sembilan

63.7K 7.5K 91
                                    

Setelah Oliv pulang, aku kembali ke studio untuk mengerjakan gaunku. Seperti pagi tadi, aku sama sekali tidak tahu jam sampai akhirnya Puji masuk ke studio.

"Pulang, Neng. Udah jam setengah tujuh."

Aku melirik jam di dinding. Benar juga.

"Lo udah mau balik, Ji?"

"Ya lah. Ridwan udah nyampe," kata Puji menyebut nama pacarnya. Aku terkekeh.

"Cie yang dijemput pacar."

"Cie yang nggak punya pacar."

"Kampret!"

Lalu kami berdua tertawa.

"Gue balik dulu ye, lo jangan lupa balik," kata Puji akhirnya. Aku mengangguk.

"Bye, Ji. Jangan lupa habis makan langsung balik ya, jangan pacaran di pinggir kali. Banyak nyamuk. Mending di rumah," godaku. Puji terbahak.

"Ya kali pinggir kali. Digrebek satpam tar, malu gue," katanya, dan aku ikut terbahak.

Puji melambaikan tangan lalu kembali menutup pintu studio. Akupun melepas kacamata minusku dan meregangkan tubuh. Setelah sadar jam berapa, aku baru merasakan tubuhku pegal. Begitu aku duduk, tanganku secara refleks mengambil ponselku.

Dasar generasi smartphone, ejekku dalam hati. Begitu santai, yang dicari pertama kali ponsel.

Aku membuka ponselku dan menemukan satu misscall dari Leon.

Leon?

Tepat saat itu, ponselku kembali mengedipkan nama Leon. Aku menggeser tombol hijau dan menempelkan ponselku di telinga.

"Ya?"

"Sudah selesai?"

Ini bukan pertama kali aku mendengar suaranya di telepon, tapi jantungku entah kenapa berdegup tidak nyaman kali ini. Padahal suaranya tidak berbeda, tetap berat dan dalam.

"Sudah." 

"Sudah pulang?"

"Belum."

"Oh. Gue tunggu di depan ya."

Aku terbengong. Tunggu? Di depan? Akhirnya hanya satu kata lolos dari mulutku karena aku bingung.

"Hah?"

"Kok hah? Tar langsung ke mobil gue aja. Jangan lama-lama. Gue laper."

Klik.

Aku menatap ponselku yang sambungannya sudah terputus selama beberapa saat.

Maksudnyaa????

***

Mobilnya benar-benar ada di depan bridal.

Dan sepertinya dia melihatku muncul di depan pintu, karena dia langsung turun dan memutari mobilnya ke kursi penumpang. Saat aku berjalan menghampirinya, dia bergegas membuka pintu. Aku langsung tertawa melihatnya.

"So sweet banget sih lo," kataku. Dia hanya menatapku datar dan membantuku menaiki mobilnya.

Aku sama sekali belum terbiasa dengan sentuhannya. Walaupun dia hanya menyentuh tanganku, aku tetap merasakan sengatan listrik. Lalu aku baru menyadari kalau Leon meletakkan telapak tangannya di puncak kepalaku untuk mencegahku terantuk.

Nina and the Lion [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang