Pelukan Sejuta Makna

96 8 0
                                    

Roy terlihat bingung, stress, dan hilang arah. Hidupnya seperti tak bergairah sejak dijauhi Putra dan Halib. Belum sembuh sakitnya, kini dia kembali ditinggal sama Cahyani.

Satu-satunya lagi sahabat yang masih bertahan bersamanya. Namun itu pun telah memilih jalannya sendiri. Tak ada sahabat yang peduli lagi.

Hidupnya kini benar-benar merasa sendiri. Meskipun setiap hari berkumpul dengan puluhan relawan dan penyandang tuli. Tapi semangatnya kini telah pergi. Sudah berpisah dari jiwanya yang suci. Pelangi yang indah sudah tak menawan lagi. Kini pandangannya hanya gersang kehidupan.

"Loh kenapa bengong begitu, mas?" Arum menghampiri Roy yang sedang termenung.

"Saat berproses banyak sekali orang menganggap rendah. Tapi ketika telah sukses. Mereka berlomba-lomba bertepuk tangan mendapat pengakuan."

"Karena mereka tahu, bahwa proses itu tidak mudah. Makanya mereka menghindar semua, mas."

Roy tersenyum menoleh Arum. "Mereka yang membuat aku bersemangat menjadi relawan sejati. Tapi mereka tak ada yang peduli. Saya kira sahabat itu menguatkan. Tapi ternyata menghancurkan pertahanan perjuangan."

"Aku selalu mendukung mereka. Selalu memberikan ide untuk kebaikan masa depan mereka. Selalu saya meberitahu ketika mereka salah. Apa memang menjadi relawan itu juga kesalahan? Sehingga mereka begitu bencinya sama pekerjaanku."

"Tidak salah sedikit pun, mas. Ini adalah awal dari perjuangan. Biarkan mereka tertawa terbahak-bahak melihat kesusahan proses ini. Tapi tunjukkan bahwa menjadi relawan itu bukan sekedar menghabiskan uang dan waktu."

Lama mereka bercerita dari hati ke hati. Menceritakan masa depan komunitas untuk dipercaya orang lain. Sebelumnya, Roy hanya mencurahkan isi hatinya kepada Cahyani. Bersama Arum ini yang pertama kalinya.

Senja pun mulai menyapa. Dan, rembulan pun kini menyambut datangnya malam. Arum terbawa suasana hingga larut dalam cerita. Waktu pun akhirnya mengakhiri pertemuan mereka berdua.

Banyak hal yang disampaikan Roy kepada Arum. Tak terkecuali menceritakan kehidupan pribadinya bersama sahabat yang kini pergi. Putra, Halib dan Cahyani telah terukir dalam di hati. Tapi sayang, mereka telah jauh pergi karena egois yang menyeludupi.

***

Putra bertemu Cahyani dan menyapanya. "Kamu di sini? Ngapain?"

"Iya nih, Putra. Kamu sendiri ngapain di sini?"

"Ada urusan tadi. Ayo kita duduk di sana saja. Nggak buru-buru, kan?

Mereka pergi menuju tempat duduk di taman kota itu. Pemandangan yang indah menjadi view yang menimani mereka berdua. Riuhnya pengunjung taman membuat pertemuan mereka semakin sepesial.

Cahyani tak basa-basi lagi. Dia langsung menanyakan tentang ceritanya bersama Halib semalam.

"Apa kamu sudah mendengar ceritaku bersama Halib? Dia semalam datang ke rumah. Tapi kamu nggak ada." Putra hanya mengangguk.

"Terus bagaimana?"

"Sudah puas kalian berdua?"

"Ada rencana apa lagi untuk menghancurkan relawan?"

Putra langsung di-skak mat oleh Cahyani. Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutnya. Sudah terkunci. Persis seperti Halib semalam. Hanya bisa mengangguk dan menggeleng-gelengkan kepala.

Wajah Putra terlihat memerah. Apakah karena malu atau memang karena terlalu panas omongan Cahyani?

"Kalian tahu kan arti sahabat itu apa?"

"Saling bantu. Saling mendukung dan saling berbagi. Ini yang kalian tunjukkan hanya saling membenci. Saling menyakiti dan saling menjatuhkan."

"Kalian itu sakit, Putra. Sakit jiwa."

Cahyani langsung pergi meninggalkan Putra yang masih duduk.

"Cahyani, Cahyani!" Putra memanggil. Tapi tak didengarkan lagi oleh Cahyani yang langsung meninggalkan jejak.

Tak lama kemudian, Cahyani mendapat telpon dari Arum yang meminta bertemu di sebuah kafe. Cahyani pun menuju lokasi yang diminta Arum.

Mereka memesan minuman segar. Begitu pesanan sampai di mejanya. Mereka langsung menyeduhnya dengan penuh kenikmatan.

"Tumben ngajak aku mendadak begini, kenapa? Kesepian, ya?" Cahyani menggodanya.

Arum membalasnya dengan ketawa kecil. Lalu dia mulai mengatakan tujuannya.

"Kenapa kamu berhenti jadi relawan, Cahyani? Ada masalah? Atau kamu lagi nggak baikan sama Roy?"

"Sudah. Jangan dibahas itu," Cahyani membalas kesal.

"Tapi, Cahyani. Ini penting bagi kelanjutan komunitas itu. Bukannya kamu pernah bilang jadi relawan itu mulia? Lalu kenapa kamu pergi?"

"Kalau kamu bahas ini aku akan pergi?" Cahyani mengancam.

Arum megang tangan Cahyani, "Kamu boleh pergi. Tapi dengarkan dulu aku ngomong."

Cahyani kembali duduk di samping Arum. Tapi wajahnya tidak ceria lagi.

"Kamu pergi tanpa pamit padaku. Lagakmu kini seperti bunga yang layu. Jatuh diam-diam dari tangkainya seolah-olah menyalahkan angin. Padahal, kamu jatuh karena kehendak dan keinginanmu. Bukankah kamu yang mengajak dan menyambutku di duniamu?"

"Kalau pun aku harus pergi juga. Kemana lagi aku akan pergi? Sandaranku kini telah roboh dimakan usia. Cuma kamu satu-satunya perhiasan duniaku."

Cahyani menangis mendengar omongan Arum. Awalnya, memang Cahyani yang merayu Arum menjadi relawan. Tapi seiring berjalannya waktu. Arum ditinggalkan di komunitas itu.

"Yakinkah kamu akan pergi setelah menempatkanku di sini?" tanya Arum sambil menangis memeluk Cahyani.

"Bukankah kamu pernah bilang juga. Kalau bukan kita yang menjadi relawan teman-teman tuli siapa lagi?" Cahyani semakin menderu.

Waduh, ada yang sampe nangis kayaknya. Cup2, jangan nangia lagi!

Vote dan komen ya? Terima kasih pembacaku yang luar biasa.

Malang Menyisakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang