Elora Wildani-12

308K 13.9K 188
                                    

SETELAH DUA JAM bicara banyak hal bersama Alfa, aku memberanikan diri kembali ke cottage.

Kupikir Diaz sudah mengunci diri di kamar, dia selalu mengurung diri saat mengalami hari yang buruk. Seperti kata Alfa, sepanjang hari aku terang-terangan menghindarinya. Belum lagi, nada tinggi yang kugunakan sebelum pergi tadi. Paket kombo untuk membuat hari buruk, kan?

Aku membuka pintu pelan-pelan, dan Diaz sedang duduk tegak di kursi kayu panjang depan televisi. Tanpa ekspresi. Bagai patung pajangan di pusat perbelanjaan.

Aku bertekad melewatinya dan masuk ke kamarku, tetapi kalau kulakukan, ini seperti bola salju yang menggelinding tanpa arah. Makin besar, menunggu menabrak sesuatu dan hancur berkeping-keping. Aku tidak mau kami berantakan. Jadi, bicara dari hati ke hat jalan satu-satunya.

Come on, Elora! Kenapa lo jadi ribet gini, sih? Lo selalu terus terang ke Diaz. Kenapa sekarang menghindar?

Setelah tarikan napas panjang dan kasar, aku mengisi ruang kosong di sisi kanan Diaz. Detik demi detik yang berlalu, mengingatkanku kembali pada rasa menyiksa saat menunggu dibawa masuk ke ruang operasi. Napas berat Diaz dan degup jantungku yang melaju cepat. Astaga!

"Diaz—"

"Aku nggak berminat minta maaf buat yang ini. Aku tahu caranya salah, tapi aku nggak menyesal."

Aku menengok, dan dia sudah memandangku penuh keyakinan. Seolah percaya diri kalimat yang dia lontarkan barusan, tidak akan berujung permintaan untuk tidak berhubungan lagi dariku.

"Kalau aku nggak begini, kamu nggak bakal pernah menganggap serius pengakuan aku. Kamu—"

"Apa yang kamu harapkan dari hubungan yang dimulai dari kebohongan dan keterpaksaan?" Aku mengajukan pertanyaan yang membungkam pembelaan Alfa untuk Diaz tadi. "Oke. Di sini. Untuk hal ini, aku juga salah. Sori buat itu. Udah dibawa sangat dekat sama keluarga kamu, sering diutamakan sesibuk apa pun kamu, tapi aku tetap nggak melihat kamu sebagai cowok. Tapi balik lagi ke pertanyaan aku, apa hal yang dimulai dari kebohongan bisa berakhir baik? Contohnya ini, kita belum mulai apa pun, Diaz ... tapi, aku udah capek."

Diaz menatapku begitu lama, membuatku bertanya-tanya apa dia sedang mencari alasan pembenar lagi atas tindakannya. Kemudian, dia merundukkan tatapan ke kepalan tanganku. Kedua lutut kami saling menyapa, dan tubuhku langsung meremang.

"Apa masih ada hal yang harus aku ketahui?" Aku mengajukan pertanyaan lagi, menjaga kewarasanku tetap di tempatnya.

Dia kembali mempertemukan mata kami, tidak berkedip, atau melakukan tindakan lain untuk menjawab pertanyaanku. Mata kami terkunci rapat. Dan aku mulai mengingat-ingat kapan Diaz menatapku seperti ini, sangat serius, seolah dia sedang bersiap memberikan hidup kepadaku. Tidak pernah. Setumpuk gambaran yang dilempar keluar otakku, tidak pernah sekali pun Diaz melihatku dengan cara seperti ini. Namun, aku merasa sudah ratusan kali ditatap seperti itu. Jantung yang berhasil kutenangkan beberapa menit lalu, kembali berdegup kencang.

"Nggak ada," sahut Diaz pada akhirnya.

"Yakin?"

"Iya."

Aku menghela napas dalam-dalam. "Jangan diulang lagi. Aku lebih terima dipaksa sadar daripada kamu pakai cara-cara nggak beres buat ..." Aku berdecak, mendorong pelan lututnya menggunakan lututku. "Kamu paham kan maksud aku? Intinya aku nggak suka dibohongi."

Diaz mengangguk, menarik napas sekali lalu bertanya, "Kita baik-baik aja?"

"Hmm," gumamku singkat.

Aku berdiri untuk mengakhiri pembicaraan kami. Lagi pula, jarum jam sudah berhenti di angka 12. Otak dan badanku kompak mengajukan surat izin istirahat.

Belum juga melangkah, Diaz menangkap satu tanganku. Keraguan terlihat jelas di wajahnya. Aku mengulurkan tangan, mengusap kerutan di keningnya.

"Aku masih kesal, tapi kita baik-baik saja." Pelan-pelan bergerak turun ke pipi Diaz, berupaya menghilangkan kekhawatiran dari matanya. "Aku masih mau memaki kamu karena seminggu ini energi aku habis buat mikirin hubungan ini. Takut kalau sebenarnya diam-diam aku punya rasa lebih dari 'teman', tapi kamu nggak punya. Khawatir aku telanjur pakai hati, merasa jadi cewek pilihan kamu, tapi kamu cuma anggap aku bidak supaya menang di permainan."

"El—"

Satu tanganku buru-buru turun ke bibirnya, lalu aku sedikit merunduk—mendaratkan bibirku di kening Diaz. "Walau aku sebal dibohongi, aku juga lega kita di jalur yang sama." 

Bad GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang