10. Jadi Lamaran

218 29 6
                                    

-o-
Mira menempelkan pundaknya ke tempat duduk. Perjalanan masih jauh untuk sampai di rumahnya. Dia sudah akrab dengan suasana di dalam kereta Agro Parahyangan menuju stasiun KA Bandung. Pasangan suami istri duduk di bangku yang menghadap Mira. Istrinya sibuk menenangkan bayinya yang mulai menangis dalam gendongan. Suaminya sudah mendengkur halus. Sedangkan di sebelah Mira duduk anak perempuan pasangan itu yang sudah lumayan besar kira-kira usia SMP.

"Maaf ya mba, anak saya lagi rewel." ujar si Ibu takut menggangu kenyamanan Mira.

Mira dengan santai menggeleng "Gak apa-apa Bu."

"Dede minta ganti popok ya?" Si Ibu mulai berbicara pada bayinya seolah mengerti bahasa bayi.

Anak perempuannya berdiri lalu mengambil tas bayi. Dia mengambilkan popok baru untuk adiknya tanpa diperintah dari ibunya.

"Dede jangan ngamuk ya. Kasian penumpang ya lain." si Kakak dengan gemas menjatuhi kecupan demi kecupan di pipi adiknya.

"Sendirian aja neng?" Goda si Ibu.

"Iya saya sendiri Bu." kata Mira seraya tersenyum.

"Kakak kok pacarnya gak ikut ke Bandung?" Si anak ikut menodong pertanyaan yang lebih menohok.

Mira belum kepikiran harus pakai joki pacar tiap kali naik kereta untuk menghindari pertanyaan yang menjurus ke hal-hal pribadi. Biar lah ketahuan masih jomblo sekarang. Suatu hari ada saatnya naik kereta sepaket lengkap bersama suami dan anak.

"Belum punya pacar saya." guman Mira.

"Maaf ya kak, abis kakak imut sih yakali jomblo hehe. Ada acara apa kak ke Bandung?"

"Gak ada acara apa-apa. Lagi disuruh pulang sama orang tua. Kalo kamu?"

"Kalo saya mau ke acara nikahan kakak sepupu." jelas anak itu.

Sisanya Mira tidak terlibat dalam percakapan karena adik super kepo akhirnya terlelap. Setelah berpamitan dengan keluarga Bu Irma yang menjadi patner perjalanan Mira. Saat ini Mira sudah berdiri di dekat penjual cilok di depan stasiun menunggu Aa Danan tercinta menjemputnya.

"Pulang sendiri aja jangan ngarep dijemput. Aa lagi sibuk di kelurahan."

Mira mendengus kesal melihat pesan singkat dari kakaknya yang baru masuk ke ponselnya. Tuh kan ditelantarin lagi gue udah jauh-jauh merantau kalo pulang gak ada penyambutan istimewa. Mira melangkah lesu menuju pangkalan angkot tak jauh dari stasiun.

-o-
Mira akhirnya sampai di pekarangan rumah saat bulan menampakkan dirinya di langit. Sementara sinar lampu sudah menerangi jalan. Langkah Mira melebar melihat Salwa sedang mengaji di ruang depan bersama Abah. Salwa baru 5 tahun tapi sudah jago membaca gak kaya Mira yang kecilnya jago main kobakan di empang.

"Assalamualaikum." ucap Mira begitu memasuki rumah.

"Waalaikumsalam." sahut Abah mengukir senyum menyambut kedatangan anak gadisnya.

Mira mendekat lalu mencium tangan Abah. Jemari-jemari yang sudah keriput itu tetap memberi kehangatan untuk Mira.

"Anak gadis kok bau asap knalpot."

Mira memasang muka cemberut "Ya abisan gak ada yang jemput."

"InsyaAllah jodoh kamu nanti bisa jemput kamu setiap saat." celetuk Abah.

"Aduh keponakan teteh soleha banget ini."
Mira melebarkan kedua lengannya lalu berhasil membawa Salwa ke dalam pelukannya.

"Kangen gak sama teteh?"

"Kangen." kata Salwa bergelayut manja di bahu Mira.

"Teteh mandi dulu ya biar wangi."

Acara kangen-kangenannya harus dijeda dulu. Mira harus mandi dan menjalankan ibadah sholat magrib, gak boleh kalah dong sama Salwa yang masih kecil sudah sujud. Mira sudah melipat kembali sajadahnya lalu menaruhnya di samping ranjang. Kalau di rumah Mira terbiasa membantu ibunya menyiapkan makan malam palingan memindahkan nasi ke bakul. Memindahkan sayur ke mangkok besar. Koki rumah tetap Ibu.

Hello Mr. PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang