8. Perhatian

462 21 0
                                    

Tok.. Tokk... Tokk....

Nissa mendaratkan tangan kanannya ke pintu ruang kesiswaan dengan napas yang masih tidak beraturan.
Keringat nya begitu lancar turun dari dahi menuju bawah. Dengan sigap ia menyapu keringat nya menggunakan selembar tissu yang diambil dari balik saku seragam putih berlambang OSIS.

"Assalamualaikum pak, permisi. Maaf pak mengganggu waktunya,". Kaki melangkah masuk dan menghampiri nya, tak lupa senyum ku berikan padanya.

"Waalaikumsalam. Ada apa Niss?" Bibirnya sedikit mengangkat ke atas.

"Di lapangan basket ada yang berkelahi pak," sambungku.

"Apa??! Siapa yang berani berkelahi di sekolah ini?" Responnya dengan sigap, tubuhnya ia buat tegap berdiri.

"Eeuuu... Anu pak,". Nissa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Anu anu siapa??. Ya sudah kalo begitu kita menuju ke lapangan saja".
Nisaa hanya membalas nya dengan anggukan pelan.

Pak Wirdjo yang menjabat sebagai kesiswaan berjalan cepat menuju lapangan. Nissa yang tertinggal lumayan jauh kini berusaha untuk mempercepat langkahnya.

Pak Wirdjo segera menyelinap dari kerumunan para siswa yang sejak tadi menonton dan menyoraki.
"Stop.. Stop.. Stop.. Kalian ini apa-apa an?"
Nada suara yang menggelegar membuat semua pasang mata tertuju pada seorang pria yang berusia 37 tahun.

"Semuanya bubar" sambungnya.
Para siswa/i segera saja menuruti perintah yang terlontar dari mulut pria itu. Ditengah lapangan hanya ada Alvito, Ilham, dan pak Wirdjo.

Hening.

Tidak ada yang mengeluarkan suara.

Hanya tiupan angin sepoi-sepoi yang mengisi area ini.

Ilham yang tersungkur ke tanah berusaha bangkit sekuat tenaga untuk berdiri, Tangan kanannya memegang sudut bibir yang berwarna ungu, darah segar yang mengalir di sana berusaha ia usap dengan saputangan warna abu-abu yang ia ambil dari saku belakang celananya dan menempelkan saputangan itu ke sudut bibir agar darah tidak terus mengalir.

"Kalian berdua ikut bapak ke ruangan". Suara pak Wirdjo memecah keheningan. Tubuh pak Wirdjo kini membelakangi kedua muridnya.

"Awas loe ya! Urusan kita belum selesai! Ingat itu!!". Nada tinggi yang keluar dari mulut Alvito dengan jari telunjuknya mengarah ke wajah Ilham.

Ilham hanya membalasnya dengan senyum singkat, dan tak memperdulikan perkataan yang terlontar dari mulut Alvito.

Alvito terlebih dulu berjalan mengikuti pak Wirdjo ke arah ruang kesiswaan. Ilham pun tak mau tertinggal jauh dengan pak Wirdjo dan Alvito, ia berusaha berjalan cepat mengimbangi langkah mereka--pakWirdjo&Alvito.

Nissa dan teman-temannya berada di pinggir lapangan, kedua bola mata mereka terus mengikuti kemana arah orang-orang itu pergi. Pandangan Nissa kembali tertuju pada lapangan, bola matanya menangkap satu buah buku yang tergeletak di tengah lapang. Dengan sigapnya ia berlari kecil ke arah lapangan, lebih tepatnya ke arah buku yang ia temui.

Keberadaan Nissa yang sudah hampir sampai di tengah lapang, membuatnya menoleh kebelakang karena Aruna memanggilnya.

"Ehh Niss.. Niss.. Tunggu, mau kemana?," ucap Aruna dengan suara melengking khas nya, dan menatap dengan wajah yang bertanya-tanya.

Siti yang berada di samping Aruna ikut menoleh ke arah Nissa karena suara Aruna yang membuat nya tersadar dari pandangan yang sejak tadi menatap tiga orang pria berjalan meninggalkan lapangan.

Nissa tidak menjawab pertanyaan dari Aruna, hanya membalikan tubuhnya ke arah buku yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri sekarang.

Aruna dan Siti menatap heran. Namun mereka menangkap maksud dari Nissa melalui gerakan tubuhnya, yang seolah-olah mengisyaratkan mereka berdua untuk datang menghampiri Nissa yang berada di tengah lapang.

Dengan langkah cepat Aruna dan Siti berlari ke arah Nissa.

Buku itu sudah berada digenggaman Nissa, ia terus membalik-balikan buku tersebut kedepan dan kebelakang untuk melihat dan mencari sesuatu disana.
Namun sayangnya, nama pemilik buku itu tidak tertera di sampul ataupun di bagian buku lainnya.

"Itu buku siapa Nis?," Ucap Siti menepis pikiran Nissa.

"Eeeuuu.. ga tau". Jawab Nissa bingung sambil menggelengkan kepalanya.

"Sini-sini gue pengen liat dong,". Aruna mengambil alih buku yang berada digenggaman Nissa tanpa meminta persetujuan terlebih dulu.

Kedua bola mata Aruna bergerak dengan lincah, jari telunjuk nya menunjuk bibir mungilnya seolah-olah sedang berpikir.

"Una tau siapa pemilik buku ini?," ucap Nissa membuyarkan pikiran Aruna saat itu.

"Emmmm..."

"...Gue duga sih, ini buku nya Ilham si anak basket itu. Soalnya gue pernah liat dia suka bawa buku ini kemana-mana,"
jawab Aruna meyakinkan, pikirannya seolah-olah memanggil ingatannya kala itu.

"Kenapa loe yakin kalo buku itu punya Ilham na?," Siti ikut gabung dalam percakapan antara Nissa dan Aruna seolah-olah ia meragukan jawaban dari temannya sendiri.

"Gue yakin karena yang tadi di tengah lapang itu cuman Ilham dan Alvito. Kalo si Alvito sih mana mau dia baca buku novel kayak gtu." Aruna menjawab dengan begitu meyakinkan.

"Eeuu.. Bener juga sih apa kata loe na" balas Siti dengan anggukan pelan.

"Yaudah kalo gtu, ntar Aruna balikin aja bukunya ke Ilham. Takutnya dia nyariin bukunya yang hilang," saran dari Nissa yang ia lontarkan untuk temannya.

Tanpa berpikir lama, Una langsung membalas ucapan Nissa.

"Ogah ahh.. Males banget," kedua bola matanya memutar dan berhenti di ujung kelopak mata sebelah kanan.

Nissa hanya membalas nya dengan tatapan heran.

"Nissa aja nih yang balikin bukunya". Sambung Aruna sambil mengembalikan buku dan menaruh nya di tangan kanan Nissa.

"Ko jadi aku sihh? Engg....". Belum selesai ia bicara, mulutnya sudah disumpal oleh Aruna.

"Please, ga boleh nolak". Balas Aruna dengan kedua matanya saling menatap bola mata berwarna coklat milik Nissa.

Siti mengerutkan kedua alisnya, ia bertanya-tanya dalam pikiran nya maksud dari sikap Aruna pada Nissa.

Aneh. Tidak seperti biasanya.

Sikutnya ia gerakan ke arah Aruna, sekali-duakali-tigakali ia gagal membuat Una menoleh ke arahnya.

Keempatkali nya Una menoleh ke arah Siti dengan cepatnya Siti menanyakan pada Aruna melalui gerakan wajah dan tangan.

Aruna hanya membalas dengan suara desis pelan dan jari telunjuk nya menempel di bibir mungilnya.

"Yaudah ayo kita ke ruang kesiswaan untuk ketemu Ilham."
Ajak Aruna dengan penuh semangat.

Hanya dibalas anggukan pelan oleh kedua temannya, dan berjalan meninggalkan lapangan.

Ini HidupkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang