dua belas

67.8K 7.1K 230
                                    

Leon mengantarku kembali ke tempat kerjaku, dan menggenggam tanganku sedikit lebih lama sebelum melepasku turun. He's cute, right?

Dan seperti biasanya, dia menjemputku saat aku pulang kerja.

"Jadi abis anter aku tadi, kamu balik ngantor?" tanyaku saat Leon sudah membawa mobilnya melintasi padatnya jalan raya di Jakarta.

Entah bagaimana, aku sekarang ber-aku-kamu dengan Leon. And it feels right.

"Nggak, aku pulang ke rumah."

"Terus kenapa jemput aku? Rumahmu kan jauh."

"Aku nggak akan biarin kamu pulang sendiri, selama aku masih bisa jemput kamu. Apalagi sekarang kamu itu pacarku."

Aku blushing. Pacar. Kata-kata itu membuat perutku bergejolak, seakan-akan ada ribuan elang mengepakkan sayapnya bersamaan di dalam perutku. Kupu-kupu mah lewat.

Leon tiba-tiba mengamit tangan kananku, lalu mengaitkan jemarinya dengan jemariku dan mengecupnya lembut. Setelah itu, dia tetap menggenggam jemariku selama perjalanan.

"Le, kamu jangan nyetir satu tangan gitu.."

"Nggak apa-apa. Aku mau megang kamu. Mumpung sudah jadi pacar."

Aku menghela nafas pelan, diam-diam menikmati gelenyar aneh yang muncul setiap kulit kami bersentuhan.

Aku masih tidak bisa percaya. Kami pacaran. Pacaran woi, pacaran. PACARAN, JIRR...

"Iya, pacaran, Nina. Kita pacaran," kata Leon tiba-tiba sambil tersenyum geli, menampakkan lesung pipinya yang sangat cute itu. Aku langsung mengatupkan mulutku dan merutuk dalam hati. Pasti itu terucap di mulutku tanpa kusadari. Sialan.

Kadang aku penasaran, apakah saraf di mulutku ini saraf motorik ya, yang bekerja tanpa diperintah otak? Correct me if I'm wrong, soalnya aku anak IPA tapi nyogok punya. Nyogok temen buat dipinjemin PR, nyogok Terry buat ngajarin pas mau ulangan, nyogok guru supaya bisa naik kelas. Intinya ya, nyogok.

Satu-satunya pelajaran yang nilaiku stabil bagus hanya seni. Karena saat aku SMA, kami bisa memilih pelajaran seni yang diminati. Aku jelas memilih seni lukis, dan nilaiku tidak pernah di bawah 85. Beda dengan nilai matematikaku yang kadang naik kadang anjlok, tergantung pada kesabaran Terry mengajariku sehari sebelum ulangan. Sebaliknya Terry, yang saat SMA memang agak gila, justru memilih seni tata boga. TATA BOGA!! Padahal dia nggak suka masak. Pas ditanya alasannya, katanya dia mau jadi raja minyak di antara cewek-cewek. Goblok emang. Siapa sangka dia langganan juara satu kalau tahu kesintingannya ini?

Leon membawaku ke restoran chinese food, dan membiarkanku memesan makanan yang aku mau. Tentu saja aku memesan lumpia udang, baby kailan, dan tim ikan. Seafood is the best!!

Dan saat melihatnya menggunakan sumpit, lagi-lagi aku terpesona. Dia terlihat begitu luwes menggunakan sumpit, dengan ukuran tangan sebesar itu.

"Kenapa kamu diam?" tanya Leon yang menyadari aku terbengong menatapnya makan. Aku tersadar dan menggelengkan kepalaku, berusaha mengembalikan fokusku.

"Nggak apa-apa. Aku seneng liat kamu makan," jawabku. Leon tersenyum. Lagi-lagi aku terpesona. Seriusan, aku jadi kayak orang bego kalau dekat-dekat dia. Kenapa dia harus cakep begini sih?

"Mau disuapin?"

"Mau!" jawabku tanpa berpikir. Dan saat aku menyesali keputusanku, Leon sudah menyodorkan makanan ke depan mulutku. Akhirnya aku menerima suapan darinya sambil senyum-senyum nggak jelas.

Selesai makan, dia kembali menggandeng tanganku saat kami menuju parkiran, bahkan sepanjang perjalanan, dia tidak melepaskan tanganku. Dia hanya melepaskanku saat keluar dari mobil untuk membuka pintu untukku.

Nina and the Lion [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang