Empat Mata Pilihan Utama

137 10 0
                                    

Untaian kata yang mengukir jiwa di cerahnya hari. Kini telah menjadi nyata bahwa panggilan jiwa itu benar-benar ada.

Kadang, yang tidak sempurna dipandang hina. Kadang, yang lemah dijatuhkan. Kadang, yang merana dikecewakan. Kadang, yang membutuhkan tidak diberikan.

Takdir memang tak ada yang sama. Hanya saja, jalan ceritanya yang berbeda. Tapi nasib dan keberuntungan sudah semua diatur oleh yang kuasa.

"Hello! Katanya mau ngomong. Tapi malah diem. Kenapa sih?" Cahyani mengawali.

Sedangkan Halib dan Putra belum balik-balik sejak pergi membeli jajan. Mungkin sedang ribut memilih jajan yang tak kunjung sesuai. Apalagi, Halib yang tak pernah benar menyebutkan nama makanan.

Tapi memang pergi dan lamanya yang ditunggu-tunggu sama Roy. Dia berharap mereka berdua menghabiskan waktu berjam-jam memilih tahu bulat menjadi segi empat.

Roy masih diam, "Boy, kenapa?" goda Cahyani.

"Memang kamu yakin mau dengarkan aku ngomong?"

Cahyani menatap sempurna, "Iya, iyalah. Sejak kapan sih aku nggak dengarin kamu ngomong?"

"Tapi ini beda, Cahyani."

Cahyani mulai berpikir yang aneh-aneh. Apakah Roy akan mengatakan isi hatinya? Atau, Roy akan menjadi pengganti mantan Cahyani yang resek itu? Mereka berdua diam-diaman beberapa menit.

"Ngomong aja, Roy. Apapun itu? Yakinlah, aku akan tetap menjadi Cahyani."

"Nah begini, kemarin itu, aku mau belanja di mal dekat rumahku. Tapi karena ada seorang cewek mau ditabrak, akhirnya aku nggak jadi belanja."

Cahyani geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Dalam hatinya, apa seperti ini ya repotnya menjadi cowok, hingga ngobrolin ini saja harus empat mata menjadi pilihan utama.

"Cuma itu, ya. Kok berat sekali ngomongnya? Terus masalahnya dimana?" tanyanya lagi.

"Cahyani! Yang mau ditabrak itu cewek tuli. Dan, yang nabraknya memaki habis-habisan itu cewek. Karena aku nggak kuat melihatnya, akhirnya aku samperin bapak tua sombong yang mau nabrak."

"Lalu, kamu berkelahi sama orangnya?"

"Nggak begitu, aku ngomong baik-baik. Terus orangnya pergi begitu aja. Tapi bukan itu yang menjadi masalahnya."

"Jadi?"

"Aku berpikir, di luar sana masih banyak orang tunarungu yang disepelekan hidupnya. Aku nggak mau itu terjadi. Mereka harus setara dengan kita. Meskipun mereka punya kekurangan. Tapi, aku yakin mereka punya banyak kelebihan."

"Kamu punya rencana apa untuk melindungi mereka?" tanya Cahyani yang keburu bawa perasaan.

Roy tak langsung menjawab. Dia mencoret-coret bukunya yang diletakkan di atas meja kantin. Riuhnya mahasiswa yang ke kantin tak mempengaruhi cerita serius mereka.

Roy mengangkat dagunya, "Aku ingin kita membuat komunitas untuk melindungi mereka."

"Komunitas?"

"Iya, komunitas. Komunitas untuk mendampingi dan melindungi kaum tunarungu. Pasti banyak orang yang mau menjadi relawan."

"Kamu seyakin itu? Bukannya aku nggak mendukung, ya. Tapi ini akan berat untuk dilalui, Roy."

"Biarkan seluruh beban diangkat ke pundakku. Maka aku akan memikulnya selagi aku punya sahabat seperti kamu dan mereka. Support kalian sangat aku butuhkan. Meskipun kamu, Halib dan Putra tidak mau bergabung menjadi relawan."

"Kalau begitu, aku akan ada di garis terdepan perjuanganmu. Aku siap mendampingimu untuk menjaga dan melindungi kaum tunatunggu."

Lalu mereka berpikir sejenak untuk membuat nama komunitasnya. Roy menawarkan nama komunitas itu dengan Komunitas Peduli Sesama. Sedangkan Cahyani menawarkan nama Komunitas Tunarungu.

"Biar lebih adil, maka namanya kita ambil dari aku satu kata, dari kamu satu kata. Bagaimana?"
tanya Cahyani.

"Komunitas Sesama Tunarungu."

Cahyani menolak, "Bagusnya sih, Komunitas Peduli Tunarungu."

"Nah itu saja," Roy setuju.

Untung sudah selesai ngomongnya. Jika Roy belum ngomong, maka bisa dipastikan tidak akan terbentuk komunitas ini. Untung saja, tak lama kemudian es campur pun dibawa ke meja mereka berempat.

Komonitas Peduli Tunarungu sudah disepakati Roy dan Cahyani. Tugas selanjutnya, tinggal mencari relawan untuk menjadi pendamping atau penerjemah bahasa isyarat.

Mereka kini sudah duduk berempat sambil menyeduh minuman segarnya. Roy membuka percakapan dengan santai.

"Teman-teman, aku sudah diskusi sama Cahyani panjang lebar. Akhirnya kami berdua menyepakati membuat sebuah komunitas."

Sahut Putra, sebelum Roy selesai menjelaskan. "Kuliah saja dulu. Komunitas itu kapan-kapan saja. Kan tidak mendesak. Nanti kalau kalian sudah sarjana bikin saja komunitas apapun. Aku sama Halib akan menjadi anggotanya. Iya nggak, Halib?"

"Bukan begitu, Putra. Komunitas ini penting. Ada orang yang membutuhkan sentuhan tangan kita. Mereka itu kaum tunarungu yang jarang diperhatikan orang-orang," Roy menjelaskan sabar.

"Apapun model komunitasnya. Kalau masih kuliah, aku tidak akan setuju. Apalagi sampai menjadi pengurusnya. Kecuali, Halib?" Putra menyelintir Halib.

"Aku juga tidak mungkin bergabung. Jauh-jauh aku dari Medan ke Malang bukan untuk komunitas. Tapi aku datang kemari untuk kuliah."

"Apalagi kamu, Cahyani. Orang Malang. Pasti orang tua kamu nggak setuju jika kuliahmu akan terbengkalai. Meding Roy aja sendiri berkomunitas," sentil Putra untuk menggoda Cahyani.

Cahyani hanya tersenyum mendengar ocehan Putra. Apalagi kicauan Halib yang menurutnya tidak penting.

"Komunitas Peduli Tunarungu sudah dirancang sama Cahyani. Dan, itu akan tetap berjalan meskipun kalian berdua tidak ikut di dalamnya. Ada ratusan orang yang masih terbuka hatinya menjadi volunteer. Tenang saja, kalian," ucap Roy kesal.

"Silahkan kalau kalian bisa lakukan. Kami akan melihatnya," disambut nyinyir dari mulut Halib dan Putra.

***

Berjalan seminggu, mereka kuliah seperti biasa. Tapi yang menjadi perbedaan adalah, Roy dan Cahyani selalu pulang lebih awal. Sedangkan Putra dan Halib memilih jalur berbeda. Pulang terlambat dan tidak aktif jalan berempat seperti biasanya.

Dalam perjalanan, Cahyani mengingat temannya yang beda kampus yang pintar menggunakan bahasa isyarat.

"Roy, Roy. Aku ingat temanku SMA dulu. Namanya Meilisa Trisetya Arum. Dia pinter berkomunikasi sama orang tuli. Tapi apa dia mau ya gabung di komunitas ini?"

Ikuti terus updatenya! Dan, jangan lupa tinggalkan jejak ★ di sini. Terima kasih.

Malang Menyisakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang