AKU MEMANDANG CANGGUNG sebuket White Lily di samping layar komputerku, sementara Laras dan rekan kerja yang duduk sebaris denganku beberapa kali tertangkap basah mencuri pandangan ke arahku. Desas-desus yang beriringan dengan bunyi ketikan keyboard sudah berlangsung sejam, tetapi orang-orang itu belum juga lelah.
"Ssst. Ssst. Ce-wek!" panggil Laras dengan nada jenaka.
Aku tidak berminat merespon, tetapi perempuan itu pasti terus mengganggu. Jadi aku menoleh dengan ekspresi lelah dan merengut, berharap diberikan belas kasihan. Alih-alih meninggalkanku, Laras tertawa tanpa suara dan sengaja menaik turunkan kedua bahu dengan heboh.
"Kartu," bujuknya seraya melirik kartu kecil yang tersemat di tengah-tengah buket.
Aku menggeleng, dan dia memohon dengan tangan.
Dengan sangat hati-hati, aku melepaskan kartu dan memberikan benda itu ke Laras tanpa membaca. Hanya perlu beberapa detik, Laras mengembalikan kartu padaku. Senyumnya makin lebar, disusul kalimat, "So sweet."
Aku mengernyit, sekaligus membuka kartu pelan-pelan.
Ditulis dengan tangan, dan aku sangat mengenal tulisan siapa penulisnya. Yang artinya si pemesan datang langsung ke toko. Kapan? Makan siang? Tetapi bunga ini diantar setengah jam setelah semua karyawan selesai istirahat, apa bisa diantar secepat itu?
Siapa tahu kamu jadi nggak males ngerawat makhluk hidup.
Aku berkedip beberapa kali, melirik Laras yang setia mengawasi wajahku. Sialan. Apa wajahku merah padam? Karena Laras buru-buru memalingkan wajah dan menunduk dalam-dalam, dengan kedua kaki mengentak heboh ke lantai berlapis karpet tile hitam dan kedua tangan menutup mulut.
Belum juga reda dari masalah bunga, tiba-tiba pintu kaca ruang divisi terbuka. Seketika desas-desus hilang, digantikan lirikan penuh minat antara pintu dan aku. Bahuku kaku melihat siapa yang berjalan melewati pintu itu, dengan cepat aku menyembunyikan kartu di bawah keyboard, lalu kedua tanganku terkepal di atas paha. Alarm pertahan diriku berbunyi nyaring, mengirim sinyal untuk pura-pura bekerja daripada mematung seperti orang tolol. Mengingatkan untuk mawas diri. Orang itu tidak datang sendirian. Dia bersama sang adik—yang menjabat sebagai direktur keuangan Mega Tarinka, yang ruangnya hanya berjarak lima belas langkah dari mejaku. Dia ke sini untuk pekerjaan.
Bagai robot, aku memaksa jari-jariku mendarat di keyboard. Siap memeriksa lagi laporan keuangan bulanan dari anak cabang di Bali, sambil berdoa tidak ada yang berhenti di depan kubikelku, dan memamerkan lagi fakta kalau kami sedang menjalin hubungan lebih dari sekadar bos-bawahan ataupun teman.
Laras sudah duduk tegak sepertiku, sengaja berdeham pelan beberapa kali.
Baru saja aku mencondongkan diri seolah ingin menembus layar komputer, ada yang berhenti di depan kubikelku. Aku menggigit kuat-kuat bagian dalam bibirku, memaksa diri untuk mendongak saja—mempercepat orang itu meninggalkanku.
Rambut hitam kecokelatan dengan ikal-ikal yang terlihat kusut di bagian depan, menggoda untuk disentuh, jadi pandangan pertama begitu aku mendongak. Perutku langsung bergolak hebat, mendapati dia berdiri di depanku bersama sang adik, Alby Bagaskara. Alby berdiri miring menghadapnya, mengamati wajahku lalu cara sang kakak memandangku.
Astaga.
Diaz sangat serius memainkan permainan ini, memastikan aku tidak bisa melarikan diri.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak Diaz?" Sengaja aku menekan suara pada kata Pak Diaz.
Dia harus tahu aku masih mempertahankan batasan-batasan di jam kerja, seperti sebelumnya.
"Ada," jawabnya tenang, seolah 25 manusia di ruangan ini menjadi tidak terlihat. Cuma ada kami, dan aku benar-benar ingin melemparkan buket lily ke wajahnya. "Tolong, setelah saya meeting sama Alby, kamu bawakan anggaran belanja buat proyek pembangunan jalan di Sukabumi. Itu kamu yang pegang, kan? Sudah beres diperiksa?"
Aku melirik Alby, memastikan hal itu tidak akan jadi masalah. Karena biasanya, semua melewati Alby lebih dulu. Alby mengangguk singkat, seperti paham itu satu-satunya cara buat aku lepas dari gangguan Diaz.
"Baik, Pak," kataku, dengan suara sedikit bergetar.
Tanpa mengubah ekspresi datar dan tegas, Diaz bergeming di depanku. Setelah aku mengganti pandangan hormat ke tajam, diikuti panggilan Alby, Diaz baru beranjak dari posisinya. Sebelum pergi Diaz melemparkan senyum sialan itu lagi, senyum penuh makna dan daya tarik yang membentuk keintiman primitif dalam tubuhku. Memancarkan kekuatan yang dimiliki Diaz, keteguhan liar sekaligus lembut.
Bulu kudukku meremang.
Tersadar pada satu bahaya yang siap menungguku di depan nanti; Diaz.
Meski tiga bulan yang kami sepakati tidak berjalan baik, Diaz tidak akan mudah melepaskanku. Seolah-olah sejak aku diminta menikahinya, sejak itu semua pintu untukku melarikan diri sudah dimusnahkan Diaz.
Gilanya, di tengah kengerianku ada rasa menarik menggelitik sanubari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Games
RomanceArdiaz Bagaskara dan Elora Wildani bermain peran sebagai pasangan di depan keluarga besar Bagaskara demi keamanan posisi Ardiaz sebagai CEO MegaTarinka, tetapi lama kelamaan Elora sadar kalau posisi Ardiaz di perusahaan aman-aman saja, dan Ardiaz m...