Cerita di Balik Kafe

338 16 2
                                    

Kebiasaan buruk manusia adalah, suka menilai sesuatu yang belum dilakukan.

--------------------------------------------------------

Negeri seribu bintang kembali datang. Kelap-kelip cahaya menyinari iringan musik kolosal malam itu.

Ratusan orang berjejer terlihat betah menunggu dibacakan nomor antreannya. Ada yang duduk sambil diskusi. Ada juga yang lesehan sambil berfoto selfi. Meja yang tersedia seolah pelengkap kafe di malam itu.

Anak muda yang mojok di pinggir kafe tertawa sambil menepuk pundak pacarnya. Tak sedikit juga anak muda yang datang dengan membawa segerombolan teman mahasiswa. Roy sudah sejam menunggu di kafe klasik bertiangkan bambu di pinggiran Malang.

Sesekali, Roy membuka laptop dan handphone miliknya di atas meja kafe itu. Tak ada kabar dari Putra Gede, Halib Simajuntak dan Indira Indiva Cahyani. Padahal, tadi siang sudah janjian akan mengerjakan tugas di kafe ini.

Wara wiri pelayan kafe yang sibuk mengantar makanan dan minuman pada pengunjung. Tak terkecuali, Roy Agam yang telah memesan kopi nusantara yang dibuat dengan metode pour over kesukaannya.

"Pada kemana teman-teman ini. Dihubungi juga tak bisa," gumamnya yang terdengar oleh pelayan kafe.

"Ada apa, mas? Ada yang bisa dibantu?" tanya pelayan dengan sigap.

"Oh, tidak. Terima kasih."

Waktu pun terus berjalan. Kafe pun semakin ramai diserbu pengunjung. Persediaan kafe pun terlampaui batas pengunjung. Ada yang tak kebagian tempat, hingga akhirnya sebagian pengunjung menanggung kecewa.

Tanda-tanda kedatangan Putra Gede, Halib Simajuntak dan Indira Indiva Cahyani belum terlihat. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 23.55 WIB.

Roy mengambil handphone miliknya. Dia mencoba menghubungi. Tapi tak ada satupun dari mereka yang bisa tersambung. Akhirnya, Roy memutuskan pulang dari kafe. Dia bergegas membereskan perlengkapan yang dibawanya. Tapi, pelayan kembali menghampirinya.

"Ada yang bisa dibantu, mas?" tanya pelayan.

"Ada, mas," dijawab sama Cahyani yang datang bersama Halib dan Putra.

Roy melihat ke arah mereka yang membawa kue tart bertuliskan angka 19 tahun. Juga, pelayan kafe yang berkumpul memberikan kejutan.

"Roy, jangan melihat saja. Dipotong dong kuenya. Kasih ke Cahyani. Dia udah lapar tuh," Putra menggoda Roy.

Cahyani tersenyum lebar dan ikut menggoda juga. "Iya nih, lapar. Buruan dipotong, dong."

"Ih, aku juga lapar. Aku mau nasi pecel itu. Macam manalah kalian ini," Halib nunjuk makanan yang dipegang Putra.

"Itu bukan nasi pecel, Halib. Itu lalapan," Cahyani meberitahu sambil tertawa.

Dia menjawab. "Itu maksud aku. Salah sedikit tidak apalah."

"Makan saja kamu pikirin, Halib. Kamu nyanyi dulu buat Roy. Teman seperti apa kamu kalau tidak memberi surprise," Putra Gede, kemudian menggoda.

"Terima kasih sekali, teman-teman. Sudah membuat surprise. Tugas kita harus kamu yang tanggung jawab ini," Roy menunjuk Halib dengan nada becanda.

"Macam mana pula kau ini. Kau yang ulang tahun, berarti kau juga yang mengerjakannya. Iya tidak, Cahyani?" timpalnya yang disambut ketawa lagi.

Kue tart itu masih dipegang sama Roy. Lilin yang menyala masih belum ditiup untuk menandakan resminya bertambah umur Roy. Sejuta harapan pun disampaikan di hari istimewanya. Tak terkecuali ingin mendapat pacar di usianya yang mulai dewasa.

Halib menyuruh Roy. "Ah, banyak kali bacot kau. Tiupkan apinya dulu. Baru kita makan." Tepuk tangan pun menggema di kafe itu.

Tak sedikit insan yang menaruhkan pandangan ke arah tumpukan mereka. Senyum dan tawa pun terlihat indah menyaksikan surprise pada teman sejagatnya. Dan, surprise itu mengajarkan bagaimana memupuk pertemanan sejak dini.

Sebelum makan. Mereka melakukan foto ria bersama. Menunjukkan bahwa mereka berempat teman yang kompak. Walaupun usia pertemanan mereka masih sehari berjalan.

"Maaf, ya. Aku harus pulang duluan."

Tiba-tiba Putra Gede pamit pulang. Dia langsung meninggalkan kafe dengan waktu yang singkat. Padahal, acara makan-makan belum selesai. Apalagi mengerjakan tugas.

"Ada apa ya? Kok Putra buru-buru sekali pulang," tanya Cahyani pada Halib dan Roy.

"Mungkin,...."

Please, komen ya!

Malang Menyisakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang