bukan perempuan. Kedua, bukankah kamarku kedap suara?
Ketika menemukan Dimar sedang duduk-duduk di kusen jendela sambil memainkan yoyo milik Taufik (almarhum adikku), alisku semakin berkerut.
"Tadi kamu bawa temen cewek masuk kamar saya?" Aku melempar tasku ke atas tempat tidur, lalu berjalan menuju Dimar berada. "Kamu juga nggak nutup pintu, ya?"
Laki-laki itu entah kenapa wajahnya tampak lebih tenang dari biasanya. Entah karena efek sinar matahari sore, atau karena aku memberikannya tomat yang mengandung vitamin yang bagus untuk kuliatnya yang mulai menua karena usia. Tidak tahu sejak kapan aku punya anggapan kalau hantu akan lebih cepat kelihatan tua kalau sedang marah (kerutan akan timbul di wajah mereka, dan terlihat seperti banyak urat dan darah, seperti di film-film hantu).
Tapi laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa selain kendikkan bahu sebagai jawaban.
"Kayanya nenek denger suara orang lain deh," aku juga acuh terhadap keluhan nenek, dan menganggap nenek sekedar berhalusinasi. Lantas membiarkan Dimar tetap di sana sambil mengikat seluruh rambut panjangku menjadi satu karena rupanya kamarku cukup panas. "Kamu kalau mau bawa orang lain ke kamar saya, pintunya ditutup. Saya udah desain kamar ini biar kedap suara. Jangan bikin saya jadi kaya orang gila beneran, dong."
"Tadi saya ketemu ibu,"
Pernyataan yang keluar dari mulut Dimar membuatku tertegun. "Terus gimana?" Menurutku, ini perkembangan. "Beliau sehat?"
Aku tau Dimar akan menggeleng. "Dia masih sakit, dan seperti kata kamu, dia sakit karena mikirin saya."
Dimar memandangku lekat-lekat, seolah ingin mengatakan hal yang lain. Aku sendiri bersyukur karena akhirnya ingatan Dimar tentang ibunya kembali, tapi juga tidak tahu harus mengatakan apa. Jadi yang kulakukan berikutnya hanyalah menyentuh bahunya, dan mengusapnya dalam beberapa detik. "Sekarang tugas kita adalah menyembuhkan dia."
Aku dan Dimar sekarang menghadap ke langit sore yang sama. Laki-laki itu sudah berhenti memainkan yoyo sejak beberapa detik yang lalu, dan jujur saja, aku belum mendapatkan ide untuk rencana selanjutnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Death Day
Short StorySaat teman-temanku melihat ke arah korban kecelakaan, aku melihat seseorang di belakang kerumunan, memandang naas tubuhnya sendiri.