16

320 16 0
                                    

Acara makan malam ini akhirnya tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan. Aku memutuskan untuk pulang lebih awal dikarenakan sikap Daren. Begitu memasuki kamar, ku taruh tasku di ujung ranjang dan segera merebahkan diri.

"Ganti baju dulu kalau mau tidur" itu suara daren, ya siapa lagi, karena hanya kami berdua yang tinggal di sini. Tak kuhiraukan kata-katanya dan memilih untuk berusaha meredam amarahku ke dia. "kamu marah? Seharusnya di sini aku yang marah na"

"Udah deh, nggak usah dibahas. Aku lagi males bertengkar sama kamu" kuputuskan untuk bangun dan segera menuju ke arah lemari untuk mengambil baju tidur. Lenganku di cekal Daren saat aku melewatinya.

"Aku nggak suka lihat kamu terlalu deket sama Arash tadi."

"Ya ampun Daren, aku bersikap biasa aja kali sama Arash.. kayak aku sama yang lain. Kamu nggak usah lebay deh. Lagian kamu itu ya tadi bikin aku nggak enak sama anak-anak, kalau Cuma mau nunjukin raut wajah suram, tadi mendingan kamu nggak usah ikut"

"Lalu kamu mau aku bersikap gimana? Melihat istri aku bisa tertawa bebas sama laki-laki lain, bahkan kamu juga nggak anggap aku ada tadi. Kamu kira aku buta apa untuk mengartikan tatapan Arash ke kamu. Kamu itu emang nggak pernah peka sama perasaan orang ya" Aku menggaruk kepalaku keras meski tidak terasa gatal, kuhembuskan nafas berkali-kali masih mencoba meredam amarahku.

"Jangan bersikap seperti seorang suami yang sedang cemburu deh, itu bukan peran yang cocok sama kamu" Dapat kulihat Daren menghembuskan nafas dengan kesal. Ditengadahkannya kepalanya ke atas, seperti menahan amarah yang memuncak.

"Apa salah aku cemburu sama istri aku sendiri?"

"cemburu itu Cuma buat orang yang memiliki perasaan cin.." ta. Kalimat itu hanya bisa aku lanjutkan dalam hati karena Daren yang sudah menarikku dan menciumku dengan membabi buta. Dihentikannya sejenak, namun tidak membuat jarak yang begitu kentara pada bibir kami.

"kamu emang nggak peka sama sekali ya. Aku mencintaimu, sejak dulu." Aku yang masih terkejut dengan kata-kata daren masih terpaku saat kembali dia menyatukan bibir kami. Antara harus mempertahankan kesadaranku yang baru saja mengetahui fakta bahwa daren mencintaiku dan menyerah atas godaan yang Daren suguhkan pada tubuhku. "nggak usah terlalu banyak berfikir"

Perasaan senang ini tidak dapat aku bendung lagi, seulas senyum telah menghias bibirku saat Daren menyatukan kening kami. Ku arahkan pandanganku ke matanya, dan aku tenggelam dalam tatapannya yang penuh binar cinta, ya aku dapat melihatnya. Kembali senyum itu terbentuk di bibirku dan secara sadar aku menyatukan kembali bibirku ke bibir Daren.

***

Kupandangi wajah Daren yang terlelap di hadapanku. Kuusapkan jari tanganku melalui dahi, hidung hingga bibirnya. Hatiku masih berdebar setiap mengingat kata cinta yang daren ucapkan semalam. Tanganku masih setia menyusuri garis wajahnya yang tampan. Suamiku ini memang tampan. Aku tersenyum sendiri menyadari pemikiranku. Tanganku di genggam olehnya dan diseret sebagai isyarat agar aku semakin mendekatkan tubuh kami. Ku benamkan wajahku dalam dekap hangatnya. Ini terasa sangat nyaman sekali.

"Daren.."

"Hmm" kudongakkan kepalaku agar aku dapat melihat wajah Daren yang masih tertutup matanya.

"Sejak kapan?"

"apanya?" tanya Daren dengan suara khas orang bangun tidur. Dia menarik kepalaku ke dadanya dan mencium puncak kepalaku.

"Sejak kapan.. kamu suka sama aku" entah mengapa aku belum siap mengatakan kata cinta meski itu hanya dalam sebuah pertanyaan. Aku takut jika yang terjadi semalam hanya karena emosi sesaat Daren.

"Ehhmm.. Haruskah kita membicarakan ini" kuangkat kepalaku dan memandang wajah nya yang tengah menatapku dengan senyum yang membuat jantungku menggila. Wajahku langsung cemberut saat dia tak juga menjawab pertanyaanku. Aku memutuskan untuk menjauh darinya, namun dia segera mendekapku. "Mau kemana?"

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan dia hanya terkekeh dengan reaksiku.

"mungkin sejak kita SMA" tiba-tiba Daren berkata.

"Apanya" sekarang aku mendadak lemot, dan aku meakin kesal karena Daren malah menertawakanku. Kupukul saja dadanya dengan perasaan kesal. Dia mencekal pergelangan tanganku dan membawanya untuk dikecup. Ahh, kenapa Sikap Daren bisa semanis ini?

"nggak mungkin, kamu kan sukanya sama reva"

"siapa bilang? Makanya aku bilang kamu itu nggak peka"

"yee.. yang dulu nempel sama Reva melulu siapa?" kataku tidak mau kalah.

Rahasia HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang