Genderang Perang

49 4 14
                                    

Becca mengetuk pintu rumahnya perlahan. Selama menunggu beberapa menit Becca tak mendengar sahutan dari dalam. Selama itu juga tak ada pertanda jika pintu akan dibuka. Maka gadis itu akhirnya menarik handle pintu. Pintu itu tak dikunci dan itu berarti ibunya ada di rumah. Raut wajah Becca mengekspresikan kekhawatiran saat melihat pemandangan di depan matanya. Di kursi ruang tamu ibunya sedang duduk dengan sebatang rokok terselip di antara jemari tangan. Asap putih mengepul keluar dari mulut wanita itu. Gaun mini yang masih melekat di tubuh ibunya membuat Becca yakin kalau wanita itu pasti baru sampai di rumah juga. Mungkin beberapa belas menit sebelum Becca datang.
   “Ibu! Ibu kok masih ngerokok sih, kan Ibu lagi sakit!” seru Becca ketika kakinya telah menginjak lantai ruang tamu. Gadis itu melemparkan tas ranselnya ke kursi lalu berlari menghampiri ibunya.
   Berbanding terbalik dengan ekspresi khawatir Becca, Wulan justru menatap anak gadisnya itu  dengan tenang. Hanya sekilas namun tajam. Lalu, seolah tak peduli dengan kekhawatiran Becca wanita itu melanjutkan lagi akitivitasnya mengisap silinder beracun yang tadi sempat terhenti beberapa detik saat melihat kehadiran Becca.
   Becca menatap wanita dengan rambut bergelombang itu sendu. Dia lelah dengan aktivitasnya seharian dan bukan sambutan seperti ini yang menjadi harapannya. Bukan tatapan tajam nan mengerikan seperti ini yang dia inginkan.
   “Ibu dengerin Becca. Ibu jangan ngerokok lagi ya!” mohon Becca. Gadis itu berlutut di samping Wulan sambil berusaha merebut rokok dari tangan wanita itu.
    Wulan menghembuskan asap dari mulutnya. “Uhk ... uhk ... mana uang kamu!” bentaknya kemudian. Wanita itu menepis tangan Becca lalu mendorong anak gadisnya kasar.
  Tubuh Becca terhuyung ke belakang hingga akhirnya jatuh terduduk di lantai. Kedua tangannya ia gunakan untuk menyangga tubuh. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya selain hanya tetes bening yang meluncur membasahi pipi.
   “Mana uang kamu? Jangan mewek saja kamu anak cengeng!” hardik Wulan. Wanita itu berdiri, menarik bagian bawah mini dress hitamnya lalu meletakkan rokok di asbak.
   “Dengar ya, merokok atau tidak itu bukan urusan kamu! Kamu itu anak kecil jangan sok menasehati Ibu!” bentak Wulan sambil mengacung-acungkan telunjuknya di depan wajah Becca. Wanita itu kemudian menarik dagu Becca hingga gadis itu berdiri.
    Isakan Becca mulai terdengar memilukan seiring dengan air matanya yang mengalir semakin deras. Tubuhnya gemetar. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya.
   “Ibu bilang jangan mewek, ya jangan mewek goblok! Sekarang mana uang kamu? Kasih ke Ibu cepat!” bentak Wulan. Tangan wanita itu beralih dari dagu ke rambut Becca. Dia tarik Rambut Becca kuat-kuat.
   ”Ahh! A ... ampun ... Bu sakit!” rintih Becca ketika rasa sakit bercampur panas menjalar di permukaan kulit kepala di bagian rambutnya yang dijambak Wulan.
   “Makanya kasih ke Ibu uangnya cepat!” Wulan melepaskan tangannya dari rambut Becca sekaligus mendorong kepala anak gadisnya itu dengan kasar. Tubuh Becca terhempas ke kursi tempat dia tadi melemparkan tas. Dengan tergesa gadis itu menggeledah tasnya berusaha menemukan uang yang dia simpan di dalam dompet. Sembari menunggu Becca yang sedang menmbongkar isi tas, Wulan mengambil dan menghisap lagi rokok yang tadi dia letakkan.
   “Ini untuk berobat Ibu.” Becca menyerahkan setumpuk uang ke hadapan ibunya. Campuran lembaran  lima puluh ribu dan seratus ribuan.
   “Uhk ... uhk ... sedikit sekali!” bentak Wulan setelah dia memperhatikan lembaran uang yang kini telah berada di tangannya. Jumlah lembaran itu lebih sedikit dari yang biasa Becca berikan. “Sisanya kamu ambil ya!” bentak Wulan lagi kali ini sambil menempelkan bagian rokok yang masih panas ke pipi Becca.
   “Ahh! Tidak Bu memang Becca cuma dapat itu kemarin sore,” jawab Becca lirih. Dia abaikan rasa panas dan perih yang merayap di permukaan kulit wajahnya. Hanya desisan kecil yang keluar dari mulutnya ketika rasa panas itu terasa seperti semakin menusuk ke dalam daging.
   Dengan kasar Wulan menyeret Becca menuju dapur. Becca tak melawan, lelehan air mata di pipinya masih terus mengalir. Wulan meraih pisau dapur lalu ditodongkannya bagian ujung pisau itu ke sudut bibir Becca.
   “Kalau sampai kamu bohong, Ibu nggak akan segan-segan merobek mulut kamu pakai ini,” kata Wulan sambil terus menekan ujung pisau.
   “Ampun … Bu. Sakit …,” rintih Becca menahan perih di sudut bibirnya. Pisau tajam itu rupanya berhasil menggores kulitnya.
   “Dasar cengeng!” Bentak wulan. Didorongnya tubuh Becca ke tembok. Pisau yang tadi dia pegang dilemparkannya keras ke lantai. Menghasilkan bunyi kelontang yang mengerikan.
   Tanpa berkata apa-apa lagi Wulan kemudian membalikkan badan, berjalan masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkan Becca yang sudah terduduk di lantai dengan wajah tertunduk dan lutut yang tertekuk. Tangisnya terurai lagi.
   Sejak kecil hubungan Becca dengan ibunya tidak pernah normal seperti ibu dan anak pada umumnya. Hari demi hari sejak Becca kecil hingga sekarang usianya sudah menginjak enam belas tahun, dia selalu tumbuh dalam bayang-bayang kebencian ibunya. Setiap kata kasar dan makian dari ibunya menimbulkan luka yang mendalam di hati Becca.
Namun semua itu tak mengurangi rasa sayang Becca pada ibunya. Karena hanya ibunya-lah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Dari kecil Becca tidak pernah bertemu ayahnya. Ibunya bilang ayahnya sudah meninggal karena kecelakaan saat dia masih berada di dalam kandungan.
   Becca kecil sering sekali bertanya tentang ayahnya. Pernah suatu hari Becca bertanya pada ibunya saat dia melihat seorang anak perempuan sedang digendong ayahnya berjalan lewat di depan rumah mereka.
   “Bu Ayah di mana? Becca mau digendong Ayah seperti itu Bu!” kata Becca kecil sambil menarik-narik ujung rok ibunya.
   Tanpa Becca duga Wulan menjawab pertanyaan Becca dengan bentakan yang membuat Becca tersentak kaget. “Ayah kamu sudah mati!” desis Wulan. Matanya melotot mengisyaratkan kemarahan yang menurut Becca begitu mengerikan.
   Kejadian itu sudah sangat lama. Waktu itu Becca masih berusia empat tahun. Sejak saat itu Becca tidak pernah lagi bertanya apapun tentang ayahnya pada Wulan. Sampai suatu hari ketika Becca berusia sepuluh tahun Wulan mengajaknya ke sebuah makam. Makam yang akhirnya Becca ketahui sebagai makam ayahnya.
  @@@

   Becca baru saja selesai belajar dan sedang membereskan buku pelajarannya saat dia mendengar suara ribut di depan rumah. Becca melirik jam dinding di kamarnya. Pukul delapan malam. Biasanya di jam-jam seperti ini Wulan sudah menghilang dari rumah, namun sekarang Becca justru mendengar suara teriakan ibunya itu di depan rumah. Dengan tergesa Becca kemudian berlari menuju sumber keributan meninggalkan beberapa bukunya yang masih tergeletak di lantai.
   “Tapi Becca nggak bersalah Lan, nggak seharusnya kamu seperti itu!” Becca melihat ibu Bayu berbicara pada ibunya. Wanita itu seperti sedang memberikan pengertian tentang sesuatu kepada ibunya. Entah apa yang mereka berdua perdebatkan.
   “Apa saja yang saya lakukan itu bukan urusan kamu!” Wulan membantah. Nada suaranya meninggi.
   “Ibu, Tante Diana, ada apa ini ribut-ribut?” tanya Becca sambil berjalan mendekat kepada dua orang itu. “Ibu mau kemana lagi? Ibu di rumah saja ya, udara malem nggak baik buat kesehatan Ibu.” Pandangan Becca terfokus pada ibunya. Dia menahan Wulan tapi wanita itu justru menghempaskan tangannya lantas berlalu pergi.
   Hampir setiap hari dan setiap malam Wulan selalu keluar rumah dengan pakaian minim dan necis ala ibu-ibu sosialita. Berangkat pagi, kadang siang atau petang hari. Pulang tengah malam atau dini hari, begitu seterusnya. Gaya hidup ibu Becca sangat tidak selaras dengan kondisi perekonomian keluarga yang sebenarnya.
   Becca selalu ingin ibunya menjadi ibu normal seperti Diana atau ibu teman-temannya yang lain. Berada di rumah dan menemani tidur malamnya. Tetapi semua itu hanya harapan kosong yang tak akan pernah terwujud. Kadang Becca merasa ibunya seperti mempunyai dunianya sendiri. Dunia di mana tak ada dia di dalamnya. 
   “Becca jangan sedih ya, mungkin ibu kamu lagi suntuk di rumah, sebentar lagi juga dia pulang,” kata Diana sambil mengelus pundak Becca mencoba menenangkan.
   “Memangnya tadi  Tante Diana sama Ibu lagi bahas apa sih? Sebut-sebut Becca salah, memangnya
Becca ada salah apa Tante? Terus Ibu kaya marah gitu ke Tante kenapa?” tanya Becca. Rasa penasarannya belum hilang. Bagaimana tidak? Selama bertetangga, baru kali ini Becca melihat mereka bersitegang seperti itu.
“Nggak, yang tadi itu nggak penting lupain aja, Tante salah ngomong makanya ibu kamu tersinggung dan marah sama Tante,” jawab Diana sambil tersenyum teduh.
   “Ma, ada apa sih tadi ribut-ribut?” Bayu muncul dari belakang Diana. Melompat-lompat turun dari teras rumahnya yang posisisnya memang lebih tinggi dari rumah sederhana yang ditempati Becca.
   “Nggak ada apa-apa, kepo aja kamu! Ini mau kemana udah rapi gini?” Diana memperhatikan penampilan anak lelakinya dari atas ke bawah. Rambut undercut-nya ditata rapi dengan gel. Kemeja flanel dan jins yang melekat di tubuh Bayu juga tampak sama rapinya. Sepertinya anak laki-lakinya itu memang sengaja bersiap untuk pergi ke suatu tempat. 
   “Kenapa sih, Ma? Ganteng ya? Anak Mama kan dari dulu emang ganteng,” kata Bayu cengengesan.
   “Dasar kamu ya! Yaudah Mama masuk dulu lah! Hati-hati kalau mau jalan!” ujar Diana sebelum akhirnya wanita itu masuk ke dalam rumah. Tak perlu dia tanyakan mau ke mana dan dengan siapa anaknya itu pergi. Pasti ke salah satu pusat keramaian di Semarang dan tentunya dengan Becca.
   “Malem Ca! Kita jalan yuk biar kamu nggak suntuk.” Bayu berjalan lebih dekat pada Becca.
   “Ke mana?” 
   “Ke mana aja,” jawab Bayu asal sambil cengengesan.
   “Ih, Bayu yang bener dong ke mana?” Becca mulai gemas melihat tingkah konyol sahabatnya itu.
   “Ke Kota Lama.”
   Becca memperhatikan penampilannya sendiri. Ragu-ragu dia melirik kaos dan celana pendek yang menempel di badannya.
   “Aku ganti baju dulu tapi ya.” Becca segera masuk ke dalam rumahnya setelah mendapat anggukan  tanda persetujuan dari Bayu.
   Tak lama kemudian Becca sudah muncul lagi dengan penampilannya yang sudah berubah. Blouse lengan panjang berwarna tosca dan celana jeans membuat penampilannya terkesan casual tapi rapi, bandana yang menghiasi rambutnya mempermanis penampilannya.
   “Pergi ke pasar beli lemon, yuk kita kemon.” Bayu menarik tangan Becca mengajak gadis itu untuk masuk ke dalam mobil hitamnya.
   Aroma Vanilla dan kayu manis yang menguar dari tubuh Bayu tercium begitu jelas di hidung Becca ketika gadis itu merapatkan langkahnya di sisi cowok itu. Entah mengapa Becca merasa kalau setiap kali mereka berdua jalan bersama, Bayu selalu tampil sempurna seolah mereka berdua adalah pasangan kekasih yang sedang akan berkencan. Padahal mereka adalah teman dekat dari balita.
   Ya, Becca sudah dekat dengan Bayu dan keluarganya sejak kecil. Becca bahkan lebih merasakan kedamaian saat berbicara atau bersama dengan mamanya Bayu daripada dengan ibunya sendiri. Sejak kecil Bayu dan Becca sering  menghabiskan waktu untuk bermain bersama. Dari taman kanak-kanak hingga sekarang mereka selalu satu sekolah. Becca sudah menganggap Bayu seperti kakaknya sendiri.
   Becca dan Bayu menempuh perjalanan selama dua puluh menit hinga akhirnya tiba di kawasan Kota Lama. Becca selalu menyukai tempat ini. Satu dari sekian banyak tempat yang membuat Semarang tampak bersahaja. Gedung Marba, Gereja Blenduk, bangunan gedung-gedung tua itu terlihat tetap begitu kokoh dan mengagumkan. Seperti tak lekang dimakan waktu. Becca bisa merasakan atmosfer Belanda yang begitu kental hanya dengan memandangi gedung-gedung itu.
   ”Kita ke sana yuk Ca.” Bayu menunjuk sebuah taman teduh di samping Gereja Blenduk.
   Becca menjawab dengan anggukan. 
   Taman Srigunting tampak teduh di siang hari. Di malam hari taman ini tampak indah dengan lampu warna-warni yang menghiasi pohon-pohon besar. Becca dan Bayu duduk di bangku yang ada di bawah salah satu pohon.
  “Kamu kenapa sih Ca, nggak kaya biasanya?” Bayu akhirnya mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi mengganjal di benaknya. Biasanya Becca selalu terlihat riang saat dia ajak jalan, apalagi kalau malam hari begini. Tapi sekarang gadis itu terlihat lebih banyak diam. Seperti sedang memikirkan sesuatu.
   “Nggak ada apa-apa kok,” jawab Becca singkat. Pandangannya terus tertuju ke atas. Ke langit cerah yang dihiasi bulan dan begitu banyak bintang.
   “Bohong! Orang keliatan banget kamu kaya orang galau gitu! Galauin aku ya? Tenang aja Ca, aku gak bakal ke mana-mana kok, aku tetep bakal jadi sahabat terbaik kamu,” celoteh Bayu. Dia mengakhiri candaannya yang garing itu dengan tawa garing juga. Susah membuat Becca tersenyum ceria kalau aura wajahnya sudah suram begitu.
   Lama menunggu, tak ada jawaban juga yang keluar dari mulut Becca mereka terdiam selama beberapa menit.
   “Yaudah lah kalo kamu nggak mau cerita. Kita balik pulang aja,” ujar Bayu berlagak seperti orang ngambek.
   Aktingnya itu berhasil membuat Becca berubah pikiran. Gadis itu menghela napas berat sebelum akhirnya bercerita, “Biasa lah tadi itu aku ngeliat Ibu ngerokok padahal kan dia lagi sakit gitu, aku coba ngelarang tapi Ibu malah marah-marah. Aku capek Yu.” Percuma saja dia coba menyembunyikan semua dari Bayu. Selama ini cowok itu hampir selalu bisa membaca suasana hatinya.
   Bayu memperhatikan wajah sendu Becca saat gadis itu bercerita. Bayu tahu benar gadis itu menyimpan luka yang teramat dalam di hatinya. Dari mata Becca yang berkaca-kaca, Bayu tahu kalau gadis itu sedang berusaha menahan tangis.
   “Kadang aku mikir kalau kehadiran aku nggak pernah diinginkan, apa jangan-jangan aku anak haram?” Becca melanjutkan ceritanya, kali ini pandangannya tertuju pada Bayu. Kalimat bernada sendu seperti ini yang selalu membuat Bayu ingin membawa Becca ke dalam dekapannya. Agar sedikit saja kerapuhan dan kesendirian yang bersemayam pada diri gadis itu bisa luntur. Namun Bayu tak punya hak untuk melakukan itu.
   “Kamu ngomong apa sih Ca! Semua bayi terlahir di dunia ini dalam keadaan suci, nggak ada yang namanya anak haram, yang haram itu perbuatan orang tuanya. Lagian kamu kan punya ayah. Berhenti deh mikir yang aneh-aneh,” kata Bayu sambil merapikan beberapa helai rambut Becca yang menutupi wajah karena terbawa angin.
“Nih, daripada galau mending kamu liat itu,” kata Bayu lagi sambil menunjuk langit, tepatnya pada sebuah bulan yang berbentuk seperti celurit. 
   Becca adalah spesies selenophile. Dia mengagumi bulan. Dari semua bentuk bulan, Becca paling suka saat satelit bumi itu menampakkan wujud utuhnya. Bulan purnama. Dan Bayu tahu betul tentang itu.  
   “Cantik ya Yu bulannya!” seru Becca ketika pandangannya tertuju ke langit. Senyumnya seketika itu juga terbit.
   “Cantikan kamu kali!” kata Bayu sambil mengusap-usap kepala Becca bagian atas. Ada kekaguman yang tersirat di wajah Bayu ketika dia memandang senyum Becca. Senyum itu adalah goresan lukisan indah yang selalu ingin dia jaga.
  
@@@
   Becca sudah terbiasa bangun subuh dan memasak sejak dia duduk di bangku kelas satu SMP. Sejak ibunya mulai menderita penyakit TBC. Awalnya Becca merasa kerepotan tetapi akhirnya dia mulai terbiasa setelah belajar memasak dari Diana.
   Pagi ini Becca sudah selesai menyiapkan semuanya. Sudah mandi, sudah mengenakan seragam juga. Dan seperti biasa, meskipun ibunya selalu menolak saat diajak makan bersama, Becca selalu meminta ibunya untuk bergabung dengannya. Becca berharap suatu hari tercipta kehangatan antara dia dan ibunya di meja makan. Berbicara dan tertawa bersama. Sesuatu yang selama ini hanya hidup dalam khayalan Becca. 
   “Ibu … Ibu di mana? Kita sarapan bareng yuk.” Becca berjalan dari arah dapur menuju kamar ibunya. Kamar sempit itu tampak berantakan. Seprainya memang tampak rapi yang tidak sedap dipandang mata adalah kertas-kertas yang berceceran di lantai dan di atas ranjang. Becca berjongkok, mengambil satu lembar kertas kemudian dibacanya tulisan di kertas itu.
   Kamu di mana? Datanglah malam ini. Datanglah seperti apa yang pernah kamu janjikan. Sekian lama aku menyimpan rindu ini di dada tanpa kehadiranmu menemani hari-hariku. Seandainya engkau ada di sini tentulah bisa aku curahkan dengan mudah rasa rindu yang teramat sesak ini.
   “Berani-beraninya kamu masuk kamar Ibu! Keluar kamu Becca!” belum sempat Becca membaca semua tulisan yang ada pada kertas tadi ibunya sudah datang dan menyambar kertas itu dari tangannya.
   “Keluar Becca!” bentak Wulan  lagi sambil menarik tangan Becca kasar.
   “Mm ... maaf, Bu Becca cuma mau ngerapihin kamar Ibu,” kata Becca ketika dia telah berada di depan kamar Wulan. Tubuhnya gemetar karena kaget dan takut. Kepalanya tertunduk dalam.
   “Harus berapa kali Ibu bilang sama kamu hah! Jangan sembarangan masuk kamar Ibu! Kamu itu punya penyakit tolol jangan dipelihara kenapa sih!” teriak Wulan sambil membanting pintu kamarnya hingga tertutup sempurna.
   Dari kecil Becca tak pernah diizinkan masuk ke kamar Wulan. Bahkan ketika menyapu rumah Becca juga tak pernah menyentuh bagian ruang kamar ibunya. Wulan tak pernah memberitahu alasan apapun pada Becca. Tanda tanya pada diri Becca semakin lama semakin menggumpal. Dan setiap kali Wulan berhasil memergoki Becca masuk ke dalam kamarnya selalu makian dan tindakan kasar seperti tadi itu yang dia berikan.
   Becca  berusaha menahan air matanya yang sudah memenuhi kelopak mata agar tidak jatuh saat dia sudah duduk di meja makan. Namun akhirnya beberapa detik kemudian cairan bening itu luruh juga membasahi pipinya. Becca berusaha memasukkan sendok berisi nasi ke dalam mulutnya tetapi rahang dan giginya tak juga bergerak untuk mengunyah. Nafsu makannya sudah menguap. Tanpa berniat melanjutkan sarapan, Becca segera melangkahkan kaki ke luar rumah setelah sempat membereskan meja makan
   Jalanan di depan rumah Becca sudah mulai padat oleh mobil dan motor ketika gadis itu tengah menunggu bus sekolah yang biasanya dia tumpangi. Pemandangan seperti ini sudah biasa Becca lihat setiap pagi. Pemandangan yang membuat Semarang tak kalah padat dan sibuk dengan Jakarta.
    “Bayuu! Nggak lucu tau lepasin nggak!” teriak Becca saat dia merasakan dua telapak tangan menutupi matanya dari belakang.
“Yah padahal aku mau kasih surprise buat kamu,” kata Bayu yang sudah melepaskan tangannya.
   Bayu memasang tampang seperti orang sebal mendengar jawaban Becca. Tidak salah kalau Becca sampai hafal dengan perpaduan aroma vanilla dan kayu manis dari tubuh Bayu. Sudah sejak SMP gadis itu mengenali aroma itu darinya.
   Becca dan Bayu segera naik ke bus saat kendaraan yang dari tadi sudah mereka tunggu itu berhenti tepat di depan mereka. Bus itu sudah hampir penuh. Bayu duduk di bangku panjang paling belakang sedangkan Becca duduk di samping seorang anak laki-laki yang tak lain adalah Ranma pacarnya.
    Bus sudah kembali berjalan. Becca sedang intens memandangi Ranma yang sedang sibuk menggoreskan pensilnya di atas kertas gambar. Sesekali Becca memajukan wajahnya mendekati wajah Ranma lalu mundur lagi ke belakang, namun Ranma tetap fokus. Mata tajam, alis tebal dan rahang tegasnya adalah perpaduan sempurna. Ukiran indah Sang Maha Kuasa yang selalu ingin Becca lihat setiap hari. 
   “Serius banget sih, gambar apaan?” tanya Becca sambil menarik tutup kepala hoodie abu-abu yang dikenakan Ranma. Gemas juga gadis itu akhirnnya. Sudah beberapa menit Becca duduk di samping Ranma tapi cowok itu acuh saja. Seolah kehadiran Becca tak mempengaruhi keseriusannya menggambar.
  Tanpa berbicara Ranma lantas menyodorkan gambar vignette yang baru separuh jadi itu ke hadapan Becca. Becca membalas dengan menganggukkan kepalanya pelan. Gadis itu lalu sibuk memperhatikan ponselnya dan membiarkan Ranma larut dalam aktifitasnya.
   “Kenapa diem? Biasanya juga rame, ngambek?” tanya Ranma yang sudah memasukkan pensil dan kertas gambarnya. Dia heran melihat Becca yang begitu cepat menyerah menggodanya. Biasanya Becca baru akan diam dan berhenti usil sampai Ranma lelah dan memasukkan peralatan gambarnya, tapi sekarang Becca justru sudah anteng dulu sebelum berhasil membuat Ranma berhenti.
   “Nggak, ini lagi baca berita di internet,”  jawab Becca tanpa menoleh pada Ranma.
   “Baca berita apa kok ekspresinya gitu banget sih?” Ranma mulai penasaran melihat ekspresi aneh Becca yang terlihat seperti orang jijik. Cowok itu kemudian mendekatkan wajahnya untuk bisa melihat ke ponsel Becca.
   “Ini ada anak bupati, dia tuh masih kelas sebelas tapi terpaksa putus sekolah, drop out karena hamil duluan sama pacarnya yang kakak kelas dia,” jawab Becca sambil terus menggulir layar ponsel.
   “Terus ekspresi kamu kenapa gitu banget?”
   “Ya jijik aja,” jawab Becca. Gadis itu menurunkan ponsel. Pandangannya beralih pada Ranma. “Masak masih sekolah bukannya belajar yang rajin, sekolah yang bener biar pinter malah ngelakuin hal harusnya cuma dilakuin pasangan suami-istri.”
   Ranma hanya tersenyum tipis menanggapi komentar Becca. Cowok itu sudah sering mendengar hal-hal seperti itu. Kerapkali nafsu disalahartikan sebagai cinta. Karena memang hanya ada membran tipis dan rapuh yang membatasi keduanya. Semakin nafsu dibiarkan merajalela maka cinta akan tenggelam di dalamnya.
   “Hidup ini emang ironis ya! Anak orang kaya, berkecukupan, bisa sekolah sampai bangku kuliah tapi malah disia-siain, sedangkan di luar sana banyak anak yang mati-matian berusaha cari duit dengan jualan koran atau bahkan ngamen biar nggak putus sekolah karena orangtuanya nggak mampu biayain sekolah,” kata Becca gemas. Pandangannya sudah tertuju pada ponsel lagi.
   “Kebanyakan dari kita emang kaya gitu Ca, nggak menyadari segala kelebihan yang sudah ada di genggaman terus baru nyesel ketika semua kelebihan itu diambil Tuhan.”
   “Ciyee Mas cool sok bijak ih!” kata Becca sambil memencet hidung mancung Ranma. Ranma menepis tangan Becca. Cowok itu lalu menyandarkan kepalanya di pundak Becca. Menghirup aroma citrus dari tubuh Becca. Kebiasaan yang selalu membuatnya nyaman.
@@@
   Sudah sekitar sepuluh menit Ranma dan Becca duduk di bangku panjang yang berada di depan kelas XI-IIS 1. Bayu sudah berjalan ke kelas XII-BDB 4 sejak turun dari bus tadi. Sedangkan Ranma masih betah saja berdiam diri di samping Becca sambil menyelesaikan lukisan vignette-nya. Padahal jam pelajaran pertama sudah akan dimulai beberapa menit lagi.
   “Kamu nggak ke kelas?”
   “Diusir nih,” balas Ranma tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari kertas di hadapannya.
   “Kalo kamu mau ikut pelajaran di kelas aku juga nggak apa-apa, Paling ntar kamu disuruh perkenalan aja karena dikira murid baru.”
    Ranma tersenyum tipis lalu memasukkan piranti gambarnya ke dalam tas. “Yaudah aku ke kelas dulu ya,” pamitnya kemudian.
   Ranma berdiri namun cowok itu tak lantas melangkahkan kaki karena dia merasakan telapak tangan Becca menempel pada telapak tangannya, seolah menahan dirinya. Saat menoleh, Ranma melihat Becca tersenyum padanya. Gadis itu lalu ikut berdiri. Detik berikutnya Becca menempelkan bibirnya di punggung tangan Ranma membuat pacarnya itu akhirnya melakukan hal yang sama. Mengecup punggung tangan Becca.
   Hanya beberapa detik kejadian itu berlangsung. Ranma kemudian segera berjalan menuju kelas X-MIA 3 karena bel masuk sudah berbunyi.  
    Becca membalikkan badan lalu melangkah ke dalam kelas sambil bersenandung setelah Ranma menghilang dari pandangannya. “Masih terngiang … ditelingaku ….” Becca menyanyikan sebaris lagu itu dengan cengkok yang sempurna. Tapi belum sempat menyelesaikan satu bait, aktivitasnya itu terhenti oleh tepukan Elsa di pundaknya.
   “Ca ... Ca kamu dipanggil Pak Juan, ditunggu di ruang OSIS katanya.” Gadis yang sudah berteman dengan  Becca sejak kelas satu SMP itu napasnya terputus-putus seperti habis berlari.
   “Pak Juan?” tanya Becca memastikan.
   Elsa membalas pertanyaan Becca itu dengan acungan jempol. Fokusnya sudah teralih pada kamera depan ponsel membuat gadis itu tak bisa menjawab pertanyaan Becca dengan kata-kata. Teman Becca satu ini memang sangat hobi selfie.
   Tak perlu menunggu lama Becca segera berjalan cepat menuju ruang OSIS.
   Tak pernah Becca bayangkan sebelumnya kalau ruang terfavorit di sekolahnya akan menjadi ruang yang paling mengerikan pagi hari ini. Ya, ruang OSIS itu berubah menjadi seperti ruang persidangan ketika Becca masuk. Semua kursi di sana penuh karena seluruh pengurus OSIS telah berkumpul. Mereka semua  menatap Becca dengan penuh tanda tanya. Pak juan duduk di salah satunya. Beliau menatap Becca penuh penghakiman. Tatapan matanya tajam dan dingin. Becca tak tahu mengapa mereka semua berkumpul di sini. Tak tahu juga mengapa Pak Juan menatapnya dengan tatapan seperti itu, namun yang pasti ini bukan pertanda baik.
   “Bapak memanggil saya? Ada apa pak?” Becca bertanya pada Pak Juan ketika langkahnya sudah terhenti di dekat meja yang letaknya berada di tengah kursi-kursi.
   “Duduk Becca,” ujar Pak Juan. Tatapan matanya tak berubah, bahkan lebih tajam sekarang.
    Becca menuruti kata-kata Pak Juan. Gadis itu lalu duduk tepat di samping Salsa.
   “Kamu sudah keterlaluan Becca, sebagai ketua OSIS kamu tidak bertanggung jawab! Berkali-kali kamu tidak mengikuti rapat OSIS ternyata kamu bolos!” kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Pak Juan membuat Becca mengerutkan keningnya bingung.
   Di sekolah Becca rapat OSIS diadakan ketika jam pelajaran telah selesai agar tak mengganggu aktivitas belajar mengajar. Namun selama ini Becca tak pernah mendengar ada pemberitahuan tentang rapat OSIS. “Maksud Bapak apa?” tanya Becca. Dia sengaja memastikan kalau telinganya tak salah dengar. Atau mungkin Pak Juan yang salah bicara.
   “Belum melihat grup WhatsApp sama sekali ya kamu?” kata Pak Juan sinis sambil menunjukkan ponselnya pada Becca. Becca terbelalak ketika melihat beberapa foto yang ada di grup. Ada fotonya dengan pakaian show-nya itu tengah turun dari sebuah mobil. Di foto yang lain Becca tampak berdiri di depan mobil sambil tersenyum pada seseorang di dalamnya. Semua foto itu diambil dari samping.
    “Di sekolah ini banyak sekali yang menginginkan untuk berada di posisi kamu Becca. Kamu tidak malu apa pada mereka semua?” kata Pak Juan sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh pengurus OSIS yang duduk di kursinya masing-masing. “Para anak buah kamu itu disiplin. Mereka selalu datang setiap kali ada rapat OSIS. Sedangkan kamu? Ketua OSIS malah mangkir saja. Harusnya kamu bisa membedakan mana yang penting dan tidak Becca. Urusan pekerjaan kamu itu jangan sampai mengganggu urusan sekolah!”
   Becca tidak bisa terima dengan apa yang Pak Juan tuduhkan. Seandainya Becca mendengar tentang rapat OSIS dia pasti akan hadir.
   “Tapi Pak, saya—” Becca mencoba menyanggah namun belum sempat dia meneruskan kalimat Pak Juan sudah lebih dulu menyahut.
   “Sudah Becca! Bapak tidak mau dengar lagi alasan kamu!” bentak Pak Juan. Wajah beliau berubah merah padam membuat Becca tak berani membantah lagi.
   “Foto itu adalah bukti kalau kamu lebih memilih pekerjaan nggak jelas kamu itu daripada kepentingan sekolah!” bentak Pak Juan lagi. Pembina OSIS satu ini memang terkenal paling tidak bisa toleransi dengan pengurus OSIS yang teledor dalam menjalankan tugasnya.
   “Kamu dihukum, mulai hari ini jabatan kamu sebagai ketua OSIS akan digantikan Salsa dan kamu yang akan menjadi wakilnya, ” kata Pak Juan sambil menunjuk Becca dan Salsa bergantian.
Becca tidak rela mendengar keputusan itu. Salsa pasti akan sok berkuasa dan mengatur segalanya. Menjadi wakil ketua OSIS saja Salsa selalu melawan Becca apalagi menjadi ketua. Bisa dipastikan Salsa pasti tak akan menganggap Becca ada.
   “Tapi Pak ... dengarkan dulu penjelasan saya Pak!” Becca masih berusaha menjelaskan berharap Pak Juan mau mendengarnya.
    Namun harapan Becca itu hanya tinggal harapan, Pak Juan tetap kukuh pada keputusannya. “Tidak ada tapi-tapian Becca, keputusan saya tidak bisa diganggu gugat, sekarang kalian semua boleh kembali ke kelas,” kata Pak Juan.
   Tanpa menunggu seisi ruangan kosong Becca segera membalikkan badannya lalu berjalan cepat keluar menyusul Salsa yang sudah lebih dulu berjalan di depan.
   “Salsa tunggu!” teriak Becca sambil berlari mendekati Salsa. Becca tak perlu pusing untuk mengetahui siapa pengirim foto itu di grup WhatsApp, siapa lagi orang yang ingin menjatuhkannya kalau bukan Salsa?
   “Kamu ngomong apa sama Pak Juan?” tanya Becca saat dia sudah berdiri di depan Salsa.
   “Aku nggak ngomong apa-apa kok. Lagian foto-foto itu juga udah bisa jadi bukti yang cukup kan? Yang penting sekarang langkah aku untuk merebut kekuasaan dari tangan kamu udah mulai terbuka,” jawab Salsa tenang. Senyum licik terukir di bibirnya menggambarkan sebentuk kepuasan. 
      Dulu Becca dan Salsa satu SMP. Mereka bahkan sempat satu kelas waktu duduk di bangku kelas delapan. Meskipun tidak akrab tapi mereka pernah saling kenal juga saling sapa. Tapi perlakuan Salsa mulai berubah drastis pada Becca sejak minggu-minggu awal mereka masuk SMA. Segala macam cara Salsa lakukan untuk menyerang Becca, menyaingi Becca dan berusaha ingin merebut apapun yang Becca miliki. Seperti terang-terangan mendekati Ranma, juga persaingan ketua dan wakil ketua OSIS ini—yang tak pernah Becca tahu kapan berakhirnya.
   Becca tahu bagi Salsa kekuasaan adalah segalanya. Becca juga tahu menjadi pemimpin adalah hal yang paling Salsa inginkan. Namun keinginan itu kandas lantaran Becca-lah yang akhirnya terpilih menjadi ketua OSIS dan Salsa harus puas dengan posisinya sebagai wakil ketua. Posisi yang selalu berada di bawah bayang-bayang Becca. 
   Becca tidak akan terima begitu saja semua ini. Baginya posisi ketua OSIS adalah hak yang memang pantas dia dapatkan setelah semua perjuangan kampanye ala partai politik yang dia lakukan. Peperangan yang akhirnya berujung kemenangan di tangannya. Orang-orang selalu bilang kalau kekuasaan bukanlah segalanya. Namun faktanya kekuasaan bisa mengubah banyak hal. Yang bukan siapa-siapa bisa sangat dikenal dan dihargai. Yang tadinya hina bisa sangat dipuja.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang