Hukuman Masa Lalu

39 5 0
                                    

"Saya menjadi donatur untuk komunitas ini supaya maju dan berkembang. Bukan seperti ini. Diam di tempat," orang tua itu marah kepada relawan di komunitas.

Roy sedang diskusi di dalam ruangan. Kemudian dia menghampiri orang tua yang sedang marah itu. Pakaiannya sederhana. Tidak ada yang istimewa dari sosok yang datang menyerang ini.

Roy menyapa, "Mohon maaf, pak. Ada yang bisa kami bantu?"

"Kalian diberi uang untuk mengembangkan komunitas ini. Supaya kaum difabel tuli di sini terjaga dan merasa dihormati. Bukan malah uangnya kalian makan sendiri."

"Saya tidak paham maksud, bapak. Boleh bicara baik-baik, pak," Roy menyilakan bapak separuh baya itu duduk di kursi yang disediakan relawan.

"Kalian korupsi. Makanya komunitas ini tidak bisa berkembang. Kaum difabel tuli masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Saya akan melaporkan kalian ke polisi."

"Bapak ini siapa? LSM atau preman? Jangan sembarangan menuduh orang."

"Kalian tahu ini?" dia menunjukkan beberapa lembaran kertas yang menunjukkan angka-angka. Roy kemudian mengingat tingkah bendaharanya dulu.

Sebelumnya, bendahara komunitas memiliki misi untuk menghancurkan komunitas. Dia dia adalah orang suruhan Halib dan Putra. Saat itu, mereka masih berselisih paham. Akibatnya uang komunitas raup senilai Rp 300 juta.

Tak sabar. Roy langsung menguruh relawan lain untuk memanggil Halib, Putra dan Cahyani. Kebetulan, saat itu mereka semua tidak hadir di acara diskusi rutin komunitas.

"Jadi kamu belum tahu saya siapa? Bagus sekali kamu anak muda. Komunitas macam apa ini yang tidak tahu sama saya? Apa teman kamu yang relawan di sini tidak memberitahu?"

"Selamat siang, pak. Akhirnya bapak bisa datang ke komunitas. Kami sudah lama menunggu bapak di sini," sapa Cahyani dengan ramah.

Roy kemudian menarik Cahyani dan berbisik, "Kamu tahu siapa dia?"

"Dia donatur terbesar komunitas ini."

"Apa? Donatur?"

"Iya, dia donatur kita."

"Apa kamu tidak memberitahu siapa saya?" tanya orang tua itu pada Cahyani. Halib juga di sana. Mereka berdua yang mengambil uang donasi yang diberikan bapak tua ini.

"Tidak perlu basa basi lagi. Saya akan melaporkan komunitas ini kepada polisi. Saya kecewa dengan praktik korupsi di lembaga masyarakat seperti ini." Dia langsung pergi.

Roy berdiri dengan wajah merah. Dia menahan amarah yang memuncak kepada Halib dan Putra. Sedangkan Halib dan Putra belum tahu kalau Roy marah padanya. Tak lama setelah berdiri, Roy memukul wajah Putra dan Halib.

Sambil memukul Halib, dia berkata, "Ini semua gara-gara kalian, brengsek. Kalian mengacaukan semua ini."

"Apa salah kami? Tiba-tiba main pukul saja kau ini," tanya Halib yang sudah dipegang para relawan dan kaum difabel tuli. Baku hantam pun sempat terjadi.

Cahyani pun angkat bicara, "Kamu kenapa Roy? Kalau ada masalah kita selesaikan baik-baik. Bukan menyalahkan orang lain."

"Gara-gara bendahara yang diutus bajingan dua ini komunitas jadi buruk di mata orang. Mereka akan mempolisikan kasus itu dengan dalih korupsi."

Cahyani menenangkan, "Sabar. Semua masalah ada jalan keluarnya. Tergantung bagaimana kita menyikapinya."

Benar saja. Tak sampai satu jam. Polisi sudah datang ke lokasi komunitas. Cahyani menyuruh Roy bersembunyi dan melarikan diri. Cahyani yang pasang badan menghadapi para polisi yang akan melakukan pemeriksaan terhadap komunitas. Relawan dan kaum difabel tuli pergi berhamburan meninggalkan lokasi.

"Kamu pergi dan sembunyi yang jauh. Polisi ini biar aku yang menghadapi. Apapun yang akan terjadi. Aku dan kamu akan menciptakan generasi penerus Helen Keller dari sini."

"Tidak perlu pergi dan sembunyi. Kebenaran itu akan terbukti meskipun dengan waktu yang lama."

Polisi sudah sampai di komunitas, "Mohon maaf. Apa bapak yang bernama Roy Agam yang menjadi ketua komunitas?"

"Iya. Saya Roy Agam. Saya ketuanya."

"Kami ditugaskan untuk menangkap bapak dengan tuduhan korupsi," kata polisi itu sambil menunjukkan surat perintah penangkapan.

Dia hanya pasrah. Tak ada penolakann saat polisi itu memborgol kedua tangannya. Sedangkan polisi yang lain sibuk menggeledah ruangan komunitas mencari bukti tambahan. Kertas perlengkapan kantor komunitas berhamburan layaknya kapal pecah.

Tapi, Cahyani tak terima polisi menangkap Roy di depannya. Dia menolak Roy ditangkap dan melakukan protes.

"Roy tidak bersalah, pak. Dia pendiri dan ketua komunitas ini. Tolong jangan tangkap dia," Cahyani protes polisi sambil menangis melihat Roy yang sudah diborgol.

Polisi menjawab singkat, "Jelaskan nanti di kantor."

Roy langsung dibawa polisi untuk dimintai keterangan. Sedangkan Cahyani menangis histeris melihat Roy. Halib dan Putra berusaha menghentikan. Tapi Cahyani langsung marah pada mereka berdua.

"Kalian puas dia di tahan di penjara. Puas kalian? Itu kan yang kalian inginkan?"

Tak ada jawaban dari mereka berdua. Hingga waktu pun sudah menjelang malam. Cahyani tak mau pulang. Dia menunggu Roy di komunitas. Halib pun berusaha merayunya untuk pulang.

"Cahyani. Ayo pulang! Sudah malam ini. Besok kita ke sini lagi. Roy akan bebas. Tenang saja. Kalau dia tidak bebas aku siap menggantikan dia di penjara."

Putra menambahkan, "Kami memang tidak baik di masa lalu. Tapi kami akan berusaha menjadi yang terbaik untuk masa depan."

Vote dan komen, ya. Thanks

Malang Menyisakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang