EIGHT : TUGAS

447 28 3
                                    

-being love

Bara sedang mengaduk aduk kopi di hadapannya dengan sendok kecil. Krim kopi itu sedikit tumpah menodai pinggiran gelas.

"Kok gue gabut banget gini sih, "

Bara menarik nafas panjang , menghembuskannya kuat kuat lewat hidung. Bagai tidak tertarik sama sekali untuk menegak secangkir latte dihadapannya.

"Kenapaa sih guee,"

Lagi lagi ia menggerutu. Kali ini ia menghentikan adukan pada lattenya, karna busa latte itu sudah habis mencair. Tidak asik lagi.

"Gak asik. Apaan sih ni. Gue mo ngapain inii. Yaelah busa nya manaa, ahh bodo ah!,"

Bara meneguk latte dingin itu dengan terpaksa, meninggalkan uang 50.000 diatas meja dan pergi meninggalkan cafe dengan raut wajah tak terbaca. Ia kesal, bosan, tak ingin bicara, tapi ingin bicara. Dia kesepian.

"Halo,"

Suara berat itu terdengar jauh dari tempat yang lain.

Bara sedang tidak tertarik mengangkat telpon sebenarnya, namun karena telpon ini terlihat tak dapat diabaikan. Ya terpaksa.

"Halo, pak Burhan,"

Ya, dosen fakultas tercinta. Sirna sudah mood yang berusaha Bara bangun sejak keluar dari cafe. Lenyap.

"Kamu dimana,?"

"Di jalan pak,"

"Jalan kemana,"

Kepo amat sih,
Bara membatin pelan. Moodnya memang sedang tidak baik hari ini.

"Gatau pak,"

"Lahh, kok gak tau,"
Tanya Burhan, lagi.

"Ngegelandang dulu, cari duit pak,"
Gurau Bara dengan tidak berdselera.

"Main main kamu ya, bapak serius kamu dimana, ke kampus sekarang ,"

"Saya lagi gak ada kelas pak, saya duarius malah pak,"

"Bara, mau saya goyang itu IP kamu,?"

Ngancem mulu bisanya. Kuliah juga gue bayar sendiri kok. Bukan bapak yang bayarin.

"Otw pak,"

Bara akhirnya dengan berat hati menuruti perintah dosennya itu. Bahkan ia berjalan sangat pelan saking tidak bersemangatnya untuk bergerak. Bahkan bernafas pun tak nikmat.

"Gue, kenapaa ya allahh,"

Kesal Bara.

Bara melajukan mobilnya menembus hiruk pikuk jalanan kota yang seakan mendukungnya untuk pergi ke kampus menemui Burhan. Entah kenapa jalanan begitu lengang siang itu. Tidak sepadat biasanya saat ia malah terburu buru saat sedang ada mata kulih dadakan.

"Kadang tuhan jadi gak adil gini. Atau, gue yang hidupnya terlalu monokrom. Gak berwarna. Item putih aja. Tapi biasanya gak kayak gini, ah mane geloo teh hari ini, "

Bara menggelengkan kepalanya kuat , tak tau lagi apa yang sedang ia fikirkan.

Sedangkan di bahagian dunia lain, Viona masih sibuk dengan catokan rambut ditangannya setelah beberapa saat keluar dari kamar mandi dan mengenakan pakaian pergi.

"Gapaham lagi gue catokan harga sejuta bisa meledak juga, padahal baru,hmm berapa bulan sih gue pake. Bentar deh, dari smp kali yaak. "

Viona menyunggingkan senyum lebarnya. Catokan yang ia pegang sekarang tak lain dan tak bukan adalah catokan baru yang dibelikan mama nya pekan lalu. Raynold juga sudah mengoceh panjang karna Viona sangat sentimen pada catokan jadul jaman alaya nya itu. Akhirnya,meledak juga. Hahha. Gak tanggung, ganti baru nya yang lebih mahal, biar awet.

Being Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang