AKU DUDUK DI TERAS cottage, membuka bir ketiga hasil merampok dari kamar Abe. Sambil menikmati udara sejuk Lembang, pelan-pelan, aku mengurai lelah usai berpura-pura baik sedari siang sampai malam begini. Terlihat menikmati obrolan demi obrolan, padahal otakku sibuk menciptakan perdebatan sendiri.
Suara-suara anggota Bagaskara, Diaz, beradu dengan pengakuan dan pertanyaan Eyang.
Aku menghela napas setelah sensasi hangat dari bir melewati kerongkonganku. Diam-diam bagian terkecil diriku berharap Diaz menyadari perubahan caraku memandangnya ataupun bersikap, mulai khawatir aku berhasil membaca langkahnya seperti di restoran tempo hari, lalu berusaha jujur. Namun, sejauh ini dia tidak menyadari itu, terlihat santai. Diamku sepanjang perjalanan balik ke bangunan ini, hingga aku memilih duduk di luar daripada menonton televisi di dalam bersamanya, tidak membuat Diaz terganggu.
Aku melirik kaleng bir, menggoyangkan benda itu, lalu tersenyum miris.
Ternyata bukan cuma tentang Diaz yang mendadak rumit, aku juga.
Setengah hatiku bersorak-sorai, merayakan fakta Diaz menyimpan rasa padaku. Namun, setengah lagi sedang berduka bercampur marah, kenapa harus menggunakan cara tidak jujur seperti ini? Kalau benar-benar tulus, kenapa membuat skenario seolah ini paksaan?
"Elora?" Suara lembut Diaz mengudara.
Aku menaruh bir, menoleh ke kiri, dan menemukannya sedang bersandar di pintu kayu.
Ujung dagunya mengarah ke barisan kaleng bir kos, bersedekap, dengan rahang sedikit mengeras. "Ada perayaan apa?"
Secara naluriah, aku duduk tegak. Memasang ancang-ancang siap perang, terpancing nada keras dan dingin yang dipakai Diaz. Seolah-olah dia punya hak untuk mengatur apa yang aku minum, makan, apa pun itu.
Aku mengarahkan telunjuk ke dadaku lalu ke arahnya. "Kita."
Tidak peduli nada kasar yang terlepas membuat Diaz memelotot, aku berdiri. Rasanya mengakhiri obrolan di sini lebih baik daripada satu hari yang tersisa jadi tidak nyaman buat kami.
Aku berjalan tak acuh melewati dia, masuk ke ruang duduk. Kamarku tersisa beberapa langkah, tetapi pintu yang tertutup keras di belakangku memaksa langkahku berhenti. Aku menoleh ke asal suara, dan Diaz balas melemparkan raut wajah kaku hingga membuat perutku bergolak ngeri. Aura keras dan gelap meningkat seratus kali lipat. Mata dan kakiku kesulitan bergeser meski sedikit. Dengan rahang sekeras besi dan tatapan setajam paku, Diaz menghampiriku.
Aku memaki diri sendiri, putus asa pada sengatan aneh nan gila yang mengaliri setiap saraf di badanku saat tatapan intens Diaz menelusuri dari wajah sampai kaku, berhenti sejenak di bibir, lalu kembali ke mata.
Tolol! Tolol!
Rasanya bagaikan menarik pelatuk senapan yang berisi peluru mematikan, aku berteriak sambil mengulurkan satu tangan ke udara. "Setop!" Diaz tidak peduli. Dia tetap maju, dan aku melangkah mundur agar jarak kami tetap panjang. "Aku udah tahu semuanya!" kataku dengan nada tinggi. Kedua alis Diaz melengkung naik, dan Demi Tuhan apa tidak bisa sekali saja orang ini terlihat seperti trol atau berbentuk menakutkan. Supaya kewarasanku tetap bercokol di tempat seharusnya dan jantung sialan ini berhenti berdebar tidak karuan. "Eyang nggak nelpon kamu. Nggak ada ancaman pencopotan, pencoretan, apa pun itu."
Lalu tawa getirku menggema, bersahutan dengan film yang diputar HBO.
Diaz berhenti, dan aku makin ingin melemparkan sesuatu ke wajahnya. Ekspresi Diaz tidak ada kaget-kagetnya, tidak juga menunjukkan penyesalan.
"Kenapa harus begini, Diaz?" Akhirnya aku mampu mendatarkan lagi suaraku, mengepalkan kedua tanganku di samping paha. "Kata Eyang ini jalan pintas supaya hubungan kita keluar dari zona nyaman pertemanan, fine, tapi kenapa caranya begini?" Sekeras apa pun aku berusaha menjaga suara tetap datar, akhirnya tetap naik-naik juga. Apalagi, tidak ada tanda-tanda Diaz akan mengubah ekpresinya. "El, kita udah temenan dua tahun. Kamu bukan penjilat, apalagi pengeruk harta, seperti cewek-cewek lain yang dekat sama aku. Kamu melihat dan memperlakukan aku as human, bukan ATM berjalan. Bla-bla-bla. Banyak kalimat menyanjung hati yang bisa diucapkan buat meningkatkan hubungan kita dari teman ke dating! Kamu—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Games
RomanceArdiaz Bagaskara dan Elora Wildani bermain peran sebagai pasangan di depan keluarga besar Bagaskara demi keamanan posisi Ardiaz sebagai CEO MegaTarinka, tetapi lama kelamaan Elora sadar kalau posisi Ardiaz di perusahaan aman-aman saja, dan Ardiaz m...