19

534 20 0
                                    

"jadi apa saja yang kamu lakukan hari ini?" Tanya Daren saat kami sedang bergelung di ruang TV selepas makan malam. Aku menyandarkan tubuhku di dadanya sembari sibuk membaca novel, dia yang duduk bersandar pada sofa tengah memelukku sembari mencium kepalaku sesekali. Siaran berita yang biasanya dia tonton, tak lagi menarik perhatiannya.

"Main sama Alva lah" kataku tanpa mengalihkan perhatianku, posisi ini begitu nyaman. Aku merasa jika kemajuan hubunganku dengan Daren begitu cepat. Namun aku merasa nyaman, dan merasa jika memang harusnya seperti inilah kami.

"Main apa? Yang ada juga kamu nggangguin Alva" kata Daren sembari mencubit pipiku.

"Iya sih, sampai tadi aku diseret mama ke dapur. Disibukkan dengan acara memasak, kesel kan? Tapi aku tadi aku lho yang mandiin Alva" Kuubah posisiku menjadi duduk menghadapnya.

"Kan masih kecil banget, kamu nggak takut?" Aku mengingat kejadian sore tadi, sedikit bertengkar dengan Reva yang tidak mau menyerahkan putrinya untuk aku mandikan. Katanya dia tidak percaya kepadaku. Namun dengan kepercayaan diriku, saat mama akan memandikan Alva, aku segera mendekatinya dan mengambil alih tugas itu. Jika ibunya belum berani memandikan anaknya, bukan berarti orang yang belum memiliki anak tidak bisa kan? Dengan bangga aku menggendong baby Alva dan menyerahkan kepada Reva yang tengah menunggu untuk mengantikan bajunya.

"awalnya tadi ragu dan takut juga sih, tapi dibantuin mama. Besok kalau kita punya anak, aku nggak mau pakai babysitter, mau aku asuh sendiri. Tapi kamu harus bantuin aku, itu kan anak kita berdua, jadi yang mengasuh dan membesarkan juga harus kita berdua" kulihat Daren tersenyum dan menarikku ke dekapannya. Mencium puncak kepalaku lama.

"Kenapa?" tanyaku padanya, merasakan ada sesuatu yang ingin Daren sampaikan lewat pelukan itu.

"Kenapa apanya?" Aku hanya cemberut mendengar pertanyaan baliknya. Dia semakin mengeratkan pelukannya. Kuhirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang selalu aku sukai.

"aku senang, karena pada akhirnya kamu mau memikirkan kelanjutan hubungan kita ke depan. Bahkan kamu sudah memikirkan tentang anak. Berarti, bukan Cuma aku yang berharap hubungan ini akan bertahan selamanya. Aku bahagia, karena ada aku dalam rencana masa depan hidup kamu"

Ku pandangi wajah Daren, entah karena apa, tapi mataku berkaca-kaca mendengar setiap tutur katanya. Benarkah sebesar itu perasaannya terhadapku? Rasa haru tak dapat aku bending saat menyadari jika selama ini perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan. Kutundukkan kepala saat tetesan air mata semakin membanjiri wajahku. Namun Daren menahan wajahku agar tetap memandang ke arahnya.

"Kenapa?" tanyanya seraya mengusap pipiku yang basah.

"kenapa kamu tidak pernah mengatakan jika kamu mencintaiku?" sial, kenapa pertanyaan itu malah terucap dari bibirku.

"Apakah semua sikapku tidak menunjukkannya?"

"Kalian ini para lelaki selalu mengeluh saat kami minta dimengerti, mengatakan jika kalian bukan pembaca pikiran yang bisa mengerti kediaman kami. Apa menurut kalian hanya dengan sikap yang kalian tunjukkan itu sudah cukup?" aku mulai kesal dengan Daren saat ini, mencoba menjauhkan tangannya dari wajahku. Namun usahaku tidak berhasil, Karena tangan Daren tetap tidak bergeming dan memaksa aku tetap menatap wajahnya. Akhirnya kualihkan pandanganku ke mana saja, asal bukan ke padanya.

"Bagi kami, menunjukkan dengan aksi nyata itu lebih penting, daripada kami harus menggombal dengan kata-kata cinta" di kecupinya pipiku pelan, aku harus menahan diri agar tidak terlena dengan apa yang Daren lakukan. Namun itu terlalu sulit, saat tubuhku sendiri menikmati semua ini. Kudorong daren dengan sisa kesadaran yang kupunya.

"tapi ungkapan itu juga penting bagi kami. Bisa saja jika kalian para lelaki memberikan perhatian yang sama pada perempuan lain. Siapa yang bisa menebaknya, dan kami tidak mau dianggap kege-eran. Sebagian dari kami lebih suka.." Daren tiba-tiba menciumku.

"aku mencintaimu" katanya disela ciuman kami, aku hanya tersenyum dan membalas ciumannya. Aku mendorong dada Daren saat mulai merasa kehabisan nafas, kutatap wajahnya, tatapan matanya diselimuti kabut gairah. Dan aku senang karena memberi efek seperti itu kepadanya, kuberanikan diri menyentuh wajahnya dan melemparkan senyuman kepadanya.

"Aku juga mencintaimu, sejak dulu" kugigit bibir bawahku setelah mengungkapkan rahasia hatiku kepadanya. Daren menarikku dan memelukku dengan erat.

"Jangan pernah berharap aku akan melepaskan kamu, ngerti? Seumur hidup kamu akan terjebak hidup bersamaku" Daren mengucapkan kata-kata itu sembari menciumi puncak kepalaku. Kueratkan pelukanku kepadanya dengan perasaan bahagia yang teramat sangat.

Tamat!

terima kasih bagi semua yang udah mau membaca cerita aku yang nggak jelas. dan terima kasih juga bagi yang mau meninggalkan jejak kalian di cerita ini.

Rahasia HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang