03. The Concubine : Forbidden

4.3K 645 73
                                    


Plaetinuhm Present

2017

The Concubine : Forbidden

(Warning! Dalam works ini  khusunya part ini menampilkan beberapa adegan grafis kekerasan dan juga kata - kata yang tidak pantas, jika merasa tidak nyaman diharapkan kesedarannya masing-masing)

Jimin menyapukan jemarinya diantara kelopak peony yang merekah di halaman paviliunnya, ia mengusap kelopak kelopak itu pelan setengah bergumam memuji ketelatenan para dayang yang sudah merawat bunga-bunga itu sehingga terlihat semarak warna-warni di halaman paviliunnya.

Ia menghela nafasnya pelan, tangannya mencuil satu kelopak peony berwarna merah seraya membiarkan kelopaknya tertimpa sinar rembulan.

"Di malam seperti ini, aku teringat sebuah puisi lama Jisoo-ya." Jimin berkata setengah menggumam yang dibalas oleh balasan singkat seraya hormat dari dayangnya yang berdiri tidak jauh dari dirinya.

"Ayahku selalu membacakannya sebelum aku tertidur dulu." Pandangan mata Jimin mengawang, ia menarik segaris senyuman tipis saat kepalanya mulai menggali memori – memori yang selama ini ia coba timbun kuat-kuat di pikirannya.

"Bait pertama puisi itu berbunyi 'Rindu di Hening Malam'." Senyumannya sedikit memudar saat ia melafalkan bait pertama puisi yang berhasil ia gali dari dalam ingatannya.

"Cahaya Rembulan depan pagar perigi" Jimin melanjutkan bait kedua puisi itu sembari mengelus kelopak peony di genggaman tangannya, hatinya berdenyut sakit saat mengingat raut wajah ayahnya yang kini hanya tertinggal nama.

Tanpa sadar ia sudah mencengkram kelopak itu hingga hancur dan menyerpih, menyisakan noda merah di telapak tangannya dan juga air mata yang berkumpul di pelupuk matanya. Suasana hatinya benar – benar terasa melankolis hari ini setelah serangkaian kegiatannya yang monoton menjadi penghibur kesayangan raja di depan para jendral dan bawahannya.

"Sudahkah embun beku menutupi bumi."

Lelaki manis itu terkesiap kaget, ia masih menampakkan wajah terkejutnya saat melihat seorang lelaki muda yang berjalan di dekat pagar paviliunnya sembari tersenyum manis.

"Dongakkan kepala, ternyata terang bulan." Jimin ikut tersenyum ketika ia membalas lantunan bait puisi, ia berjalan selangkah demi selangkah mendekati lelaki itu dengan mengabaikan sensasi aneh yang seakan menggelitik perutnya dari dalam.

"Begitu menunduk, aku merindu kampung halaman." Keduanya saling berhadapan satu sama lain, bertukar senyum yang berbatas pagar pavilion setinggi dada lelaki muda itu dan hampir setinggi leher Jimin.

"Li Bai, Rindu di Hening Malam. Aku benar kan Selir Park?" Lelaki itu tersenyum main – main, menampakkan gigi kelincinya yang terlihat lucu.

"Ya, tentu saja anda benar Daegun – mama." Jimin tertawa kecil.

"Ini sudah malam dan kenapa anda belum memasuki pavilion anda Selir Park?" Jungkook saling meremat tangannya satu sama lain, uap panas terlihat keluar dari mulutnya seiring dengan kata-kata yang ia ucapkan.

"Seharusnya itu yang saya tanyakan saat ini pada anda, ada apa gerangan hingga sang Pangeran kecil belum tidur dan malah berkeliaran di waktu malam seperti ini. apa mungkin dia diam – diam menyelinap untuk mengintip kamar dayang?" Jimin berkata setengah meledek, senyumannya dikulum melihat wajah asam sang Pangeran muda didepannya.

"Anniya, Aku kemari untuk melihat – lihat pavilion Selir Park yang tempo hari mau meminjamkan chimanya untuk menolongku dari kejaran para jendral." Jungkook berucap sarkastik yang disahuti oleh tawa geli Jimin, lelaki manis itu tertawa hingga geliginya yang putih terlihat. Tak bisa ditahan, Jungkook ikut tersenyum melihat tawa manis Jimin.

The ConcubineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang