68-Bianglala

64 5 0
                                    

Bianglala

Malam ini aku terlelap lagi dengan rasa lapar yang masih terasa. Aku terbangun tengah hari dan memindai gubuk yang sudah reyot dibeberapa bagian. Ternyata ibu, ayah, dan kakak belum juga pulang. Beberapa hari ini mereka sangat sibuk. Mungkin karena hari ini tepat hari pergantian tahun. Tunggu, pergantian tahun. Aku bangkit dan segera keluar. Tidak ada sepatu atau sandal sebagai alas. Lihat, petasan besar pertama sudah dilepaskan. Ada manfaatnya aku tidak punya alas kaki, jadi setidaknya waktu tidak terbuang sia-sia. Petasan itu berbunyi keras namun aku tidak merasa terganggu. Petasan kedua menyusul, pendar keunguan menyebar disusul asap membubul, seperti asap rokok yang mengepul.

Aku teringat pada janji ayahku dulu, bahwa pergantian tahun, yang merupakan hari lahirku, kami akan menikmati bianglala di malam esok harinya. Keinginan yang selalu aku semogakan. Tidak dari semenjak ayah berjanji sampai saat ini.

Bianglala. Hari ini. Malam hari. 2 Januari 2017. Terasa sebentar penantianku. Aku tidak kecewa. Karena aku sabar dengan doa. Aku merenung tapi tidak protes. Aku hanya seorang pengamen, bahkan disandingkan dengan penikmat wahana bianglala yang lain aku tidak bernilai. Aku terlalu kecil untuk dikatakan layak. Seukuran manusia aku bagaikan debu, pantaskah aku masih mengeluh dan mengatakan bahwa Tuhan tidak adil? Yang apabila aku disandingkan dengan derajat para Rasul aku lebih kecil dari atom. Lebih kecil lagi dari proton dan neutron. Bahkan mungkin, tidak pernah sebanding.

Aku memilih berdiri dan mengelus besi-besi berwarna bianglala, menghirup bau berkaratnya yang bercampur dengan udara segar nan dingin malam ini. Sesambil menikmati semilir angin yang mengayunkan rambutku tenang. Membuatku memejamkan mata dan kembali bersyukur. Namun, aku tersentak kaget saat bianglala berhenti mendadak saat aku berada di puncak. Aku mulai berkeringat. Namun tetap aku paksakan melihat ke bawah. Di sana, terdapat sekumpulan manusia saling berbincang dan sesekali menegur seseorang yang sedang mengotak-atik mesin utama bianglala. Sepertinya gangguan ini cukup ku nikmati, lagi.

Aku memandang langit. Satu dua tiga empat lima enam tujuh. Aku menghitung bintang. Ada tujuh disana. Aku melihat bulan yang berada di pertengahan ketujuh bintang. Dia bersinar terang. Tapi tidak mengganggu penglihatanku. Teduh  sekali. Aku memandang ke arah sejajar dengan kepalaku. Memandang langit malam nan jauh tak terbatas penghalang. Menerawang, sampai daerah mana batasku melihat. Aku turunkan lagi pandanganku, menuju pepohonan rindang yang terselimuti gelap sekaligus remang-remang cahaya bulan. Aku tertawa, sungguh, apa yang telah aku lakukan hingga Tuhan sebaik ini padaku. Nikmat manalagi yang aku dustakan.

Nafasku mulai terengah. Namun, aku tetap santai. Aku memutuskan duduk di kursi bianglala. Aku sudah tau ini akan terjadi. Aku phobia ketinggian. Bahkan saat aku tidak menyentuh lantai saat bermain lompat tali. Phobia akut. Sudah parah. Sudah berlebih. Karena hanya ini yang kembali membuatku ingat, bahwa aku pernah memiliki ibu, ayah, dan kakak. Meski mereka sudah pergi mendahuluiku. Dan memang karena hanya ini yang membuatku sadar, tidak pernah ada 'mereka' yang aku tunggu untuk pulang. Tidak pernah ada seseorang yang aku sambut setiap malam. Tidak ada. Itu hanya bayang. Hitam. Perasaan. Bukan kenyataan. Tapi, aku tersenyum. Menikmati detik terakhir. Membaca syahadat dengan tertatih dan memejamkan mata. Belum penuh aku menghilang, aku merasakan bianglalaku mulai turun ke samping kiri secara perlahan.

CTS [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang