Elora Wildani-9

310K 14.8K 237
                                    

AKU MENGEDARKAN PANDANGAN ke setiap sudut vila keluarga Bagaskara, yang terlihat seperti komplek perumahan dengan 10 bangunan rumah sederhana berarsitektur rumah tempo dulu. Kayu-kayu. Ukiran. Namun, berfasilitas bagai hotel bintang lima; kolam renang, lapangan basket, tempat fitnes, ruang makan besar dengan open kitchen, pendopo besar di samping lapangan basket.

Ada berbagai jenis pohon di tiap sudut tanpa bangunan, macam-macam bunga hias di samping kanan-kiri jalan bebatuan yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain, sisanya hamparan rumput taman. Benar-benar tempat yang nyaman untuk bersantai bersama keluarga, menepi dari kepadatan Jakarta.

"Udah siap, El?" Suara Diaz muncul di balik punggungku, diikuti derit pintu kayu yang tertutup.

Aku yang sedari tadi mengagumi pemandangan sekitar vila dari jendela kaca besar langsung menoleh ke sumber suara. Semoga saja ekspresiku tidak memberi kesan norak. Diaz berdiri di antara pilar yang memisahkan dua kamar di cottage ini. Berpakain santai, jins pendek biru tua dan kaus polos abu. Kewibawaan yang biasa dipamerkan Diaz di kantor tersembunyi rapi, digantikan keliaraan yang sulit ditolak atau dijinakkan siapa pun. Satu bisep berhiasakan tato, rambut acak-acakan tanpa gel.

Getaran aneh dan gila menjalari perutku, ketika bibir Diaz pelan-pelan terbuka dan namaku keluar dari sana. Sialannya, otakku yang kurang ajar ini langsung memutar adegan ciuman kami semalam. Ciuman yang berhasil membujuk pikiran burukku tentang Diaz menepi, bahkan memulihkan kondisi kami—walau masih terselip kecanggungan.

Aku buru-buru menelengkan kepala ke jendela kaca. Berusaha membujuk jantung yang berdegup kencang untuk tenang. Astaga.

"Elora? Aku udah tiga kali panggil kamu. Jangan bilang situasi kita balik—"

Kepalaku kembali lurus, dan Diaz sudah berdiri di depanku. Menggantung kalimatnya, dengan ekspresi was-was.

"Aku bingung, di sana..." Aku menunjuk jendela kaca, berupaya meyakinkan Diaz hal yang mengganggu pikiranku di luar sana—bukan di sini. "Maksud aku, Eyang, keluarga kamu. Aku—"

Satu tangan Diaz menggandengku, sementara yang lain mengusap lembut puncak kepalaku. "Kamu udah kenal semua orang di sini, apa yang perlu ditakutin? Bersikap seperti biasa saja. Lagi pula, ada aku ..."

Secara ajaib kalimat; Lagi pula, ada aku, menjelma bagai mantra penenang.

Tanpa berupaya mengulur waktu, aku membiarkan Diaz menuntunku keluar cottage menuju ruang makan terbuka di sayap timur. Sepanjang jalan, gandengan Diaz tidak pernah terlepas. Meski, aku berkali-kali berupaya meloloskan diri karena diselimuti rasa tidak nyaman, Diaz ogah mengabulkannya.

"Kenapa harus dilepas, El? Nggak ada yang perlu disembunyikan juga," semburnya, saat aku mencoba sekali lagi.

Dan, pikiran burukku yang sempat teridur kembali menggeliat. Seakan-akan fungsi kehadiranku di sini hanya untuk dipamerkan, disodorkan kepada Eyang Maria sebagai bukti; sekali lagi Ardiaz Bagaskara memenangkan permainan.

Spontan, aku memaksa langkah kami berhenti. Padahal jarak menuju bangunan bertiang kayu, tanpa jendela kaca, berisi meja panjang dan banyak bangku di tengah ruangan, hanya tersisa sepuluh langkah.

"Le-pas. Se-ka-rang," ucapku, dengan mata melebar, tetapi bibir tetap membentuk senyum.

Kalau saja di depan sana, tidak ada orang-orang bernama belakang Bagaskara. Aku tidak perlu repot-repot menjaga sikap dan suaraku, agar tidak menarik perhatian. Namun, Diaz seperti tidak paham dengan apa yang kuusahakan, dia sengaja berdiri serong—menatap tidak terima dengan satu alis terangkat.

Aku mengembuskan napas kasar di depannya, lalu merebut kembali tanganku dan berjalan cepat menaiki tangga kayu menuju bangunan itu.

"Elora! Kamu. Astaga. Makin cantik aja!" Laki-laki berkacamata yang sedari tadi sudah memperhatikan gerak-gerikku dan Diaz langsung menyambut penuh semangat begitu kakiku mencapai undakan tertinggi. Aku tersenyum, dan dia menunjuk Diaz dengan ujung dagu. "Kenapa Mas Diaz?"

Bad GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang