Chapter 1 : Homo Dude in the Straight Setting

32.6K 884 75
                                    

Bunyi alarm suara ayam berkokok membangunkanku dari mimpi, mengantarkanku kepada kenyataan bahwa hari ini hari senin lagi, hari yang paling menyebalkan. Walaupun selama akhir pekan aku hanya mengurung diri di dalam kos-kosan, namun aku menikmatinya, aku bebas menjadi diriku sendiri didalam kamar sederhana ini, bebas dari pekerjaan, bebas dari orang-orang di lapangan dan bebas dari pak bos yang menyebalkan.

Aku bangkit dari kasur dengan malas, melihat beberapa notifikasi dari grup Whatsapp kantorku, salah satu anggota memposting gambar seorang wanita cantik, sepertinya karyawan baru. Dalam beberapa detik saja kerumunan komentar memuja-muji datang dari beberapa anggota grup yang sekaligus rekan kerja, beberapa pesan seperti "Wuih Cantiknya" "Barang baru, Divisi mana tuh" "Gercep nih bapak Andi" menyusul satu persatu, tentu saja kecuali dari the one and only me, yang malas berkomentar. Kadang aku merasa aneh saja dengan kelakuan bapak-bapak yang sudah beranak dua ini, tidak ada satupun wanita cantik dari ujung gedung 504 sampai 507 yang luput dari perhatiannya. Parahnya lagi Bapak Andi ini adalah Supervisor-ku.

Aku sampai di kantor pukul 07.59, detik-detik terakhir sebelum terlambat, memindai jari telunjukku di mesin fingerprint scanner yang jika berhasil akan mengeluarkan bunyi "Bip. Selamat Bekerja" demi tuhan aku benci suara itu.

"Haduh, Anak bujang ini selalu saja terlambat" Sahut seorang ibu-ibu berbadan besar seenaknya menerobosku lalu memindai jarinya pada saat detik-detik terakhir.

"Telat bangun buk" Aku berbohong. Sebenarnya aku saja yang malas untuk buru-buru pergi. Ibu ini adalah salah satu dari partner in crime-ku, kita memang berbeda divisi, aku di bagian Facility sedangkan dia dari Purchasing, namun kita sering ketemu tiap pagi, sebagai Mr. dan Mrs late di kantor.

"Buruan Nikah gih, Biar Ada yang bangunin" ujarnya.

Shit, dari berbagai macam hal yang kubenci dari hidupku yang membosankan, disuruh menikah adalah yang paling membuatku patah semangat. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku memburuk saja. Ingin rasanya berteriak ditelinga ibu itu "PLEASEE GUE MASIH 23 TAOON, DAN GUE NGGAK NIAT NIKAH!" alih-alih aku hanya berkata dengan sopan "Iya-nih cariin jodoh lah buk" Karena takut ditampar sama si ibuk.

"Halah, dikasih Siska staff aku, nggak mau, Siskanya udah ngasih kode, kamunya yang cemen" si ibuk kemudian ijin pamit karena mengejar morning meeting.

Di ruanganku, bapak Andi melototiku karena terlambat lima menit, dia hanya geleng-geleng dan aku hanya menunduk. Coba kalo aku ini cewek, pasti dibaik-baikin sama dia, dasar tidak fair nih bapak.

Meeting pagi di kantor berjalan seperti biasa, penuh hinaan dan cemooh dari bapak Andi, karena aku salah menyebutkan istilah 'kamprot' (plesteran yang masih kasar) dengan 'kampret' pada saat giliranku presentasi. Si bapak ini memang terkenal galak di seantero kantor. Sebenarnya kalo dekat beliau cukup baik kok.

"Cie..Cie yang udah nikah.. Gimana Rasanya?" segerombol lelaki membosankan duduk disebuah meja kantin mewawancarai Ando salah satu rekan kerjaku yang baru masuk kerja sehabis cuti menikah, aku berpura-pura sibuk dengan handphoneku, padahal sudah jelas tidak ada seorang-pun yang kuajak chatting. Aku hanya scroll down Instagram, melihat teman-teman kuliahku Danu yang baru saja kembali dari liburannya di Singapore, mengasihani diriku yang terjebak disini.

"Wuih.. luar biasa pak" jawab Ando antusias, mukanya memerah kemudian mereka semua tertawa garing "kalo gitu beli Kopi Radix saya ya, biar staminanya kuat" si bapak Wardi, rekan kerjaku yang lain sempat-sempatnya mempromosikan produk jualannya. Dan semuanya lanjut tertawa dengan garing sambil memakan lontong.

"Kalo mas Zikra kapan nyusul" Tanya pak Wardi kepadaku dengan logat Jawanya yang kental. "Tak baik lho ditahan-tahan, ntar kalo keras gimana?"

Engineer HomoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang