Elora Wildani-10

295K 14K 61
                                    

KETIGA MAMA BAGASKARA sibuk mengolah makan siang di dapur, aku tadinya berniat membantu diusir tanpa basa-basi. Alhasil, aku berakhir duduk bersama Eyang di pondok depan lapangan basket. Menemani Eyang menonton pertandingan dua lawan dua para cucunya. Diaz-Abe, Alfa-Alby.

Sejak aku duduk dan memberitahu 'diusir' oleh tiga mama Bagaskara, tidak tercipta obrolan panjang antara kami. Eyang mengamati serius permainan keempat cucunya, sementara aku yang tidak terlalu suka olahraga mengisi waktu dengan membaca novel online. Entah sudah berapa lama waktu berlalu, ketika petugas dapur membawakan kue lapis dan satu teko beling berisi jus jeruk yang terlihat menyegarkan.

"Jadi, kalian sudah resmi?" Tiba-tiba Eyang bertanya, setelah aku mengucapkan terima kasih dan dua petugas dapur menjauh.

Aku mengerjap, sambil memegangi gelas bening panjang berisi jus jeruk. Eyang memiringkan duduk, dan aku makin sulit menyembunyikan wajah tololku.

"Apa yang resmi, Eyang?"

Dengan senyum penuh arti, Eyang melayangkan ujung kipas lipat kayunya ke lenganku. Terlihat bertekad mendapatkan jawaban dariku. Aku meneguk jus jeruk, mengulur waktu sekaligus meredam panik tidak masuk akal yang datang tiba-tiba. Padahal, kupikir sudah lolos dari situasi macam ini. Sepanjang sarapan semua bersikap biasa-biasa saja. Bahkan Tante Riana tenang-tenang saja, tidak heboh membuka obrolan tentang pertemuan kami di restoran.

"Elora."

Aku terbatuk kecil, makin kikuk saat Eyang memusatkan perhatian kepadaku. Tidak peduli di lapangan terdengar teriakan saling menyumpahi, disusul tanggapan heboh para bapak yang duduk di pinggiran lapangan yang penuh dengan tanaman di seberang mereka, mata Eyang tetap mengunci diriku.

Eyang menaikkan satu alis, dan aku makin terintimidasi.

Aku menaruh pelan-pelan gelas di meja. "Mau nggak mau jadi resmi; karena Eyang."

"Eyang?" Rasa terkejut terdengar jelas di suara Eyang, ditambah gerakan dramatis menunjuk diri sendiri dengan ujung kipas.

Aku mengerjap lagi, ekspresi itu. Astaga. Diaz juga menunjukkan ekspresi yang sama sewaktu mengucapkan kata menikah. Seolah-olah tidak percaya, sekaligus mewajarkan.

"Eyang, please, jangan pura-pura nggak tahu," pintaku, yang terdengar seperti rengekan. "Masa Eyang lupa Senin lalu telepon Diaz, terus ngancem kalau ulang tahun dia tahun ini nggak punya hubungan resmi sama satu cewek. Semua mau Eyang ambil. Perusahaan. Warisan."

Eyang menempelkan ujung kipas ke pinggiran bibir beliau, menaikkan satu alis, dengan kernyitan berlapis.

"Diaz udah mati-matian urus perusahaan, mana mau dia lepas begitu saja karena masalah menikah. Ujung-ujungnya, dia ajak aku nikah."

Aku tertawa getir lalu menghela napas kasar. Aku melirik Eyang, dan ekspresi datar yang dipamerkan Eyang membuatku gemas. Seperti lupa siapa aku, siapa Eyang. Aku mendekatkan kursiku ke kursi Eyang, sampai tangan kursi kami menempel. Aku tidak lagi memandang Eyang sebagai pimpinan perusahaan besar, atasanku, bersikap bagai bocah yang siap mengadukan kesalahan orangtua kepada sang nenek, hal yang sama sekali tidak pernah kulakukan ke Oma.

"Diaz bilang, aku satu-satunya manusia masuk akal yang bisa dijadikan calon istri. Yang kemungkinan ditolak Eyang dan dicereweti Tante Liza sangat kecil."

Aku melirik Diaz yang asyik menggiring bola menjauhi Alby, tertawa lepas seolah tidak memiliki beban.

"Tapi, Eyang ... aku nggak langsung terima. Aku masih mau rumah tangga aku nanti kayak Mama-Papa, Tante Eliz-Om Jimmy," lanjutku, kembali mengadu pandangan sama Eyang. "Kayak Eyang ... sekali seumur hidup. Jadi, aku minta ke Diaz buat menguji hubungan kami tiga bulan. Kalau maksud Eyang resmi tadi pacaran, ya, bisa dibilang gitu. Walaupun aku merasa, kami itu kayak partner di permainan ganda. Kayak, dia kerja sama buat menangin pertandingan basket bareng Abe."

Bibir Eyang masih rapat. Beliau melempar pandangan ke arah lapangan, masih tanpa ekspresi. Hanya sebentar, lalu kembali menatapku lembut.

"Setelah tiga bulan, bagaimana?"

"Kalau cocok, ya, kami lanjut. Kalau nggak ..." Aku mengangkat kedua bahu. "Tapi, Eyang ... apa nggak ada cara lain? Gini loh, Eyang pernah cerita ke aku, Diaz masuk ke perusahaan dari jabatan terendah sejak kuliah. Dia satu-satunya cucu Eyang yang menganggap perusahaan sebagai satu hal yang penting dalam hidup. Masa Cuma ...."

Aku berhenti sejenak, meneliti wajah Eyang, memperhitungkan apa ini akan jadi masalah besar atau tidak. Namun mengingat Eyang tergolong orangtua yang demokratis, jadi aku memberanikan diri mengungkapkan pemikiranku. Seperti di setiap kesempatan kami bertemu, obrolan terbuka selalu ada.

"Aku tahu keturunan sangat penting buat Eyang. Hal-hal yang Eyang raih, perjuangkan, semua ini ... perlu penerus. Tapi, kan, semua yang ditetapkan secara terburu-buru dan penuh paksaan nggak baik juga. Apalagi, ini pernikahan. Kalau dibangun atas dasar keharusan dan kewajiban, bagaimana dua manusia yang menjalankan pernikahan itu bisa bahagia? Bagaimana Diaz bisa bahagia?"

Ada sesuatu di senyum Eyang Maria yang membuatku tidak berkutik. Kelembutan berbalut kekuatan. Kekuatan yang mungkin didapatkan Eyang setelah menjadi kepala keluarga ini selama berpuluh-puluh tahun.

"El, seberapa sering kamu dengar Eyang terang-terang bilang kalau nggak ada Diaz, Eyang nggak tahu perusahaan mau diserahkan ke siapa?"

Aku terdiam sejenak lalu menjawab, "Hampir setiap kali kita ketemu."

Eyang tersenyum makin lebar, mendaratkan ujung kipasnya ke kepalaku. "Kalau posisi dia, Eyang cabut karena nggak nikah. Siapa yang mau urus perusahaan? Alby? Anak itu nggak suka mengambil keputusan-keputusan besar, dia lebih suka menjalankan perintah. Abe? Pesawat dan awan sudah jadi cinta matinya. Alfa? Dia nggak suka terlibat sama protokol-protokol resmi perusahaan. Dia bahkan nggak suka basa-basi dengan banyak orang demi memperluas bisnis."

Aku memiringkan kepala, dan Eyang tertawa geli.

"Dan yang paling penting, Eyang terakhir telepon Diaz dua minggu lalu dan obrolan kami sama sekali nggak membahas pernikahan."

Aku melongo. Berkedip-kedip bagai ada ratusan debu memasuki mataku. Aku berusaha mencerna, berpikir Eyang mengerjaiku, tetapi sorot mata dan tawa Eyang ....

Demi Tuhan. Apa sih yang salah dari otak Diaz?

"Ada satu kejelekan Diaz yang sebenarnya sering buat Eyang kesal. Ini. Suka cari jalan pintas. Dia jual nama Eyang demi membawa hubungan kalian ke jenjang lebih tinggi."

Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat. Kalau bukan karena usapan lembut Eyang di punggung tanganku, mungkin aku tidak akan sadar kedua tanganku sudah terkepal erat sampai urat-urat menonjol ke permukaan.

"Terlepas dari jalan pintas itu, Eyang bisa pastikan dia nggak punya maksud buruk ke kamu. Dia sudah terlalu lama menyamarkan perasaan sebenarnya ke kamu. Teman?"

Eyang tertawa lagi, dan pikiranku makin kosong. Setiap petugas yang mengoperasikan otakku memilih mundur dari tugas masing-masing. Merasa malu, kebingungan, entahlah.

"Kamu itu punya ruang khusus di hati Diaz, Elora." Eyang menepuk-nepuk punggung tanganku. "Ingat, awal pertemuan kita di ulang tahun perusahaan. Sewaktu Diaz mengenalkan kamu ke Eyang, ke orangtuanya bukan sebagai karyawan. Hari itu Eyang langsung paham, you're special to him. Entah kamu tahu atau nggak, tapi Diaz nggak pernah mengenalkan atau membawa perempuan, selain kamu. Pertanyaannya: apa Diaz ada di hati kamu? Apa Diaz juga spesial buat kamu?" 

Bad GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang