Elora Wildani- 1

825K 22.1K 640
                                    

SEKALI LAGI AKU MENGERJAP, mencerna sekaligus menunggu. Siapa tahu laki-laki di ujung sana menarik, atau minimal mengoreksi kalimat yang mengudara beberapa saat lalu. Siapa tahu tawaran kerja sama tidak masuk akal barusan cuma bercandaan sambil lalu yang sering mereka lempar di saat-saat tertentu. Namun, melihat ekspresinya, yang terlihat bagai anak kecil memohon dibelikan main. Mau tidak mau, aku yakin permintaan barusan sama sekali tidak memiliki unsur main-main.

Aku bersedekap, sembari memohon pada emosiku sendiri untuk bertahan sedikit lagi. Ini kantor, bukan coffee shop tempat aku keluar dari peran karyawan. "Maaf?" Aku menjaga suara tetap sopan. Meski senyum yang melebar di wajah kebulean si lelaki, membesarkan niat memindahkan salah satu heels-ku ke wajahnya. "Bapak Ardiaz Bagaskara, Anda mabuk? Salah minum obat?"

Kekehan maskulinnya menggema di seluruh ruang kerja besar nan mewah ini, dia menggosok ujung dagu yang dihiasi bakal janggut lalu meninggalkan kursi hitam berpunggung tinggi yang terlihat empuk. Melangkah ringan menuju sofa cokelat di seberang meja kerja utama, dan duduk di sebelahku.

"Elora Wildani," panggilnya lembut, sambil mendorong pelan lengan kananku. Benar-benar tidak peduli aku sudah memasang wajah siap memaki. "Berapa lama kita dekat?"

"Dua tahun," sahutku malas-malasan.

"Nah—"

"Tapi jenis kedekatan kita, bukan jenis yang bisa kamu kasih penawaran macam itu!"

Aku melupakan niat tetap-bicara-sopan-sampai-akhir. Meninggikan suara, tidak peduli kemungkinan besar di luar sana ada orang yang memasang telinga lebar-lebar untuk pertemuan kami. Kebiasaan dari karyawan perusahaan setiap kali aku terlihat bersama Diaz, selalu ingin tahu apa yang kami bicarakan atau lakukan.

"Aku melihat kamu sebagai teman baik, bos, nggak lebih!" gerutuku seraya menggeleng.

"Aku juga melihat kamu sebagai teman yang menyenangkan, karyawan yang baik."

Lengan kokoh Diaz berusaha melingkari bahuku, tetapi aku menghindar cepat sampai rapat ke tangan sofa. Menciptakan jarak selebar yang mampu kubuat, penolakan tegas pada tawaran kerja samanya. Kerja sama? Aku benar-benar tidak percaya Diaz bisa memikirkan ide gila seperti ini.

"Aku nggak suka diatur-atur, kamu nggak suka mengatur. Aku sulit jatuh cinta, kamu nggak suka hubungan formal. Perfect!"

Gelenganku makin kencang, bertekad tidak bakal merubah jawaban.

"El, kita bisa hidup bareng tanpa—"

"Kalau tidak ada hal penting lainnya tentang pekerjaan, saya undur diri, Pak." Dengan cepat bokongku meninggalkan sofa, tetapi langkahku tertahan genggaman Diaz.

Aku menoleh, dan Diaz kembali melemparkan kalimat yang sama seperti tadi. "I need your help, El. Nikah sama aku."

Aku memandang bergantian wajah dan genggaman Diaz. Memang aku tidak suka hubungan formal, aku alergi hubungan jangka panjang, sementara Diaz hobi berganti pasangan seperti mengganti underwear. Kami sering saling mentertawai kebodohan masing-masing untuk keburukan itu, tidak jarang saling menguatkan—siapa tahu di depan sana ada seseorang spesial yang disiapkan buat kami. Selama ini Diaz selalu ada kapan pun aku butuh, begitu sebaliknya. Untuk situasi mendesak, kami saling menyelamatkan. Namun, hal-hal yang terjadi selama dua tahun terakhir, tidak menjamin kami akan baik-baik saja ketika merubah status dari teman jadi pasangan.

Lagi pula, Diaz selalu memintaku untuk tidak jatuh cinta kepadanya. Meski diucapkan saat bercanda, aku paham itu sebuah perintah. Selama ini aku berhasil menjaga diri tetap di batas wajar, tetapi kalau dipaksa masuk ke hubungan seserius itu, bagaimana bisa aku tetap menjaga tembok-tembok perbatasan berdiri kukuh? Aku masih normal dan punya hati, dan Ardiaz Bagaskara memiliki semua yang diinginkan perempuan normal. Tubuh atletis, yang menggoda untuk disentuh setiap saat. Bibir seksi, yang diidamkan bisa mengecap tiap jengkal badan. Harta, yang mampu mewujudkan impian duniawi dalam sekali kedip.

Bad GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang