Aku anak dari orang tua yang kaya. Bisa bersekolah seperti yang lainnya. Tempat pensil penuh dengan isinya yang beraneka. Uang jajan yang tak pernah berhenti diberi. Sejak TK sampai SMA. Tak lupa pada uang SPP bulanan yang tak murah. Dihasilkan dari jerih payah ibu dan ayah. Sekalipun, pekerjaanya mudah. Seperti yang mereka katakan saat aku masih belum kenal masalah.
"Ayah, susahkah kerja itu?" pertanyaan dariku sambil mengulurkan tangan minta digendong. Ayah hanya tersenyum sambil menggeleng lalu mengangkatku kesusahan. Dibawanya aku dari kamar tidur menuju ruang makan.
"Ibu, ada kepiting?" tanyaku cepat saat 'tangan pengapit' itu terlihat mengintip dari panci. Kemerah-merahan. Makanan favorit bahkan hampir setiap hari menghiasi jam makan di rumah. Indah bukan?. Memilih bersila duluan. Tak ingin 'tidak kebagian' makanan. Duduk paling awal, mengambil piring dari awal, dan dapat kepiting belakangan. Anak kecil. Nangis saja air matanya harus dihapuskan orang tua, ini malah 'sok bisa' jadi yang pertama. Kebahagiaan masa kecil.Lalu, perasaan lain mulai bermunculan ketika hari dipilin oleh bulan. Bulan merangkai menjadi tahun. Tahun terus berganti layaknya tak bisa berhenti. Hingga kini aku sudah dewasa. Mulai mencari kerja.
"Mba Kalina daftar dibagian apa?" tanya temanku saat kami membahas pekerjaan.
"Emm, pekerjaan tidak penting sebenarnya" jawabku memaksa senyum sambil menatap kepadanya.
"Gausah malu kali mba. Jenius gitu udah pasti di atas kami" temanku yang lain tepat di hadapan menyela pembicaraanku.
Aku menoleh dan tersenyum formal."Tidak juga. Kali ini tidak sehebat itu" ucapku untuk sebisa mungkin tidak terdengar menyombong atau bahkan merendah. Aku teguk air putih di depan. Menetralisir kesakitan dalam hati ketika mengingat kembali penyesalan itu.
"Emang daftar apasih mba?" Telak. Pertanyaan mematikan.
"Saya sih ga ada niat daftar ini. Tapi karena pilihan terakhir dan kebetulan diterima. Saya milih jalanin aja" ucapku santai dan tetap menghindari pertanyaan itu.
"Oh gitu. Bagi cerita kali mba. Kita santai" aja kok kalau ternyata mba jadi Manager. Toh kita udah terbiasa lihat 'mantan-mantan' pendaftran mba di setiap kantor. Kalau ga Manager ya Ketua Direktur. Udah, muter-muter dikalangan atas aja" balasnya dengan senyum yang berbeda.
"OG. Saya diterima dibagian itu" ucapku tak tahan lagi untuk menutupi.
"Office Girl?" tanya teman disebelahku.
"Cih, sepertinya selalu yang pertama dan yang teratas. Tapi nyatanya berjalan di tempat" ucap orang ini.
Aku risih padanya. Mulai senyuman tadi aku tau maksudnya. Pembicaraan terus berlanjut setelah sesi tanya-jawab mengenai pekerjaanku yang aku akhiri dengan mengangguk datar menjawab pertanyaan terakhir. Mereka mengerti. Dan tidak mau mengusik msa laluku.
Hari ini aku mengambil segala dokumen yang berkaitan dengan kerjaku. Mulai mempacking satu" lembaran" itu ke dalam kardus cokelat. Mulai berhenti dari pekerjaan ini. Bukan, aku bukan ingin mencari pekerjaan baru. Tapi memilih istirahat dihari tua. Pensiun. Setelah turun menggunakan tangga berjalan sambil berbicara pada seseorang di seberang telepon, aku melambaikan tangan pada supir dengan arti memanggil. Meminta padanya untuk berangkat sekarang. Menunggu waktu, aku memandangi langit biru di atas sana melewati jendela mobil. Cerah dan indah berpadu satu. Sambil mengingat kembali kejadian yang sudah berlalu 10 tahun silam. Pikiranku melayang ditemani suara klakson yang saling bersahutan. Aku meringis tipis. Jalanan ibu kota selalu saja begini. Menganggu ketenangan. Setiba di tempat, aku langsung turun dari mobil tanpa menunggu pintu dibuka oleh pelayan. Menepuk rok hitam dengan pelan. Ini hari berkabut untuk hatiku. Memantapkan hati sebelum kembali berjalan menuju pusara. Pusara orang tuaku.
Aku terduduk menangis tersedu saat melihat pusara mereka untuk yang pertama kalinya. Merenungkan kembali. Memintaa maaf pada-Nya atas sifatku yang dulu. Atas kekejamanku pada ibu. Atas durhakaku pada ayah. Memeluk erat nisan bertuliskan nama mereka.
Ini ceritaku. Ketika aku kecil yang penurut dan sopan beranjak dewasa menjadi pribadi yang berbeda. Mulai memarahi ibu ketika aku tidak diberi makanan kesukaan. Mulai membentak ayah ketika aku terancam tidak lagi pergi sekolah. Mulai berani meninggalkan rumah dengan membawa 1 koper dan uang tabungan mereka. Dengan maksud menuntut kembali hak-ku sebagai anak yang dimanja.
Kerusakan keluarga terus menjadi, ketika aku merusak diriku sendiri. Tidak, aku dirusak oleh orang yang tak dikenal. Ketika ayah stroke karena ulahku. Ketika ibu bekerja sendiri menjadi pembantu. Aku tetap membangkang. Disaat ibu menyapu rumah milik tuan. Aku malah santai memasang kutek di atas sofa sambil mengangkat kaki.
Oh ya? Aku pernah bercerita mereka kaya. Tidak, bukan uang. Tapi kesabaran, keikhlasan, dan ketabahan. Mereka kaya akan sifat yang luar biasa. Karena kebodohanku dulu. Karena ulahku dulu. Tuhan merenggut nyawa mereka. Tuhan mulai merenggut kebahagiaanku.
Menuntut aku sadar. Bahwa dunia bisa berbalik. Aku hanya anak yang lahir di negeri orang. Memiliki orang tua yang bekerja sebagai TKI. Harusnya, menjadikanku sebagai pribadi yang mandiri. Yang harus mengerti. Dimana kaki menapak disitu langit dijunjung. Kebetulan saja, orang tuaku sukses di pekerjaan yang mereka tekuni.Sempat aku menjadi OG. Hingga aku mulai bertobat secara konsisten dan Tuhan mulai mengembalikan kebahagiaanku. Membuatku terus naik sampai menjadi CEO. Tuhan tau, aku yang kotor ini bisa menjadi bersih sekalipun tidak semengkilat berlian terkena kilauan cahaya lampu. Tuhan tau, dimana pelajaran yang harus aku ambil. Aku, si anak TKI yang luar biasa kurang ajar. Menjelma menjadi CEO yang tidak lagi dipandang sebelah mata. Menjadi orang yang mempunyai panti asuhan dimana-mana. Rezeki terus membanjir sebagaimana aku terus aktif berdzikir tengah malam. Ya, aku tidak sepenuhnya menceritakan kehidupan kelamku. Cukuplah tau, aku terus bergerak maju menjadi lebih baik selama aku diberikan kepercayaan untuk terus bernafas. Sekian.
----------
Materi 'mantan' ikut lomba yang diadakan oleh guru.Minggu, 30 Juli 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
CTS [End]
De TodoKetika gumpalan awan berkabut menutupi matahari. Ada sebuncah rasa, asa, nestapa, dan kata lainnya. Lelah kata terucap, lelah hati terpendam. Biarkan jemariku bergerak dan akan aku biarkan 'sang ingin tahu' ini mengintip cerita cinta, masa, tinta, d...