Chapter 26 : Us Against The World

5.7K 347 28
                                    

"Apa yang harus kita lakukan, Ndre?" tanyaku frustasi, kurasa gosip akan sangat cepat menyebar. Mungkin besok pagi 90% orang di kantor telah mengetahuinya karena ini adalah skandal yang sangat besar. Aku panik, takut, dan malu, sangat malu bertemu orang-orang besok.

Andre sama sepertiku, terlihat panik dan mondar-mandir didalam kamarnya, berusaha mencari apapun yang bisa dijadikan solusi. "Gue sendiri tidak masalah, Zik" ujarnya "yang gua takutkan itu elo"

"Emang lo gak takut, Ndre? reputasi lo? karir lo bisa terancam" tanyaku hati-hati.

"Zik, jangan khawatirkan itu dulu, tempat kerja mah banyak gak satu itu aja kan" dia menjawab dengan optimis.

"Tapi gue belum mau pindah, Ndre udah terlanjur nyaman di sana" jawabku jujur.

"Bukan itu maksud gue, maksud gue jangan kemana-mana pikiran elo dulu" balasnya.

"Sumpah Ndre! gue gak bisa se kalem elo menghadapinya, gue takut" teriakku akhirnya "mana bisa gak kemana-mana pikiran gue"

Aku langsung teringat kepada ibuku di kampung. Seandainya beliau tahu anak bujangnya yang di rantau berperilaku yang menurutnya menyimpang seperti ini, Agh aku tidak berani membayangkannya. Atau kabar ini menyebar di kampung, bagaimana ibu bisa menghadapinya. Oh tuhan, bantu aku. Orang di kampung reaksinya bisa lebih parah daripada di kota.

"Ibu gue, Ndre... gue gak berani.." ujarku yang mulai menumpahkan air mata, biarlah dikira cengeng oleh Andre, karena ini bukanlah masalah kecil, bisa jadi masalah yang paling besar yang kualami seumur hidupku.

Andre mendekatiku, lalu memelukku seperti ketika aku membutuhkan energi darinya. Andre membaui rambutku dengan bertubi-tubi "Iya, gue paham, Zik" ujarnya berbisik "Apa yang ingin lo lakukan, kita cuti besok? dua hari, tiga hari" tanyanya. Aku menggeleng.

"Gue rasa itu hanya menambah parah keadaan" jawabku. Lari dari masalah bukanlah solusi yang tepat untuk hal ini, hanya akan menambah kecurigaan dan prasangka orang-orang.

"Dalam pikiran gue siapa ya yang ngelakuin ini" pikirnya. Akupun mulai berfikir, aku tidak mau menuduh, tapi tidak bisa mencegah pikiranku mengarahkan kepada siapa yang paling mungkin untuk jadi pelakunya.

"Apakah kita berfikiran yang sama?" tanyaku.

"Mungkin" balasnya.

"Kenapa ya Ndre, kita tidak bisa mencintai dengan damai? kita kan bukan koruptor atau predator anak atau gue bukan mengambil elo dari Milo" aku mendongak menatapnya "Gue bukan merebut elo dari Milo kan, Ndre?" tanyaku. Dia menggeleng "Milo menyia-nyiakan gue, terus elo memungut gue" jawabnya.

"Terus kenapa kita tidak bisa tenang berhubungan Ndre, kitakan tidak merugikan siapapun, beda dengan para koruptor, tetapi sama-sama dihujat" balasku.

Andre tergelak "Jangan samakan kita dengan koruptor, Zik"

"Terus?" tanyaku lagi penasaran. Setidaknya didalam pelukannya bisa membuatku sedikit tenang.

"Kalau menurut gue, setiap hal di bumi ini memiliki harga, dan inilah harga yang harus kita bayar untuk hubungan kita" jawabnya "sama seperti jika elo berhubungan sex dengan Annisa diluar nikah, harga yang harus kalian bayar adalah kehamilan. Atau jika elo sembarang berhubungan sex dengan lelaki asing harga yang elo bayar adalah"

"Bisa jadi dia positif HIV dan menularkan ke gue" aku melanjutkan kata-katanya, sedikit mulai mengerti. "Tapi bisa dicegah pakai kondom kan Ndre" jawabku polos.

Andre tergelak "Itu poin gue, Zik" balasnya "kemarin kita ngelakuinnya, tanpa pengaman, kita senaknya ciuman di tempat umum"

"Gue ngerti Ndre, analogi lo menarik walaupun sedikit maksa" 

Engineer HomoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang