Mengukir Sejarah

51 5 0
                                    

Pagi buta. Empat bersahabat sudah standby di lokasi lomba fashion show. Pengunjung dan peserta masih sepi. Mungkin masih mimpi dalam tidur pagi. Atau masih menyiapkan berbagai kebutuhan.

Roy Agam, Putra Gede, Halib Simajuntak dan Indira Indiva Cahyani sudah duduk di kursi undangan. Siti Nur Lathifah sudah siap dihias dan di-make up. Sudah terlihat lebih anggun dari biasanya.

Dia ditemani oleh Arum yang paling mengerti dan paham keinginan Ifa. Uniknya, Ifa juga lebih nyaman ditemani oleh Arum. Mungkin secara emosional lebih dekat dengan penerjemah.

Sebelum penampilan. Arum menghampiri Roy yang sedang menemui Ifa. Tapi dijegat oleh Arum. Kemudian dia mengutip kata Helen Keller untuk memberi semangat melanjutkan perjuangannya menjadi relawan.

"Jangan tanya kapan, tapi keajaiban pasti akan datang menghampiri orang yang selalu melakukan yang terbaik, buat dirinya sendiri maupun orang lain."

"Itu kan kata-katanya Helen Keller?" tanya Roy.

Arum tersenyum manis menatap Roy yang baru sehari menjadi pacarnya. Tak kalah saing, Roy pun kemudian membalas dengan kata mutiara tulisan Helen Keller.

"It's the best and most beautiful things in this world can not be seen or touched. They must be felt with the heart."

Dibalas lagi sama Arum, yang terlihat lihai mengucapkan kata-kata Helen Keller. "Aku tidak ingin kedamaian yang melampaui pemahaman, aku mau pemahaman yang membawa kedamaian."

Senyum bahagia mereka terlihat sempurna. Lipatan lesung pipi Roy terlihat manis menebar senyum pada Arum. Langkahnya terhenti untuk menemui Ifa yang tak lama lagi akan naik ke panggung kehormatan lomba.

"Silakan lewat pak bosku," ucap Arum yang masih menyimpan rindu. Roy pun kembali menemui Ifa. Memberi semangat untuk tampil sempurna mengalahkan lawan yang bukan peserta tunarungu.

Cantiknya Ifa memang tak terkalahkan oleh Cahyani dan Arum. Kulitnya yang putih bersih seakan tak perlu untuk dipoles make up. Cukup tampil alami sudah memukau para pengunjung dan dewan juri.  Tak hanya itu, gaun batik yang dipadukan corak motif nusantara menjadikan penampilannya lebih indah dipandang mata.

"Roy kemana, ya?" tanya Cahyani.

Jawab Halib yang di samping kanan tempat duduknya, "Tidak usah kau cari dia. Aku kan ada untuk kau di sini."

Putra sepertinya cemburu dengan gombalan Halib. Mereka sudah sama-sama tahu kalau mereka saling menyukai Cahyani.

"Kenapa kau mencari Roy, Cahyani? Apa kau butuh sesuatu? Kasih tahu aku lah. Macam aku tidak bisa tolong kau saja."

"Dia nggak butuh kamu, Halib," disanggah singkat oleh Putra yang duduk di sebelah kiri Cahyani.

"Tidak. Kau salah, Putra. Cahyani butuh aku."

"Kalian kenapa sih? Seperti anak kecil saja," ucap Cahyani kesal. Dia langsung pergi mencari Roy.

"Dia marah. Itu salah kau, Putra." Halib berdiri dan mengikuti perginya Cahyani.

Tak lama kemudian. Putra juga mengikuti jejak Cahyani yang sudah berada di ruang persiapan peserta lomba. Ruangan itu sudah dipenuhi semua peserta dan pendamping. Roy sudah di dalam ruangan itu bersama Arum dan Ifa.

"Waduh, kau cantik sekali Ifa. Kenapa bukan kau saja jadi pacarku?" Halib kecoplosan di depan Cahyani. Sedangkan dia masih berjuang mendapatkan hati Cahyani.

"Dasar mata keranjang," Cahyani menggerutu. Arum bersama Roy tertawa melihat sifat Halib yang masih seperti biasa.

"Jangan pernah menundukkan kepalamu, selalu tegakkan tinggi-tinggi. Lihatlah dunia lurus dari matamu," ucap Roy mengutip kata motivasi Helen Keller pada Ifa dengan bahasa isyarat.

Ifa mengangguk setuju. Dia siap-siap menuju penjurian di atas panggung megah. Penonton sudah memadati gedung besar tempat acara. Dewan juri sudah duduk manis di depan panggung utama. Alat tulis penjurian sudah mulai dipegangnya. Matanya sudah tertuju pada penampilan pertama peserta.

Ifa sudah bersiap menuju giliran. Dia akan tampil di urutan nomor dua setelah peserta ini turun dari panggung. Dua kali sudah berjalan mengelilingi panggung. Akhirnya peserta pertama pun menyelesaikan aksinya dengan memukau penonton.

"Semangat, Ifa. Kamu bisa mengalahkan mereka," ucap relawan yang mendukungnya. Ketika namanya dipanggil. Sorakan dan teriakan pendukung dari relawan menggema sudut-sudut gedung.

Ifa langsung menuju panggung dengan istimewa. Suara pun kembali memenuhi ruangan ketika wajah dan gaunnya disorot kamera. Dewan juri pun langsung berdiri melihat kagum desain kostum yang disandangkan di badanya.

Sama seperti yang dilakukan peserta sebelumnya, Ifa juga memutari panggung menyandang gaun anggun yang dikenakan. Belum sampai satu putaran. Ifa terjatuh dari atas panggung. Padahal panitia memberitahu untuk tidak berjalan terlalu ke samping panggung.

Relawan yang datang tak bersuara lagi. Mereka mendadak diam tanpa suara seperti orang tuli yang didampinginya selama ini. Semangat relawan dan orang tuli semakin melemah menyaksikan penampilan Ifa.

Roy langsung membawa Ifa menuju tempat yang aman. Diikuti oleh Arum, Cahyani, Halib dan Putra yang tak mau terlihat kecewa. Luka memang tidak ada. Tapi sakitnya menahan malu melebihi dari sayatan samurai.

"Mengukir sejarah itu tidak harus diawali dengan prestasi. Kamu itu sudah hebat. Kami bangga sama kamu, Ifa," Arum memberi semangat dengan bahasa isyarat. Diikuti oleh Roy,Cahyani, Halib dan Putra.

Sambungnya, "Helen Keller juga tidak langsung memiliki nama besar. Tapi semua ada prosesnya."

Ifa tak semangat lagi. Dia terus menangis menyesali kecelakaan panggung. Orang tua Ifa juga ikut memberikan semangat. Tapi tetap tak dihiraukan. Dia kecewa pada dirinya. Kecewa sama kondisinya menjadi tuli.

"Cukup sekali aku mengikuti lomba. Aku sungguh tak berguna. Menjadi orang tuli lagi."

Relawan tak ada yang bersuara. Arum kemudian memeluk erat Ifa. Cahyani juga ikut memeluk Ifa yang sedang menangis dengan hebatnya.


Vote dan komen, guys. Terima kasih

Malang Menyisakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang