✱ 9. Rendezvous

422 72 34
                                    

   "Kak Reyes!"

"Kak Reyhan!"

"Kak Reymond!"

"Tadi narinya lucu, Kak."

"Aku pengen deh jadi pacar Kakak.."

"Kakak keren deh, Kak..."

   "Foto bareng dong, Kak..."

Para siswi Havier School mengerubungi tiga Rey yang hendak keluar gerbang. Tindakan mereka semakin agresif untuk mendekati tiga makhluk tak tersentuh itu. Mereka sengaja mepet-mepet dan mengarahkan ponselnya agar dapat mengambil foto bersama mereka. Bahkan, ada yang membawa tongsis agar wajah ketiganya terlihat seluruhnya. Dasar gila! Kenapa tidak menggunakan drone saja sekalian?! Mereka itu mau sekolah atau belajar menjadi paparazzi sih?

"Ini semua gara-gara Bu Michelle!" Reyes menggeram seraya membanting tubuhnya di kursi kemudi mobilnya. Ia marah dengan hukuman nyeleneh yang diberikan Bu Michelle.

"Lagian orang kayak gitu lo terima kerja di sini, Re." Reymond memprotes pada Reyhan. Dua orang itu berdiri berhadapan di depan pintu mobil Reyes yang terbuka. Cowok itu tengah menyalakan rokoknya, namun lighter-nya macet. Ia semakin marah-marah tidak jelas.

"Lah, bukan gw. Bokap gw.." Reyhan menyahut sambil melemparkan lighter yang disodorkan Reymond untuk Reyes.

"Awas aja kalo ngasih hukuman macem-macem lagi. Gue kempesin tuh perahu karet!" Reyes bersungut-sungut. Ia menginjak rokok yang batal dihisapnya gusar. Mungkin, ia mengibaratkan rokok yang diinjaknya adalah Bu Michelle. Reyhan dan Reymond tertawa melihat kelakuan Reyes. Wajar bila ia dendam pada guru gendut itu, karena di kelas ia menjadi bahan tertawaan satu kelas. Avanzalah yang menjadi provokatornya. Ketua kelas bejat..

Beberapa menit hening. Mereka melamun melihat orang lalu lalang, ruang parkir sudah dipenuhi oleh siswa yang akan mengambil kendaraan mereka. Deru dari mesin kendaraan lambat laun semakin jauh menghilang meninggalkan tempat itu. Hanya mereka bertigalah yang masih betah berada di sana. Reyhan dan Reymond beralih memandang wajah cemberut Reyes. Mereka harus mempunyai cara agar cowok itu kembali ke mood normal, wajahnya sungguh tidak enak dipandang mata jika dalam kondisi seperti itu. Asem!

"Kita ke toko buku, yuk?" Reyhan memecah keheningan dengan mengajak dua Rey itu untuk keluar dari zona gabut.

"Ayo..." Reymond mengangguk dan bertanya pada Reyes seraya menyandarkan tubuhnya di pintu mobil. "Lo mau ikut, Rey?"

"Pengen sih, gue juga belom dapet topik buat Biologi. Tapi, Kakek gue semalem ke sini. Nggak enak gue kalo pulang telat." Reyes menggaruk-garuk kepalanya pusing. Satu masalah belum selesai muncul lagi masalah baru. Entah harus ditaruh dimana wajahnya bila besok bertemu dengan guru atau siswa yang lain. Rasanya malu sekali bila mengingat peristiwa hari ini.

"Bawa aja Kakek lo ke sana. Sekalian ajakin jalan-jalan." usul Reyhan.

"Ah, nggak sabar gue nunggu dia jalan. Lama banget," keluh Reyes. Jika pria tua itu bukan kakeknya, ia pasti mendorong dan menyeretnya agar lebih cepat melangkah. Bisa seabad ia menunggu kakeknya berjalan selangkah sementara dirinya sudah mengambil seribu langkah.

"Gue punya kursi dorong di rumah. Nanti gue bawain deh," Reymond menawarkan bantuan. Tidak seru jika jalan berdua saja dengan Reyhan, ia akan mengusahakan apapun agar Reyes ikut serta.

Reyes berpikir sejenak dan menganggukkan kepalanya. "Oke."

"Ya udah, kita ketemuan di tempat biasa. Jangan lama-lama lo nyusulnya." Reyhan menutup pintu mobil Reyes. Cowok itu tersenyum dan mulai menyalakan mesin mobilnya.

THREE REYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang