part 23 a

2.4K 35 7
                                    

"HAHHHH!!!!!"

Pria itu terbagun dengan kekagetan yang tak terkira. Dia merasa seperti mengalami suatu hal yang cukup menakutkan. Napasnya masih terengah. Dan karena kekagetan itu, dadanya terasa sakit. Tangan kanannya memegang dada kirinya. Sedangkan tangan kirinya masih mencengkram erat selimut yang tadi menutupi tubuhnya.

Sakit. Tapi rasa sakit kali ini terasa berbeda dari yang biasanya. Kali ini, dia merasakan sesuatu. Perasaan yang terus berputar dalam benaknya. Membawa ketidak nyamanan padanya. Apakah itu karena mimpi yang baru saja dia alami? Atau jangan-jangan..,

**********

Aku terduduk lemah di depan ruang UGD. Kejadian ini terulang lagi. Parahnya adalah, kali ini aku harus menunggu seorang diri. Tak ada teman yang menemani seperti saat aku menunggu Riri. Kini aku tahu, kenapa Fred tak mau sekalipun menginjakkan kakinya di rumah sakit. Ketidakpastian ini, ketakutan dan kegelisahan ini terasa terlalu menyiksa.

"Gimana kondisi mereka?" tanya Billy yang baru saja tiba.

"Nate udah dipindah ke kamar rawat. Lukanya nggak terlalu parah."

"Darrel?" Aku tak mampu menjawab.

"Darrel gimana, Yo?"

"Koma." Aku mengatakannya dengan bergetar. Rasanya sakit sekali mengatakan itu. Darrel yang biasanya selalu berada di sini. Menunggui dengan setia jika ada salah satu dari aku, Billy atau bahkan Darren (tentu saja tanpa sepengetahuan Darren sendiri) yang sakit. Kini, dia yang harus ada di dalam. Bernegosiasi dengan malaikat maut agar masanya diperpanjang.

Apakah ini ada hubungannya dengan peneror biadab itu? Kalau benar.. astaga!! Dengan hanya dengan memikirkan kemungkinan itu saja, darahku langsung menggelegak karena marah. Aku langsung berlari ke kamar rawat Nate. Aku harus menanyakan seuatu.

"Nate.. Are you awake?"

"Iya.. Why? Is he alright?"

"I want to ask you something.. Apa yang terjadi sebelum lu berdua kecelakaan?"

Nate terlihat seperti mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya dia masih setengah sadar. Tapi aku tetap menunggu jawabannya. Rasanya ada benang merah antara tiap kejadian yang terjadi belakangan ini. Kecuali dengan apa yang terjadi pada Riri tentu saja.

"Sebelum kecelakaan kita masih sempet makan siang.. Abis itu, dia mau nganterin gue pulang.. Tinggal beberapa belokan lagi sebelum gang kontrakan gue, tiba-tiba dia bilang kita harus muter-muter dulu.. Ada yang ngikutin.. Dan setelah gue lihat dari kaca spion, emang ada yang ngikutin.. Motor.. kaya' motor bebek.." Aku mendengarkannya dengan seksama. Berusaha menyerap informasi yang mungkin saja bisa berguna.

"Tapi pas kak Darrel nyoba buat ngilangin jejak dengan ngebut ke daerah yang ramai, tahu- tahu di depan ada mobil yang melintas.. Kalau nggak salah avanza hitam.. Kita berdua mental dari motor.. Helm kak Darrel lepas.. Dan gue, entah gimana caranya gue juga nggak tahu, bisa selamat dengan luka yang nggak seberapa ini.."

"Lu tahu berapa plat nomor mobil itu?"

Dia kembali mengerutkan dahinya, berpikir. Mengingat-ingat plat nomor mobil pembuat naas itu. Cukup lama dia mengingat-ingatnya.

"Kaya'nya gue nggak lihat plat mobil itu.. Emmm... Nggak ada plat nomornya, kak.. Iya.. Nggak ada plat nomornya.." Kini aku yang mengerutkan kening. Bagaimana bisa sebuah mobil tak berplat nomor bisa berkeliaran bebas di jalanan ibu kota.

"Masa iya nggak ada plat nomornya?"

"Trust her. Karena di mobil itu emang nggak ada plat nomornya. Avanza hitam, ada paint brush cobra merah-nya, right?" Nate mengangguk membenarkan.

Music in Our LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang