Mereka Kemana?

38 5 0
                                    

Berbulan-bulan mereka sudah di penjara. Tanda-tanda pembebasan masih jauh dari mata. Pembelaan juga terhadap merekan tak ada. Yang ada hanya unjuk rasa menuntut untuk dihukum dengan seberat-beratnya.

Pihak kampus tempat mereka menuntut ilmu kini mulai merencanakan pemecatan secara tidak hormat. Media sudah merilis isu pemecatan mereka dari kampus. Tapi bukan hanya Roy bersama Cahyani yang dipecat. Tapi Halib dan Putra juga menjadi imbasnya.

Komunitas yang dijalankan mereka membawa derita. Hanya sedikit membuat tawa. Tapi selebihnya hanya air mata. Bertubi-tubi ujian yang menimpanya. Roy mulah kalah dengan kondisinya.

"Cahyani. Aku sudah mulai lelah mengurus orang lain. Termasuk mengurus kaum difabel tuli. Aku capek menjadi sorotan fitnah seperti ini."

"Roy, ini namanya ujian. Tuhan sedang melihat kita sejauh mana bisa bertahan. Untuk mengejar IPK saja kita harus mati-matian brlajar. Ini juga sama," sahut Cahyani dari ruang sebelah.

"Ini beda, Cahyani. Tidak ada mata yang melihat kebaikan kita. Semua sudah sirna. Tak berguna lagi kita bagi mereka yang tuli."

"Jangan pikirkan dulu itu, Roy. Sekarang pikirkan bagaimana kita bisa bebas."

Arum kembali datang. Tapi tak seperti sebelumnya dijegat Cahyani. Dia langsung menuju ruang tahanan Cahyani. Bukan ke ruang tahanan Roy.

"Kenapa bisa seperti ini, Cahyani? Kalian sudah melakukan yang terbaik untuk kaum difabel tuli. Aku sudah mengenal kamu sejak lama. Tidak mengkin kamu melakukan seperti yang dituduhkan," Arum mengawali ceritanya. Tak ada rasa dendam di wajah Arum. Meskipun dia dihina waktu menjenguk Roy. Dia tetap seperti Arum yang biasa dikenalnya.

"Aku nggak tahu, Arum. Mungkin ini sudah nasib kami."

"Tidak, Cahyani. Ini bukan nasib kalian. Nasib kalian adalah memberi semangat hidup pada kaum difabel tuli. Mereka membutuhkan kalian."

"Jika sudah seperti ini. Tidak ada lagi yang dapat kami berikan pada mereka. Kami sudah hina dan jelek di mata semua orang. Kami ini koruptor. Pemakan hak kaum difabel tuli."

"Tidak. Aku yakin 100% bukan kalian yang melakukannya. Kebenaran itu akan datang, Cahyani. Meskipun waktunya yang lama."

"Lihat pacarmu dulu sana. Jangan terlalu lama bersamaku. Dia butuh kamu itu," Cahyani menyuruh.

Roy mendengar percakapan mereka dan menyambungnya, "Biarkan pacarku bersama sahabatku di sana."

"Apa yang harus kulakukan untuk membebaskan kalian?" tanya Arum pelan.

"Apakah kami mungkin dibebaskan dari penjara ini?" tanya Cahyani.

"Tidak ada yang tidak mungkin, Cahyani. Kalian akan segera bebas."

Roy tersenyum dibalik pintu besi penjara. Sedangkan bibir Arum bergerak-gerak seperti ingin memberitahu sesuatu. Tapi dia ragu untuk menyampaikannya. Roy kemudian bertanya.

"Mau bilang apa? Kasih tahu aja, Arum. Tidak perlu ditutup-tutupi informasi yang sudah tersebar di luar sana."

"Ada apa?" sambungnya.

"Tapi janji kalain tetap tenang, ya! Biar kukasih tahu isu yang tersebar di media."

Mereka berdua setuju dibalik ruangan 2x2 itu, "Halib dan Putra akan dipecat dari kampus. Itu berlaku untuk kalian berdua juga. Beritanya sudah menyebar."

"Apa? Dipecat?" mereka berdua kaget.

"Iya. Isu media massa hari ini seperti itu. Kalian harus tenang. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya."

"Lalu mereka di mana sekarang?" tanyanya.

Arum menggelengkan kepala bertanda tak tahu. Sejak penangkapan terjadi. Halib dan Putra tak tahu kemana perginya. Tak pernah menjenguk Roy di penjara. Mungkin pukulan Roy masih membekas di hati mereka berdua. Hingga mereka tak mau menjenguk.

"Sudah selesai skenario hidup kita, Roy. Tempat ini mungkin menjadi istana terakhir kita."

"Kalian akan keluar dari sini, Cahyani.  Harus berlikir postif," Arum memotivasi.

***

"Selamat siang, pak," Putra menyapa polisi yang sedang berjaga.

"Ada yang bisa kami bantu?"

"Saya membawa orang yang menggelapkan dana komunitas. Jadi Roy dan Cahyani bukan pelakunya. Tapi dia pelakunya," Putra menunjuk perempuan yang dipegang oleh relawan komunitas bersama Halib.

"Benar, pak. Orang ini pelakunya. Sekarang kami minta bebaskan teman kami. Mereka tidak bersalah," sambung Halib.

Polisi langsung menuju ruang tahan Roy sama Cahyani. Petugas itu kemudian membuka gembok pintu penjara dan menyuruh Roy dan Cahyani keluar.

"Saudara Roy dan saudari Cahyani bisa keluar. Sekarang kalian sudah bebas."

"Bebas, pak?" tanya Roy.

"Iya. Kalian bebas. Pelaku penggelapan dana komunitas sudah diserahkan oleh teman kalian."

Roy, Cahyani dan Arum langsung lari menuju orang yang membebaskan mereka. Ternyata yang membebaskan adalah sahabatnya sendiri, yakni Halib dan Putra.

"Maafkan kami tidak bisa menjenguk kalian ke penjara ini. Kami tahu bahwa lebih penting memburu bajingan daripada harus menangis melihat kalian sedih di balik bui."

"Tidak ada pertemanan sejati. Tapi kami akan menjadi teman yang berarti untuk hidup hingga mati," sambungnya.

"Kau tidak apa-apa kan, sayang?" Halib iseng pada Cahyani yang tidak berdaya lagi. Wajahnya lemas dan tak bersemangat.

Saat semua menoleh ke Cahyani dan Halib. Tiba-tiba Cahyani langsung jatuh ke lantai tak berdaya. Ternyata dia pingsan.

Vote dan komen, ya. Terim kasih

Malang Menyisakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang