14

369 16 0
                                    

"Pagi bi, mama mana?" sapaku pada bi inah yang sedang menyiapkan sarapan.

"ibu lagi istirahat non, katanya gk enak badan. Tadi cuma keluar nuyuh saya nyiapin sarapan" aku hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban bi inah.

"kok nggak nunggu aku sih yang"

Uhhukkk..

aku terbatuk-batuk mendengar suara Daren.

"Kalau minum pelan-pelan" kata Daren sambil menepuk pelan punggungku.

"kamu sih ngagetin aku"

"Kopi buat aku mana?" segera ku sodorkan kopi yang ada didepanku kepadanya.

"Makasih ya" katanya seraya mencium pipiku dan segera duduk disampingku.

"masih lama bi? Laper nih" aku berusaha mengacuhkan Daren, dapat kulihat dari ekor mataku jika dia sedang tersenyum ke arahku.

"makan yang banyak yang, biar cepet balik tenaganya"kata daren dengan senyum jahilnya, belum sempat aku menjawab kata-kata Daren, aku melihat Aldo yang datang tergesa-gesa.

"Mama mana?" Tanya Aldo panik

"Di kamar, kenapa?"

"Reva kayaknya mau melahirkan, katanya perutnya mulai mulas. Minta dipanggilin mama"

Biar aku yang panggil, kalian lihar Reva aja dulu" Kata Daren

"sejak kapan?" tanyaku

"kurang lebih 30 menit yang lalu." Aku mengernyit heran, kenapa aku tidak merasakan apa-apa?

Segera aku memeluk Reva setelah sampai di kamarnya?

"Gimana? Mana yang sakit?" tanyaku

"belum terasa lagi" jawab Reva

"Apa tidak sebaiknya langsung ke rumah sakit?" tanyaku sembari mengelus perut reva

"Nunggu mama, aku dah siap berangkat kok. Tapi aku maunya ditemenin mama. Kamu nggak apa-apa?"

"Aku kenapa?" tanyaku binggung

"Kata Aldo kamu bisa merasakan rasa sakitku" aku menatap ke arah aldo yang dibalas dengan tatapan yang menyiratkan permohonan maaf.

"nggak seperti itu juga sih va, tapi anehnya saat ini aku baik-baik saja dan aku nggak ngerasain apa-apa" kataku sembari mengenggam tangan kiri Reva. Rasanya aneh, tapi aku tidak merasakan apapun pagi ini, karenanya aku begitu kaget saat mendengar Reva mulai merasakan kontraksi.

"Benarkah? Kenapa selama ini kamu nggak pernah bilang sama aku?" belum sempat aku menjawab pertanyaan Reva, dia mencengkeram tanganku dan tangan Aldo kuat sembari mengaduh berusaha menahan rasa sakitnya.

"sakit" tanyaku bodoh.

"Apakah kalian sudah menyiapkan barang-barang?" tanya mama begitu memasuki kamar. Aku segera berdiri, dan tempatku di gantikan oleh mama.

"Sudah ada di dalam mobil ma" jawab Aldo

"Mau ke rumah sakit sekarang? Tanya mama lagi dan Reva hanya mengangguk menjawabnya

"Kalian dirumah saja, nanti menyusul sama papa" kata mama ke padaku dan Daren dan kami berdua hanya mengangguk.

"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Daren

"Aku kenapa?" tanyaku binggung, tak mendapat jawaban dari Daren aku segera bergegas memasuki rumah.

"kamu beneran nggak apa-apa na?" Tanya daren yang menyusulku duduk di meja makan.

"makan dulu, nanti kalau papa datang kita segera berangkat." Aku terdiam sejenak memikirkan banyak hal "Sejak kapan kamu tahu?" tanyaku akhirnya.

"Sudah lama, kamu saja yang tidak pernah sadar jika aku perhatikan"

"perhatian apaan? Yang ada kamun juga selalu nggangguin aku."

"lha kamu cuek banget sama aku na. Padahal kamu awal aku pindah itu kamu baik banget sama aku. Tapi tiba-tiba aja kamu jadi cuek dan ketus sama aku. Seiring berjalannya waktu kamu semakin jauh dan tidak perduli sama aku" aku hanya terdiam mendengar perkataan Daren, namun memang benar, aku menjauhinya saat dia dekat dengan Reva. Saat itu dalam fikiranku, Daren menyukai Reva dan tidak seharusnya aku hadir di antara mereka.

"kok sepi, mama ke mana Daren?" Papa datang menyela pembicaraan kami.

"ke rumah sakit, papa buruan mandi gih, trus kita susul mereka"

"Reva dah mau lahiran? Wah bentar lagi papa jadi kakek. Kita nyusulnya nanti aja, kalau Reva udah masuk ruang bersalin" perkataan papa membuat aku mengengernyitkan kening.

"kok githu pa?" kataku tidak terima

"percaya sama papa, yang dibutuhkan Reva sekarang itu Cuma suaminya, mungkin juga mamamu. Lagian kalau kita kesana semua ntar malah bikin ribet. Ngomong-ngomong, kapan kalian ngasih cucu ke papa na?" Aku menundukan wajah mencoba menghindari tatapan jahil papa. Pembicaraan ini membuatku teringat apa yang aku lalui bersama Daren tadi.

"Lagi diusahain pa" jawab Daren, papa hanya terkekeh sambil menepuk bahu Daren kemudian berlalu pergi ke kamar. Aku benci situasi canggung seperti ini, namun sepertinya hanya aku yang merasakannya. Karena saat aku menatap Daren dia memberikan senyum manis tanpa terlihat mengejek seperti biasanya. Senyuman yang mampu membuat dadaku bergemuruh cepat. Segera kupejamkan mata dan bergegas pergi dari sana, sebaiknya aku menjauh dari dia sebelum aku memutuskan melakukan hal konyol yang akan membuat aku malu sendiri.

Rahasia HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang