18

345 14 0
                                    

"Daren mana?" Tanya mama saat aku memasuki rumah.

"Berangkat kerja lah ma, hari ini berangkat pagi, ada rapat katanya. Makanya dia nggak bisa mampir, titip salam aja buat mama." Kataku seraya mencium pipi mama

"Kamu nggak kerja?" kata mama mengikuti aku yang berlalu menuju kamar Reva

"Anak mama ini kapan kerja sih?"

"Lha kafe kamu gimana?"

"Ada Tian ini"

"kamu nggak bisa githu dong, bisnis tu yang serius. Kuliah capek-caoek jadi arsitek juga nggak kepakai ilmunya"

"Ih mama, siapa bilang, aku kan suka ikut bantuin proyek Arash. Meski sekarang udah nggak lagi. Pokoknya nggak ada ruginya ma, lihat deh kafe aku, keren kan?" kataku membanggakan diri yang dihadiahi tepukan keras di lenganku.

"Halo ponakan tante Rena yang cantik"

"Ngapain kamu pagi-pagi gini dah nonggol di sini?" Tanya Aldo

"Bapak-bapak baru nggak usah bawel, harusnya kamu bersyukur aku disini. Mau bantuin ngasuh baby kamu nih, kapan lagi coba aku yang kecenya minta ampun ini bersedia jadi babysitter"

"Dia aja masih banyak tidurnya, yang ada kamu malah nggangguin dia"

"Bodo" kataku tidak mengacuhkan Aldo nan sibuk menoel pipi bayi mungil di depanku

"udah yank, berangkat ngantor gih, ntar telat." Kata reva menenangkan suaminya.

"Aku ambil cuti aja ya yank, masih pengen nemenin kamu dirumah" kata Aldo merajuk

"kasihan papa dong, udah beberapa hari kamu ijin. Udah buruan sana"

"Jangan mentang-mentang bos terus seenaknya ya Do, buruan berangkat kerja. Jangan sampai aku minta papa mecat kamu" kataku mengejek Aldo yang masih tidak rela harus meninggalkan anak dan istrinya.

"Itu anak aku ya na, aku punya hak lho ngelarang kamu deket-deket dia." Kata Aldo ketus

"Udah, berangkat gih" kata reva mendorong suaminya,

"Dirumah hati-hati ya yank, kalau ada apa-apa telfon aku." Aldo segera bergegas pergi setelah berpamitan dengan anak dan istrinya.

"Sejak punya anak, Aldo makin bawel ya va? Heran aku sama dia." Reva hanya tersenyum mendengar perkataanku.

"Na.."

"hmm.." aku menjawab panggilan Rena tanpa mengalihka pandanganku dari bayi mungil yang tidur di box bayinya. "Na, kamu ngerasa nggak sih kalau nama panggilan baby kamu tu terlalu cowok"

"emang kenapa? Jangan mengalihkan pembicaraan deh." Aku hanya memanyunkan bibirku saat mendengar kata-kata Reva, tau kemana arah pembicaraan ini memuat aku sedikit tidak nyaman.

"Jadi apa yang mau kamu tanyain? To the point aja deh"

"kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu bisa merasakan sakitku?"

"udah aku bilang nggak seperti itu, kadang memang rasanya seperti itu, namun terkadang hanya perasaan tidak nyaman. Aku tidak tahu mekanismenya seperti apa. Pokoknya githu deh"

"tapi kenapa kamu nggak pernah bilang?"

"kamu kan tahu jika dulu aku nggak sependiam kamu, malah beberapa kali aku terlibat masalah. Tidak bisa dipungkiri juga jika tidak semua orang akan menyukaiku. Karena itu, aku tidak ingin orang-orang tersebut menjadikanmu sebagai sasaran kekesalan mereka sama aku. Udah githu aja, nggak ada maksud lain"

"Lalu kenapa setiap terjadi sesuatu sama aku yang nolong selalu orang lain, terutama Daren, kenapa bukan kamu?"

"penting ya bahas ini? Ini udah lewat lama na"

"ya penting, sampai terkadang aku ngerasa kamu nggak perduli sama aku. Setiap dirumah mama dan papa selalu memarahi kamu yang nggak bisa jagain aku. Mengetahui kenyataan ini aku menjadi merasa bersalah" aku menghembuskan nafas kasar, kutundukkan pandanganku ke arah sepatuku. Membayangkan masa-masa SMA yang aku lalui, waktuku memang lebih banyak bersama teman-temanku yang lain daripada dengan Reva.

"seperti alasan pertama, aku tidak ingin orang tahu tentang kamu sebagai kelemahanku. Dan soal mama dan papa, setidaknya mereka tidak terlalu menginterogasi kamu kan tentang semua itu. Mereka sibuk menyalahkan aku atas kejadian yang kamu alami. Lagipula aku selalu mengirim penyebab kejadian itu buat nolong kamu. Saat itu aku berfikir, jika papa dan mama tahu kamu dibully anak-anak karena kedekatan kamu sama Daren, mereka pasti akan menjauhkan kamu dari Daren. Demi anak kesayangannya mereka akan melakukan apa saja."

"kenapa?" tanya Reva

"Kenapa apanya?" aku tidak mengerti apa maksud pertanyaannya

"kamu selau berusaha buat mendekatkan aku sama Daren"

"ya saat itu aku berfikir kamu suka sama dia"

"Awal kedekatan kami, aku binggung dengan sikap Daren yang selalu menempel padaku. Namun semakin lama aku merasa nyaman, dia mengisi kekosongan yang kamu tinggalkan. Namun seiring berjalannya waktu aku merasa dia berubah, pandangan matanya bukan lagi ke aku, tapi diam-diam, pandangan itu tertuju sama kamu. Saat tahu aku sedikit kecewa, aku sedikit mulai menjauhinya" aku ingat saat itu, mereka seperti pasangan yang sedang bertengkar. "Dan saat itulah aku mengenal Aldo, kemudian aku mengetahui jika kekecewaanku hanya sebatas karena aku takut kehilangan seorang teman yang sangat aku percayai. Karena ternyata debar yang aku miliki bukan miliknya, tapi milik Aldo" senyum Reva muncul saat mengingat masa lalu kami.

"jadi udah lama kamu tahu tentang perasaan Daren sama aku?" dia menganggukan kepala sebagai jawaban atas pertanyaanku. "Kenapa nggak bilang? Aku sampai memilih meninggalkan beasiswa yang aku dapat di Universitas yang sama dengan kalian, dan kabur jauh dari rumah saat mendengar rencana papa jika kalian akan bertunangan. Memilih nggak pulang saat kamu tunangan, meski kenyataannya bukan dengan dia. Aku takut banget, aku tidak tahu apa aku akan sanggup melihat kebahagiaan kalian." Tanpa sadar aku menangis, terbawa suasana dan menumpahkan kekesalanku saat dulu.

"Jadi itu alasan kamu memilih kuliah diluar kota?" pekik Reva yang langsung menyeretku ke waktu saat ini.

"Hahaha.." itu suara tawa reva yang membuat aku kesal. " kamu lucu banget mukanya. Dan aku nggak sabar lihat reaksi Daren kalau dengar cerita ini."

"awas aja kalau kamu sampai cerita ke Daren" pembicaraan kami terhenti saat mendengar suara tangis Alvania.

Rahasia HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang