12. Marah ?

190 29 4
                                    

-o-
Rean menarik kursi lalu mendaratkan bokongnya ke sana. Dirinya sudah berada di warung gado-gado dekat kosan Bu Tiar. Rean terpaksa mengikuti Mira yang tiba-tiba kabur dari pandangannya. Untung gak pakai sendal jepit mini lagi. Mira sempat kembali ke kamarnya lalu meminjamkan sendal gunung yang ukurannya sesuai kaki Rean. Sendal gunung punya Danan- kakak Mira. Katanya dulu sengaja ditinggal di depan kamar Mira untuk menangkal cowok mesum yang punya niat jahat. Tapi dia simpan lagi karna dimarahin ibu kos disangka membawa cowok ke kamarnya untuk bermaksiat. Gak elit banget milih kamar kosan ogah juga Rean seandainya diajak.

"Bu pesen gado-gado satu. Pokoknya yang pedes banget Bu." kata Mira ke penjual.

"Siap neng."

Mira tidak peduli dengan sosok yang baru saja duduk di sebelahnya. Dia sok sibuk memainkan ponselnya membaca artikel tentang gubernur baru ibukota. Walaupun bukan warga Jakarta tapi Mira gak mau tutup mata dan tutup telinga dengan kinerja pemerintah. Toh dia kerja di Jakarta. Apalagi sebentar lagi bakal permanen pindah domisili ke Jakarta setalah menikah. Supaya impas Mira dengan murah hati membagi perasaan ditepikan seperti apa. Sampai dibuntuti ke warung ck serasa Song Hye kyo di dikintilin fanboy.

"Masnya gak pesen?" tanya si Ibu melirik Rean.

"Samain aja Bu tapi jangan pedes." pesan Rean.

Cemen sih. Rean gak mau diare. Mulesnya ituloh bikin keringat dingin mengucur.

"Kamu gak takut sakit perut?"

Hanya ada krek kret... suara kipas angin yang rusuh di belakang Rean yang menjawab.

Rean menghela napas berat. "Mira saya nanya sama kamu."

Ah kasian juga. Ah bodo amat batin Mira tak mau berubah pendirian.

"Marah?"

Sebuah tangan menarik kursi sampai ototnya agak menyembul. Mira tidak menghadap meja lagi tapi duduk mengarah ke Rean. Tubuh Mira sudah terkunci. Kuat juga ya Rean padahal Mira bukan cewek lidi-lidian yang ringan.

"Suka-suka saya makan pedes. Sakit perut juga gak ada ngaruh ke Bapak kan."

Mira berusaha membalik kursinya lagi tapi tangan Rean masih menahan sandaran kursinya.

"Bu yang pedes buat saya aja. Tukeran." pinta Rean pada penjual.

"Oke siap Mas. Lagi di buat."

Pelanggan di warung gado-gado tidak hanya mereka berdua. Ada juga dua bapak-bapak yang asik mengobrol tentang harga kontrakan yang mau dinaikan. Untunglah mereka tidak terganggu dengan kerusuhan yang diciptakan Rean. Mira salah memilih tempat duduk. Harusnya tadi duduk bareng bapak-bapak itu saja biar aman.

"Loh kok jadi tukeran. Saya gak mau." tolak Mira ketus.

Rean mengeratkan giginya. Ujian kesabaran dari Mira berhasil menaikkan tensi darahnya. Rean hampir frustasi.

"Jangan salah paham. Saya cuma bayar hutang karna kamu udah kasih pinjaman sendal."

"Kalau kamu masih gak mau lihat saya. Saya pulang." kata Rean menyerah.

Ya mau gimana. Percuma juga kalau dipaksa. Rean sudah mengikuti, menunggu dan bahkan ikut memesan. Bukankah sudah cukup perjuangannya untuk berdamai dengan gadis yang kini menunduk memandangi kakinya.

"Kok Bapak ikutan marah?" Mira akhirnya mendongakkan kepalanya.

Kirain bakal mohon-mohon. Malah mau ditinggal pergi. Tarik ulur perasaan yang dilancarkan oleh Mira terancam putus beneran. Mira punya fisarat buruk Rean akan sulit ditemui dikemudian hari. Ibarat main layangan terlalu sering diulur sampai talinya putus. Mira akan berakhir meratapi dengan nanar tembok kosannya yang terkelupas kalau Rean pergi.

"Jangan pulang dulu. Saya lupa gak bawa duit." gumam Mira.

Biasanya juga Mira berani berhutang kalau gak bawa uang.

"Biasanya juga sering ngutang neng kalo ketinggalan duitnya." celetuk ibu penjual begitu menyodorkan 2 piring penuh gado-gado.

"Saya gak mau punya kebiasaan berhutang Bu." ucap Mira kalem.

Aslinya Mira malu banget. Aibnya terbongkar. Ketahuan kalau dia sedang menghalangi Rean untuk pulang.

"Loh kan sama aja kalo utang ke Masnya."

"Makasi ya Bu." balas Rean tak menanggapi celetukkan penjual.

"Makan dulu aja. Kita bisa ngobrol nanti malem di apartemen saya."

"Hah?"

"30 menit saya harus pergi lagi. Ada janji dateng ke pameran lukisan sama David. Kalo di kosan kamu kan gak bebas. Nanti saya bisa digrebek warga."

Duh bebas ? Emang mau ngapain. Eh orang cuma diajak ngobrol.

"Tapi ..."

"Saya jemput dan antar kamu pulang ke kosan lagi. Jadi gak perlu takut pulangnya."

Bukan itu masalahnya. Bukan masalah berangkat atau pulangnya. Ganjalan terbesarnya adalah berduaan malam-malam di apartemen. Awalnya mungkin hanya ngobrol santai tapi cowok sedewasa Rean kan bahaya. Mira sibuk dengan pertimbangannya sebagai bentuk kewaspadaannya walaupun akhirnya bakal menikah Mira gak mau kecolongan.

"Sampai jam 9 malem paling lama. Saya harus buat desain baru."

"Oke."

Rean mulai menyantap gado-gadonya yang didominasi biji cabai semoga perutnya bisa bertahan. Begitupun Mira mulai sibuk mengunyah. Kurang pedes gak greget ih lidahnya memprotes.

"Saya lagi sibuk sama project baru. Sorry gak sempet bales chat kamu." kata Rean sebelum beranjak pergi.

Alasan itu tidak bohong memang dirinya lagi sibuk mengurus project baru di Cleepublish yaitu penulis keliling. Sebuah lomba menulis cerpen untuk siswa SMA. Lomba itu tidak sepenuhnya menyita waktu Rean. Teknis perlombaan dipegang oleh tim redaksi, cowok itu hanya berperan sebagai pemberi konsep tapi bukan eksekutor di lapangan. Bisa saja dia menghubungi Mira sebenarnya.

"Sibuk sama acara lomba nulis ya?"

"Tau dari mana kamu?"

Mira mengantupkan bibirnya. Dia bukan seer yang memiliki kemampuan menerawang kesibukan Rean.

"Pasti dari Ara." Kata Rean langsung menebak.

"Iya.. dapet poster lombanya dari Ara. Kan banyak tuh di Bandung anak-anak muda yang berpotensi. Soalnya Aa Danan kan punya temen-temen yang kerja jadi guru. Nah guru-guru yang akan menyebarkan lombanya ke siswa mereka. Ara cuma minta bantu buat promoin lewat saya."

Panjang banget alurnya mirip rel kereta.

Rean hanya menanggapi dengan membulatkan mulut membentuk huruf O.

"Bagus banget loh lombanya, atasan Bapak keren. Anak-anak muda mungkin karyanya gak bisa menandingi penulis yang senior tapi kegigihan mereka patut dikasih jempol."

Rean mengangguk sependapat. Mereka yang sibuk dengan segala aktivitas sekolah meluangkan waktu untuk menulis. Waktu Rean masih SMA paling benci lomba menulis. Pertanyaan PR saja malas dia tulis padahal tinggal menyalin tulisan yang ada di papan tulis apalagi menuliskan sebuah ide yang sumbernya dari pikiran dan perasaan yang butuh kekuatan mental. Harus kebal berteman dengan stres. Bayangkan kalau dihimpit beban hidup tapi harus menuangkan ide-ide cerita untuk pembaca apa tidak stres tuh. Jadi hargailah mereka yang rela stres demi sebuah tulisan untuk pembaca seperti Rean bertemu perasaan yang beragam. Komitmennya yang kandas dengan Ghina sedikit terobati dengan adanya cerita humor. Eh kok jadi Pak Agung yang dipuji sama Mira, Rean merasa gak rela karna itu ide brilian otentik dari otaknya.

"Saya yang kasih konsep. Termasuk konsep kafe yang kaya perpustakaan di Solo."

Mira menopang dagunya. "Saya yakin pasti konsepnya biasa."

Sabar-sabar.

Untung tepat di belakangnya ada kipas angin yang mengusir panas efek dari gado-gado rasa cabai. Rean merasa nyaman. Mungkin ada faktor lain yang tidak Rean pikirkan mengapa dirinya tetap nyaman.

[Revisi]

Hello Mr. PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang