67-Karena Hujan

44 3 0
                                    

Suasana ini membuatku teringat pada masa lalu. Aku mengenang dengan alibi mencari ketenangan. Dimulai saat memejamkan mata sampai aku diambang batas kesadaran. Suara yang menggelegar di luar menghentakkanku untuk tetap sadar. Gemuruh dan cahaya putih saling bersahutan. Membuatku tertarik untuk menoleh dan melihat awan yang menghitam di luar jendela. Aku telusuri dari ujung kanan sampai batas mata memandang. DI teruskan menyusuri awan hitam ke sebelah kiri. Awan itu menggumpal seperti kapas dan rintik hujan pun mulai membasahi bumi. Di balik kaca mobil ini, aku melihat tetes-tetes air jatuh ke bumi tanpa beban. Menempel pada keseluruhan mobil. Aku menyentuh kaca jendela, mengagumi air yang menciptakan embun yang menawan. Aku tersenyum. Nikmat sekali menjadi air, mereka ringan, tidak tersentuh, bentuk yang mengikuti wadah, jatuh ke bumi, kemudian menguap kembali. Beda denganku yang tidak tersentuh, jatuh, dan bangkit lagi tanpa ada tujuan. Aku tidak seperti hujan, mempunyai kekuatan untuk menenangkan  dan kekuatan untuk kembali mengingatkan indahnya kehidupan. Aku, memiliki luka. Ibarat cekungan bumi yang dalam. Aku manusia, yang mau saja menerima hujan. Menampung luka seperti danau menampung mereka. Kembali, aku hanya hidup dan mengikuti alur kehidupan.

Mobilku kembali bergerak maju. Menyadarkanku untuk berhenti mengenang kelam. Aku memandang ke sekitar dan didepan terdapat celah besar untuk mengurangi panjang perjalanan. Pantas saja mobilku bergerak kembali setelah 20 menit terhenti. Ratusan mobil berimpitan teratur. Aku menegakkan punggung untuk melihat seberapa jauh lagi aku sampai kesana. Kemungkinan 10 menit lagi. Aku merebahkan kembali punggungku. Membiarkan pak Budi, supirku, untuk mengemudikan mobil dalam tenang dan hening.

Terbuai mimpi, setelah bangun dari tidur. Aku mengedarkan pandangan mencari dimana aku sekarang. Ternyata sudah sampai. Aku turun dari mobil dan menepuk rokku yang sedikit kusut. Memanggil pak Budi bahwa aku sudah siap ke dalam. Ini dia, luka terdalamku. Sakit terbesarku. Serpihan kisah masa lalu yang tetap di rindung pilu. Diantara kedua tiang besar, terdapat kertas bertuliskan ‘Lahan Pemakaman’ .

Kedua orang tua yang meninggal karena dibunuh dengan kejam. Dimutilasi hingga hanya 2 anggota tubuh yangtersisa. Lagi-lagi karena uang. Biarkan hati ini dingin dengan abadi. Biarkan kehidupan ini ku pandang dengan satu sisi. Biarkan yang luka menjadi luka. Biarkan sakit ini berkarat. Aku sudah terlalu  kecewa untuk mencintai kehidupan.

Tapi satu hal, saat keluar dari area ini. Biarkan pula ini menjadi kunjungan terakhir. Biarkan yang lalu menjadi butiran kecil penghalang. Abaikan luka, kecewa, sakit, dan tangisan tak terdengar semua orang. Aku harus kembali menghangat, layaknya bumi yang kembali cerah ditemani pelangi setelah gumpalan awan itu meninggalkan suasana dingin yang lama.

Lima langkah keluar dari pemakaman, ada suara bisikan yang terdengar dan membuatku tersenyum hangat

“Nak, aku bangga”

CTS [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang