Elora Wildani-2

248K 12.9K 228
                                    

AKU BERUSAHA FOKUS memeriksa keuangan anak cabang, tetapi otakku tidak mau berhenti memikirkan permintaan Diaz. Setengah prihatin dan ingin membantu, setengah lagi memohon untuk mempertahankan keyakinan bahwa rencana sinting Diaz tidak akan berhasil.

Menikah? Aku menggeleng kecil sambil menaik-turunkan kursor. Apa dia tidak berpikir menikah itu melibatkan dua keluarga bukan kami saja? Bagaimana kalau satu hari nanti ini jadi masalah? Bagaimana kalau kami ketahuan, atau ternyata kami benar-benar tidak cocok jadi pasangan lalu berpisah? Mungkin keluarga besar Bagaskara tidak akan sulit ditangani, tetapi keluargaku? Oma dan Tante bisa lebih semangat menyusahkan Mama di rumah Bandung. Aku bisa sembunyi di Jakarta, tetapi Mama? Bagaimana Mama menghadapi Oma dan Tante? Keadaan ekonomi Papa yang stuck, kehadiranku dan kenangan menghabiskan uang di dokter, dua itu masih jadi momok mengerikan buat Mama. Masa iya, aku memberi satu masalah lagi untuk Mama?

Aku menjauhkan tangan dari keyboard, lalu memijat tulang hidung. Berusaha memangkas pikiran-pikiran tidak enak yang tumbuh lebat di kepalaku. Di tengah usaha kerasku, tiba-tiba kursiku ditabrak kursi lain dari sisi kanan. Aku mengumpat, dan si pelaku tertawa pelan sambil melingkarkan tangan ke lenganku.

"Please deh, Laras! Lagi nggak mood!"

"Udah tahu." Laras, rekan satu bagian di perusahaan, sekaligus teman dekat pertamaku di Jakarta. Dia melepaskan tanganku, lalu menyandarkan kursi ke perbatasan kubikel kami, membuat kami saling berhadapan. "Makanya gue datengin. Siapa tahu gue bisa mengembalikan keceriaan Elora Wildani. So ... what happened?"

"Kerjaan."

"Nyahhh," cemooh Laras. "Kalau ini kerjaan, lo pasti udah turun ke bawah—ngopi. Bukannya masang muka kayak mau dijodohin sama om-om."

Tanpa sadar aku bergerak gelisah di kursi, khawatir mulutku tidak bisa diajak kerja sama. Laras selalu berhasil memberi saran baik di saat otakku penuh, tetapi ini menyangkut privasi Diaz juga. Meski Laras bisa dipercaya tidak akan mengumbar masalah ini, tetap saja terasa salah.

"Oma sama tante lo lagi, ya?"

Aku membimbing tatapan Laras ke layar komputerku. "Benar-benar kerjaan. Gue pusing lihat arus kas di kantor cabang Jawa Tengah. Aneh. Lihat deh, pembelian mesin bulan ini gila banget dan nggak cocok sama nota yang dilampirkan"

"Oke. Oke. Sebebasnya Elora saja! Pokoknya, gue selalu siap jadi tempat sampah lo." Laras menepuk-nepuk bahuku. "Tapi, setelah puas ngeluarin unek-unek, traktir gue sushi. Nggak ada yang gratis Mbak di Jakarta, maklumin, ya!"

Setelah mengatakannya Laras tertawa. Biasanya aku ikut mentertawakan kalimat sarkas bernada jenaka ciptaan Laras, tetapi kali ini otakku menanggapi serius ucapan Laras. Nggak ada yang gratis di Jakarta. Apa Diaz juga berpikir begitu? Apa Diaz sedang menagih balasan untuk semua kebaikan yang dia lakukan padaku?

Dengan santainya Laras kembali ke kubikelnya, sementara aku makin menyuburkan pikiran-pikiran buruk dalam kepala. Namun, baru lima menit, Laras kembali menoleh ke arahku.

"Jangan-jangan berhubungan sama Pak Diaz?"

Sepersekian detik jiwaku berusaha kabur dari badan, meski akhirnya kewarasan berhasil memenangkan pertarungan. Memerintahkan ekspresiku tetap datar dan mengunci bibirku.

Laras menyeret kursi kembali ke hadapanku, seraya mengamati wajahku lamat-lamat. "Mari kita telaah," katanya serius, diikuti lipatan kedua tangan di depan dada. "Pertama. Kenapa lo dipanggil ke ruangan beliau? Jangan alasan kerjaan, please, kerjaan lo wajib melewati Pak Alby buat sampai ke tangan Pak Diaz."

Aku membuka bibir, tetapi Laras lebih dulu melanjutkan kalimatnya.

"Kedua. Kenapa ketemuannya nggak nunggu makan siang? Coffee shop? Restoran dekat sini? Kalian punya peraturan wajib nggak tertulis; kalau mau ketemu harus di tempat umum, tempat terbuka." Satu alis Laras terangkat, makin sibuk menganalisis wajahku, lalu tersenyum jenaka. "Jangan-jangan dia ngajak lo keluar dari area friendzone setelah dua tahun kalian terjebak di sana?"

Bad GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang