03. Laki-laki yang Hilang

306 38 2
                                    

"Ih, ngeri. Kayanya kepalanya pecah, deh."

Di saat teman-temanku mendekati kerumunan dan menyaksikan korban kecelakaan bersama orang-orang lain yang melihatnya, aku yang masih berdiri di tempat yang sama merasa ini sebuah pertanda.

Alih-alih melihat ke arah ambulans yang datang seiring dengan suara sirine yang semakin keras, aku justru melihat ke arah lain. Mencari dia yang mungkin belum sadar bahwa dia telah mati, sampai dia menemukan jasadnya sendiri.

Dan di sanalah aku menemukan laki-laki itu.

Dia pria berkemeja yang tampak tidak seperti hantu atau apa. Dia tampak begitu normal. Tapi aku tau dia tak terlihat oleh mata kebanyakan orang.

Pria itu duduk di sebuah bangku restoran outdoor, terlihat begitu pasrah melihat jasadnya dibawa masuk ke dalam ambulans.

Setelah meyakinkan bahwa teman-temanku masih sibuk memperhatikan ke arah tempat kecelekaan motor itu, aku masuk ke dalam restoran dan membeli segelas es kopi.

Dalam beberapa menit saja, aku keluar dan menemukan pria itu masih di sana dengan posisi yang sama. Aku mendekatinya dari belakang, lalu duduk di bangku lain yang semeja dengannya. Berusaha agar tidak terlihat gila oleh orang lain, aku menyodorkan es kopi padanya.

Dia menyadari kehadiranku, karena begitu dinding gelas es kopiku menyentuh punggung telapak tangannya di atas meja, dia menoleh. Dia memandangku bergantian dengan gelas es kopi, tapi tak mengatakan apa-apa. Aku sendiri tidak bisa menebak dia mau mengatakan apa karena ekspresinya menggambarkan terlalu banyak hal.

Mungkin dia sedang bingung, sakit, atau bahkan sedih. Mungkin dia kepikiran keluarganya, mungkin jabatannya, atau mungkin dia tidak memikirkan hal-hal duniawi. Mungkin dia sedang memikirkan apa yang bisa ia bawa setelah meninggal supaya bisa hidup bahagia di kehidupan yang sebenarnya. Tapi mungkin yang ada hanyalah penyesalan.

Aku tidak tau. Aku hanya menebak.

Sampai akhirnya dia sadar, kalau hanya aku sajalah yang bisa melihatnya.

"Kamu bisa liat saya?"

Aku menyandarkan punggungku ke sandaran kursi, lalu memandang ke arah kerumunan yang menyedot perhatian hampir semua orang. "Kamu mati, tuh. Ada yang sedih gak?"

"K-kamu siapa? M-malaikat kematian, ya?" Dia tampak panik. Seutuhnya perhatian pria itu kini jatuh kepadaku.

Aku mendengus. "Makasih, lho, udah bilang aku malaikat," aku mengibaskan rambut panjangku, ber-acting seolah senang telah dipuji. "Tapi harus banget malaikat kematian?"

Pria itu tidak menghiraukan candaanku, tapi justru malah meraba-raba tubuhnya seolah ada yang hilang. "Serius. Saya itu udah mati, ya kan?"

Aku melirik pria itu dari sudut mataku. "Kamu belum jawab pertanyaan saya. Kamu mati, ada yang sedih gak?"

"Sedih?" Pria itu terlihat semakin bingung.

"Iyalah," Aku melipat kedua lenganku di depan dada. "Orangtua kamu? Keluarga kamu? Adik? Kakak? Istri kamu, mungkin?" Aku tampak ragu dengan yang terakhir. Tapi pria itu telah memiliki penampilan yang pantas punya istri, pikirku.

Lalu aku tersadar, pria itu sedang diam saja.

"Hei, saya udah kaya orang gila ngomong sendiri, nih." Cibirku mulai kesal. Aku sempat melirik seorang pelayan restoran yang lewat tadi, dan dia melirikku dengan pandangan aneh karena ada gadis SMA yang bicara sendirian dengan begitu seriusnya. Tapi pria itu malah memandang kosong ke arah jalanan.

Aku mengibaskan tanganku di depan wajahnya, mengabaikan sama sekali pandangan orang-orang yang melihatku. "Hello!"

Akhirnya, pria itu melirikku. Aku diam menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulutnya, sambil berharap dia segera mengatakan dimana alamat rumah keluarganya agar aku bisa cepat menyelesaikan masalahnya yang belum terselesaikan, dan terbebas dari kejahatan.

"Saya...," Pria itu bergumam. Masih tampak bingung. "Saya nggak inget apa-apa."

Apa?

***

The Death DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang