Dan di sinilah aku, memasuki lobby dengan pelototan penuh tanda tanya oleh semua orang. Ini semua gara-gara Leon menghentikan mobilnya tepat di depan lobby. Dia langsung menyerahkan kunci mobilnya ke salah satu satpam. Setelah itu, dia melakukan kebiasaannya.
Dia membukakan pintu untukku dan menggandengku turun. Dan dia tidak melepaskan tangannya. Tidak melepaskan, saudara-saudara sekalian!! Jantungku udah jumpalitan nggak jelas sekarang. Jantung pengkhianat.
Semua orang di lobby, termasuk satpamnya, bengong melihat Leon menggandengku masuk. Bukannya gimana, tapi aku risih dilihatin kayak gitu. Apa segitu anehnya ya?
Ah, aku lupa. Leon kan ansos. Menggandeng perempuan ke kantor? Pasti pemandangan langka.
Dan penampilan kami agak timpang. Serius. Leon itu mengenakan pakaian kerja lengkap plus jas. Aku? Skinny jeans, kemeja kebesaran, sneakers, dan kacamata bundar. Agak timpang doang kan?
Dia tidak melepaskan tanganku bahkan sampai kami turun dari lift di lantai 25.
Seorang wanita cantik dengan pakaian kantor yang superketat tergopoh-gopoh menghampiri kami- lebih tepatnya menghampiri Leon.
"Ini berkasnya, Pak. Pak Mulya dan anak keuangan yang lain sudah menunggu di ruang rapat."
"Kilian?"
"Dalam perjalanan."
Aku mengerjab pelan, mendengar nama kembaranku disebut. Seperti namaku yang panjang, nama Terry juga panjang. Kilian Akira Terry Hanafi. Nama panggilannya Terry, tapi nama formalnya Kilian.
"Tidak ada kesalahan lagi lain kali, Marsha."
Suara Leon benar-benar dingin dan kaku. Seram sekali. Untung saja bukan bicara denganku. Wanita itu menunduk takut dan menjawab Leon dengan suara lirih.
"Ya, Pak."
Lalu Leon menoleh padaku, yang membuat wanita cantik itu, yang kuduga sekretarisnya, ikut menatapku. Dia menatapku dari atas ke bawah, lalu mendengus pelan.
Kurang ajar.
Mentang-mentang aku cuma pakai skinny jeans dan kemeja kebesaran.
"Nin, yuk."
Leon kembali menggandengku dan membuka salah satu pintu di depan kami.
"Ini ruangan gue. Lo tunggu di sini ya. Kalau perlu apa-apa, minta sama Marsha."
Aku menggumam mengiyakan, sementara mataku sibuk mengamati ruangan Leon.
Leon melepaskanku dan keluar dari ruangannya. Begitu pintu tertutup, aku mulai berjalan mengelilingi ruangan ini.
Ruangan ini cukup besar, dengan didominasi warna kayu yang hangat. Pasti sangat nyaman bekerja di ruangan ini. Dindingnya dilapisi karpet yang cukup tebal, dengan jendela besar di salah satu sisinya. Persis di depan jendela terdapat meja kayu besar dan kursi yang kutebak sebagai meja kerja Leon. Aku menyusuri pinggiran meja itu dan menyentuh plakat nama Leon.
Leonardo Putra Barata
Chief Financial OfficerDia benar-benar CFO. Aku mendesah pelan, lalu menyadari betapa rapinya mejanya. Lalu aku mencoba mengingat-ingat, kondisi mobilnya juga bersih dan rapi. Aku jadi penasaran, kira-kira kamarnya rapi tidak ya? Memikirkannya saja membuatku terkekeh geli.
Nina, mikir deh. Dalam kondisi apa lo bisa masuk ke kamarnya? Lo kan cuma temen, batinku mengingatkan. Sial.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nina and the Lion [TERBIT]
ChickLitCerita sudah dihapus sebagian untuk kepentingan penerbitan meet Karenina, gadis 23 tahun dengan penampilan seperti anak remaja dan nggak bisa pasang sekat antara otak sama mulut. meet Leonardo, pemuda 23 tahun dengan penampilan seperti penculik ana...