Aku masuk ke kamar Terry dan langsung menimpukinya dengan bantal. Terry yang sedang main game kaget dan berusaha menghindariku.
"Woi, apa-apaan, Nyet??"
Terry akhirnya berhasil menangkapku dan mengunci lenganku. Kami berdua ngos-ngosan kecapean, eh lebih tepatnya aku doang yang ngos-ngosan. Dia mah kayak badak. Tenaganya kuat dan biasa olahraga.
"Lo nggak bilang-bilang Leon itu anak bos lo." Terry langsung nyengir.
"Oh, udah ketauan ya?"
"Emang sengaja nggak mau bilang, Sap??"
Aku meronta, tapi Terry tak bergerak. Apa dayaku yang macam kurcaci ini melawan Tery yang seperti raksasa?
"Gue pikir lebih enak kalo lo nggak tau soal Leon anak siapa, sebelum lo cukup dekat sama dia. Gue nggak mau penilaian lo berubah hanya karena dia orang kaya."
"Kenapa berubah? Apa gue tipe orang yang menilai orang dari kekayaannya?" tanyaku dengan tersinggung.
"Lo kan suka ngejudge orang kaya itu nggak oke. Kalo gini, lo udah kenal orangnya dulu baru tau dia kaya, lo nggak akan telanjur menganggap dia buruk."
"Gue udah nggak gitu, kali."
"Kan gue jaga-jaga aja."
Terry melepasku dan aku langsung berbaring dengan cuek di atas ranjangnya. Aku sudah ganti baju. Beneran.
Terry berbaring telentang di sebelahku dan aku membalik badanku supaya bisa melihat wajahnya.
"Lo udah ketemu keluarganya?"
"Udah."
"Termasuk Pak Jeremy?"
"Ya."
"Oh.."
Terry terdiam sesaat, lalu dia kembali bicara.
"Sorry gue nggak ngasih tau lo."
"Nggak apa."
"Terus gimana pendapat lo tentang keluarganya?"
Aku bingung bagaimana menjawabnya. Akhirnya hanya satu kalimat pendek yang kujadikan jawaban, dan ternyata itu sudah lebih dari cukup untuk Terry memahami maksudku.
"Keluarganya oke."
"Baguslah. I know you will like them."
***
Karena design sudah di-acc oleh klien dan pengukuran pun sudah dilakukan, mau tidak mau aku kembali ngantor dan mulai mengerjakan gaunnya. Jadi aku mengurung diri di salah satu studio dengan iPod kesayanganku, dengan ponsel dalam kondisi silent.
Ah, kayak ada yang bakal nyariin aja.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku bekerja. Lina, salah satu OG, menghampiriku untuk menawarkan kopi, yang kuterima dengan senang hati. Aku menghabiskan kopi yang sudah dingin itu dan mengecek ponsel. Dua belas lima belas. Tepat saat itu pintu studio diketuk dan kepala Puji muncul.
"Udah jam makan siang, Neng."
"Lo pada makan apa?"
"Kita mau nitip Rojali nasi padang. Mau nggak lo?" kata Puji, menyebut nama satu-satunya OB di sini.
"Boleh deh, gue pake telor sama perkedel ya. Pinjem duit lo dulu ya, tar gue ganti."
"Oke deh."
Puji menutup pintu, meninggalkanku sendiri. Aku membereskan gambar pola yang berserakan, mematikan iPod, lalu keluar dari studio.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah duduk di meja pantry bersama Puji dan Aline sambil menyantap makan siang kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nina and the Lion [TERBIT]
ChickLitCerita sudah dihapus sebagian untuk kepentingan penerbitan meet Karenina, gadis 23 tahun dengan penampilan seperti anak remaja dan nggak bisa pasang sekat antara otak sama mulut. meet Leonardo, pemuda 23 tahun dengan penampilan seperti penculik ana...