"Jen Sorry, ya gue nggak bisa nganterin sampe rumah."
"Iya, kak, gapapa, lo emang harus balik kantor juga, kan."
"Bener, nih ngga papa gue tinggal sendiri?"
"Iyaaa, cepet-cepet pergi, tar lo malah telat." Jennie mendorong punggung cowok itu pelan. Bibirnya tersenyum kecil.
"Oke, gue duluan, ya, kabarin kalau udah di rumah." Cowok itu mengecup kening Jennie lantas berbalik untuk meninggalkan gadis itu di tengah kerumunan orang yang berlalu lalang.
Hampa. Rasanya ada yang hampa pada dirinya saat melihat punggung laki-laki yang berjalan menjauh itu. Langkahnya yang tegap, seolah terlalu tidak peka pada diamnya si gadis. Sampai-sampai dia lagi-lagi tidak mampu membicarakannya pada siapapun. Satu-satunya orang yang dipercayainya pun, hanya pergi begitu saja.
"Hallo?" Jennie mengangkat ponselnya saat hendak berbalik. Dia menarik napas sedalam mungkin untuk tak membiarkan satu tetes pun air jatuh.
"Udah gue bilang, bajingan will be bajingan indeed."
Jennie mendengus. "Nggak usah bilang bajingan saat lo sendiri bajingan."
"Hahaha come on, lo udah tau kemana dia pergi setelah ketemu sama lo, kan?"
"Just shut up your fu*king mouth, Kang Daniel." Jennie memijit pelipisnya sebentar, lalu melanjutkan. "Lo dimana?"
"Home."
"Ten minutes."
"Ok. See you."
Tapi ada hal lain yang membuat Jennie selalu bisa berdiri dengan kakinya sendiri. Ada hal lain yang membuatnya bisa lepas sebentar dari peliknya masalah. Ada hal yang bahkan tidak Jennie sadari sendiri jikalau dia merasa pulang ke rumah. Merasa Jennie masa kecil yang tidak dewasa itu kembali menguap kepermukaan. Membuat gadis itu nyaman dan dipercaya.
Siapa sangka kalau orang itu Kang Daniel.
*Mars*
"Gue selalu nggak nyangka kalau lo lebih suka dance."
Tepat saat musik berhenti, Jennie melangkahkan kakinya untuk masuk. Satu botol air mineral dia bawa di genggaman tangan sedangkan bahu kecilnya menenteng tas selempang.
Entah apa yang membuat dadanya berdesir malu-malu, tapi seulas senyum mampu terangkat. Entah keringat yang menetes, entah wajahnya yang masih tetap tampan, atau entah dia yang selalu menawan.
Garis kecil dari sudut bibirnya sebagai balasan senyum Jennie.
"Harusnya gue nggak heran, lo bakalan sering dateng, sih."
"Enak aja, gue cuma mau ambil proposal yang di lo." Jennie mendecak tapi tetap membawa diri untuk masuk.
Daniel mengambil handuk dari rak dan mengusap keringat dari pelipis lalu melebar ke seluruh tubuhnya. Menerima air mineral yang Jennie bawakan dan meminumnya sampai setengah teguk.
"Lo mau niron apalagi sih? Kalau gini caranya gue bisa dikira berkhianat nih." Karena sejujurnya Jennie dan Daniel tidak dalam satu jurusan. Ketika Jennie mengambil Manajemen, Daniel justru mengambil Ekonomi Pembangunan. Yang mana palajarannya lebih secara meluas.
Jennie ikut dalam himpunan jurusannya, begitu pula Daniel. Sifat yang justru tidak di sangka banyak orang jikalau orang seperti mereka senang berorganisasi. Terutama sifat bebas Jennie.
"Lo yang nawarin bantuan ya gue terima." Jennie melipat kedua tangannya di dada. Diam-diam melihat side profil cowok itu dalam gema suaranya.
Daniel berdecak tapi tak lupa untuk tertawa. "Tunggu depan, gue mau mandi, yaa kecuali kalau lo mau ikut gue mandi, boleh laa~"
Mata Jennie melebar, "sinting!!" Dan menggeplak kepala Daniel.
Daniel tertawa atas reaksi yang ditunjukkan Jennie. Bagi cowok itu, justru kelewat lucu.
Orang yang melihat Jennie sekilas mungkin akan menganggap cewek itu punya aturan sendiri di hidupnya dan terlalu sombong untuk berbaur. Jennie seperti orang yang akan memimpin pasukan dan menindas mereka yang tidak satu paham dengannya. Tapi semakin Daniel dekat, semakin dia tau sisi manis Jennie.
"Gue bawa martabak dan gue bisa habisin 15 menit." Kalau orang awam pasti akan kaget dan menganggap ucapan itu benar. Namun, Daniel tertawa dan mengacak rambut Jennie.
"Iya... Gue cepet kok."
Karena Daniel tau, kalau Jennie secara tidak langsung mengajak Daniel untuk makan bersama.
*Mars*