Elora Wildani-8

310K 14.2K 99
                                    

TIGA HARI BERLALU, tetapi keadaanku tidak jauh berbeda dari hari pertama. Orang-orang di gedung Mega Tarinka masih heboh membicarakanku dan Diaz, bahkan tiap hari taruhan yang mereka mainkan makin tinggi jumlahnya. Prediksi kapan kami berpisah makin lama makin pendek. Ada yang bertaruh seminggu, dua minggu, padahal sebelumnya jarak terpendek di bulan keempat. Penyebabnya, karena aku dan Diaz tidak pernah lagi terlihat bersama di kantor. Makan siang yang biasanya aku habiskan bersama dia, kini kuhabiskan bersama angka-angka. Karena terlalu malas berhadapan dengan orang-orang yang masih memperhatikanku layaknya aku badut Dufan, aku meminta tolong Laras membeli makanan dan minuman. Begitu pun Diaz, tidak pernah lagi menyuruh office boy membawakan makanan apa pun untukku. Setiap jam masuk atau pulang kantor, ada saja orang yang menungguku. Lebih tepatnya, menunggu aku turun dari super car—dijemput supir pribadi—hal-hal istimewa yang biasa orang-orang pikirkan saat berpacaran dengan laki-laki sejenis Diaz, tetapi yang lihat aku berangkat dan pulang kantor naik ojek atau taksi online.

Kata Laras banyak teori bermunculan, seperti keluarga Bagaskara tidak setuju padaku, yang langsung membuatku menciptakan sebuah pengandaian dalam hati; seandainya terjadi, mungkin akan melegakan. Aku tidak perlu berlama-lama memainkan permainan berbahaya ini bersama Diaz, dan hidupku bisa kembali tenang.

Aku memijit tulang hidung, sebelum mengambil ponsel dan membaca ulang pesan singkat Diaz tadi siang.

Diaz : Aku meeting di GI, kayaknya sampai sore.

Nanti aku balik kantor buat jemput kamu, terus langsung kita ke kos ambil barang-barang kamu. Aku males kena macet kalau berangkat besok pagi, kita berangkat malam ini aja.

Lagi pula, yang lain berangkat hari ini.

Aku mendesah, mengedarkan pandanganku ke seputaran ruangan yang terlihat kosong. Lalu, kembali memperhatikan ponsel. Sambil menaik turunkan layar, aku membaca ulang pesan-pesan pendek yang jadi satu-satunya cara aku dan Diaz berkomunikasi sejak kejadian di restoran Tante Riana. Diaz selalu jadi yang pertama mengirimkan pesan; mengingatkan makan siang, jangan tidur terlalu malam, atau memastikan aku memilih kendaraan aman untuk beraktivitas. Dan aku, menjawab semua pesan seadanya dengan singkat, sampai Diaz tidak punya celah untuk memanjangkan obrolan.

Semakin kubaca, semakin aku merasa tidak enak hati.

Aku menjauhi Diaz terang-terangan, tetapi ini satu-satunya cara yang terpikir olehku untuk menyelamatkan hati. Kalau tidak menepi sejenak, rasa kosong di restoran kemarin akan berlanjut ke pengandaian. Dari pengandaian, aku mulai berharap Diaz memiliki sedikit saja rasa suka, sayang, tulus, apa pun itu. Akhirnya aku akan menyodorkan hati, tetapi dia sama sekali tidak menginginkannya.

"Woi!" Aku mendongak, dan Laras menggeleng kesal. "Elora Wildani? Nama lo belum berubah, kan?"

Aku mengerutkan kening. Merasa heran dengan kemunculan Laras, padahal sejak tadi aku mengira Laras sudah pulang. Dengan ekspresi tidak sabar, Laras menepuk pelan keningku dengan ke dua jari.

"Dari tadi gue panggilin. Boro-boro dijawab, dilirik aja nggak. Mau pulang bareng nggak? Mumpung gue lagi dipinjemin mobil, nih."

Aku meringis, dan Laras makin mengernyit. Aku ingin sekali ikut bersama Laras, daripada terjebak sepanjang weekend bersama Diaz dan keluarganya.

"Are you okay? Beberapa hari ini lo kelihatan lebih pendiam, terus sering lost gitu." Laras mengedarkan tatapan ke segala arah lalu merunduk. "Lo? Bu-bar?"

Aku tersenyum masam. "Jangan bilang lo ikut pasang taruhan sama anak-anak engineer?"

"Nggak! Gila! Mana tega gue jadiin hubungan sahabat gue taruhan, lagian makin lama jumlah taruhannya makin nggak masuk akal. Ada yang nyodorin gaji sebulan. Dih, mending gue pake shopping, ke salon." Laras kembali berdiri tegak, memeluk tas laptop di depan dada, dan aku menunggu tanpa menurunkan kewaspadaan pada kalimat lanjutan Laras. "Jadi, mau pulang bareng nggak?"

Bad GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang