Elora Wildani-7

182K 11.8K 97
                                    

MOBIL DIAZ BERHENTI di salah satu area valet restoran mahal dan private di Kemang, membuatku tersadar permintaan sederhanaku untuk tidak bersikap berlebihan, sama sekali tidak dianggap olehnya. Buat apa makan malam di restoran yang sekali makan bisa menghabiskan satu juta buat satu orang? Apa telah terjadi sesuatu yang besar, sesuatu yang patut dirayakan dengan makan mewah seperti ini?

Belum puas aku mengomel dalam hati, Diaz sudah lebih dulu turun dari mobil—berputar cepat, lalu membuka pintu sisiku. Dengan senyum misterius, dia mengulurkan tangan seperti laki-laki patuh yang dimabuk cinta. Setengah diriku tergoda untuk menyambut, setengah lagi memperingatkan untuk tahu diri. Akhirnya aku mengacuhkan tangan Diaz, keluar tanpa bantuannya.

"Jangan berlebihan. Aku nggak suka, Diaz," kataku pelan supaya petugas valet yang jarak berdirinya beberapa langkah dari kami tidak dengar.

Diaz mengangguk kecil. Setelah menerima kartu bukti valet, dia langsung menautkan jemari kami. "Ini nggak berlebihan. Ini wajar."

Aku kalah telak sebelum menyerang.

Seharusnya aku terkesan saat masuk ke restoran yang selalu dibicarakan Laras, tempat idaman untuk berkencan, suasananya sangat mengutamakan privasi tamu dan menonjolkan keintiman. Di lantai satu ada empat ruangan tertutup, yang kelihatannya bisa menampung empat sampai lima orang. Di tengah-tengah empat ruang itu terdapat sebuah pohon berhiaskan lampu kuning melingkar di batang dan dedaunan, yang menembus ke lantai dua, entah jenis apa. Aku digandeng Diaz menaiki lantai dua. Suasananya berbeda dari lantai satu, tidak ada ruangan kecil-kecil, langsung meja persegi dan dua kursi, dilengkapi lilin-lilin kecil di tengah meja. Sejauh mata memandang, hanya ada pelengkap untuk menambah keromantisan. Grand piano putih, bucket bening berisi es dan tiga botol wine berbeda jenis. Belum lagi jendela kaca hitam besar, yang menampilkan pemandangan langit dan jalanan Jakarta.

Diaz menarik kursi untukku, dan aku menarik napas panjang sebelum duduk. Memilih untuk mengamati keadaan di luar, membiarkan Diaz mengurus makanan dengan pramusaji yang mengantarkan kami ke sini.

Setelah pramusaji pergi, aku baru mau memandang Diaz. Di bawah temaram lampu kuning tempat ini, dia tersenyum sangat kecil, senyum tegang yang tidak memperlihatkan gigi sama sekali. Kira-kira apa yang membuatnya seperti itu? Apa yang dia tunggu? Apa dia ingin aku tersenyum lebar, atau tertawa manja, terus pindah ke pangkuannya?

Aku berusaha mengeluarkan sesuatu, minimal satu kata, atau kalau memungkinkan satu kalimat, tetapi pikiranku kosong. Mataku bergerak turun, memperhatikan lilin di tengah meja dengan putus asa. Diperlakukan seistimewa ini impian semua perempuan, aku juga. Namun, detik ini, alih-alih bahagia, aku merasa hampa.

Laki-laki di depanku memang sedang berusaha meyakinkan dan mendapatkanku. Sayangnya, tidak ada cinta di sana. Dia hanya butuh rekan untuk memuluskan rencana, dan ini terasa seperti jamuan makan malam yang sering dia gelar untuk calon partner bisnisnya. Tanpa bisa kucegah, gelombang kesedihan menyebalkan menyerang, menjalari perut, berusaha mengambil alih dadaku.

"El?" Aku memaksakan diri mendongak, dan Diaz sudah melipat kedua tangan di meja—memandangku dengan khawatir. "Kenapa muka kamu kayak gitu? Ini bukan rumah sakit, apalagi rumah hantu."

Aku tidak menjawab, hanya ikut mencondongkan badan dan melipat kedua tangan di meja. Sesaat, aku mencoba menyelami mata Diaz. Berusaha mencari tahu sejauh mana hubungan kami ini dianggap permainan olehnya, tetapi aku tidak menemukan apa pun. Diam-diam, aku tertawa ironi dalam hati. Diaz ataupun keluarganya selalu mengatakan; aku tahu semuanya tentang Diaz. Kadang, aku juga berpikir begitu, tetapi sejak dia 'melamar' hingga detik ini berjalan ... aku tersadar, aku tidak tahu apa pun tentang Ardiaz Bagaskara, terutama hatinya.

Bad GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang