17. Mulai

175 17 5
                                    

-o-

Tanpa aba-aba Mira menyerobot gelas di hadapannya. Meneguk habis isinya tanpa sisa. Mira enggan di dapur terlalu lama. Setelah rasa haus terbayar dia menyudahi getaran aneh yang menyergap perasaannya. Entah sejak kapan Mira jadi bernyali ciut duduk di sebelah Rean. Mira tidak mau repot-repot mendikte rasa apa yang mulai tumbuh semenjak mengenal Rean. Jelas berbeda dari rasa kagum pada aktor ganteng korea yang rajin digemborkan Ara.

"Makasi Kak Re." pamit Mira tanpa menoleh.

Naas gerakan yang tiba-tiba membuat kaki Mira tarkantuk bagian meja makan sampai terdengar bunyi cukup keras DUGGH.

"Kenapa buru-buru?" tanya Rean menaikan sebelah alisnya.

Takut kelepasan belai-belai lengan kamu yang menonjol-nonjol itu Re. Astagfirulloh. Selemah itu Mira ck.

"Saya gak sabar mau rebahan Pak. Pegel banget hari ini." ungkap Mira pura-pura memijat area leher.

Rean melirik kaki Mira. "Masih sakit?"

Mira nyengir lebar "Ah nyeri dikit. Saya gak apa-apa."

Mira pernah lebih nyeri dari kepentok meja sakitnya yang tidak seberapa dibandingkan menonton Ghina dan Rean malam itu.

Rean menarik napas dalam. "Bisa kita ngobrol sebentar? tapi kalo kamu kecapean istirahat aja."

Mira menghela napasnya. Dia mengiyakan dengan satu anggukan. Sulit baginya mengabaikan Rean. Hatinya jadi gampang luluh. Mungkin karna Mira merasa berhutang banyak pada Rean yang mau menolongnya. Lumayankan dengar suara Rean yang jarang-jarang bertutur kata lembut.

"Soal sikap Mama. Maaf ya kalau sikap mama kurang enak. Ghina dari remaja udah ditinggal orangtuanya dan berusaha hidup mandiri walaupun tinggal di rumah bibinya. Mama juga punya kisah hidup yang sama persis seperti Ghina. Mungkin itu yang membuat mama punya empati yang besar ke Ghina karna merasakan kepahitan itu juga di masa mudanya. Mama gak sadar kalo sekarang Ghina balik memanfaatkan kebaikannya buat deketin saya lagi. Jadi jangan membuat kesimpulan semua sikap Mama hari ini ke kamu sebagai bentuk kebencian." jelas Rean tersenyum miring.

Sebetulnya Mira sudah mendengarkan penjelasan serupa dari Tasya saat mereka asik cuci piring. Tapi penjelasan versi Rean yang lembut bikin rongga dada Mira lebih plong. Mira jadi semangat berjuang lebih keras untuk mendapat rasa sayang dari Lia dengan porsi lebih besar dari Ghina.

"Saya tau tante sosok ibu yang penyayang. Gak akan membenci seseorang tanpa alasan." kata Mira setuju.

"Makasi ya." lirih Rean seraya menyentuh pelan pundak Mira.

"Ng..untuk?"

"Untuk kamu yang sabar dan mau memahami sikap Mama."

Ah gimana Mira bisa dongkol sama calon mertuanya. Kenyataannya Lia memang memberi perhatian tidak pandang bulu. Mira baru bertemu dua kali dengan Lia jelas belum bisa melampaui durasi kebersamaan Lia dan Ghina. Mira yakin benih-benih sayang akan tunbuh tinggal dipupuk sedikit. Buktinya waktu Mira kecipratan minyak panas Lia langsung mengoleskan salep ke permukaan tangan Mira yang membuat wajah Ghina jadi kaku.

"Maaf sebelumnya. Saya penasaran apa Tante gak pernah kecewa setelah Ghina nyakitin Kakak?"

Heran mama Lia tidak kecewa sedikitpun setelah Ghina berkhianat. Abah sama Ibunya Mira boro-boro mau kasih senyuman sama mantan pacar Mira. Padahal mereka putusnya karna gak sanggup LDRan dan ketidakcocokan prinsip bukan orang ketiga. Egi, mantan pacar pertama Mira memang tinggal di Bandung rumahnya masih satu kecamatan dengan rumah Mira. Mereka kebetulan sekolah di SMA yang sama dan sering pulang bareng. Egi itu siswa cerdas yang jadi rebutan guru-guru seantero sekolah. Santai kaya di sawah kalau mengerjakan soal-soal ujian. Dia juga pemegang nilai UN tertinggi di sekolah tahun 2011. Walaupun gayanya bikin enek tetep Mira bangga jadi pacar cowok sejenius Egi. Gimana gak enek lihat rambut Egi kelimis dibelah tengah padahal cowok lain punya hairstyle keren. Waktu lulus Egi mendapatkan tawaran beasiswa meneruskan kuliah di negeri matahari. Sebagai pacar yang baik Mira mendukung semua keputusan Egi. Dalam hati Mira sih berharap Egi menolak beasiswa dan menetap kuliah di Indonesia. Tapi hanya orang bodoh yang melewatkan kesempatan beasiswa kuliah di luar negeri dengan alasan tidak mau jauh dari pacarnya. Awalnya LDRan perhatian Egi ke Mira tidak berkurang. Setelah setahun berlalu mulai terasa LDRan membuat perasaan cinta mereka lama kelamaan raib. Mira sibuk kuliah desain di Depok. Egi apalagi yang ambil jurusan farmasi di universitas ternama di Jepang. Masing-masing tidak ingat punya pacar. Egi sibuk mengingat komposisi bermacam obat. Tanya komposisi obat cacingan, obat panu, obat penyubur rambut Egi hapal di luar kelapa. Mira juga sibuk bersemedi mencari inspirasi desain untuk menggarap tugas kuliahnya. Setiap lebaran Egi pulang ke Bandung. Egi sering berpapasan dengan Abah di pengkolan jalan. Tentunya masih ramah menyapa meski dibalas dengan ekpresi kecut dari Abah. Mungkin Abah masih kecewa anaknya gagal meneruskan benih dari bibit unggul seperti Egi.

"Mama adalah orang yang paling terpuruk. Karna sebaliknya saya yang menyakiti Ghina lebih dulu. Mama lebih kecewa sama saya. Mama yang paling mendukung keputusan Ghina untuk mengakhiri hubungan kami." ungkap Rean tersenyum getir.

Mira menelan ludah menahan tangannya yang gusar ingin memeluk tubuh Rean. Ingin menyingkirkan kesedihan yang terpancar dari bola mata Rean. Biarlah nanti Rean meneruskan pengakuannya kalau hatinya sudah mantap. Mira enggan bertanya lebih jauh.

"Maaf kak, saya gak bermaksud lancang."

"Gak apa-apa Mir." sergah Rean memaklumi.

Mereka kembali diam. Membiarkan suara tetesan hujan di luar beradu memecah kebisuan. Rean mengusap wajahnya gusar. Dorongan kuat untuk membicarakan topik pernikahan muncul menganggu benaknya. Mengingat waktu semakin dekat ke tanggal itu Rean ambil keputusan untuk jujur ke Mira. Kejujuran yang bisa mematahkan hati seseorang.

"Mir, saya minta maaf belum bisa jelasin semuanya."

Mira menggeleng. "Ah gak apa-apa. Saya tau pasti gak mudah buat Kak Re."

"Jujur saya melamar kamu dengan alasan yang sangat konyol."

Mira tercekat. Sial satu kalimat itu kenapa sangat menyiksanya. Lebih jahanam dari amukan klien yang kurang puas dengan desain garapannya.

"Maaf saya gak tulus dari hati. Hari itu Ara masuk ke kamar saya dan menemukan ikat rambut kamu yang tertinggal. Sejak itu Ara cari tahu semua tentang kamu lewat Tasya. Kebohongan saya sebagai klien kamu terbongkar. Dengan semua bukti dan spekulasi Ara kasih tau ke Papa kalau saya tidur sama kamu malam itu. Papa mendesak saya untuk segera melamar kamu." kata Rean penuh sesal.

"Kenapa gak ditolak? kan tinggal jelasin kalau malam itu kakak cuma nolongin saya pingsan dan gak terjadi apa-apa." dengus Mira.

"Percuma. Papa gak akan percaya. Papa orang yang paling tahu saya gak pernah mengizinkan perempuan asing masuk ke kamar kecuali Ara dan Mama. Malam itu saya buat pengecualian karna kamu sakit. Keputusan saya melamar kamu waktu itu memang asal karna saya sedang butuh seseorang untuk melindungi diri saya dari phobia."

Mira memaksakan tawanya mengalir di udara meski terdengar sumbang. Berusaha membendung agar tangisnya tidak pecah. Dia tidak mau terlihat bodoh dengan meraung-raung penuh derai air mata. Akan tampak murahan bukan.

"Bapak pikir saya tulus selama ini?"

Rean menerjapkan mata. Seakan sesuatu baru saja menghantam keras jantungnya. Rean mencoba tertawa, namun lidahnya terasa beku.

"Saya terima lamaran bukan karna saya suka sama Bapak. Saya capek ditindas Tasya. Saya mau Tasya lebih menghormati saya. Itu semua tercapai kalau saya jadi istri Bapak."

Rean merasa berhak sedih dengan kata demi kata yang keluar dari mulut Mira. Tatapannya belum lepas dari mata Mira masih mencari kebenaran.

"Saya mau pernikahan tetap diteruskan. Kita saling membutuhkan bukan?" Tanya Mira tanpa gemetar.

Otak Rean mendadak buram. Antara sadar atau tidak, dia sudah mengangguk.

[Revisi]

Hello Mr. PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang