4. Awal Sebenarnya

62 10 1
                                    

Aku sedang mengunyah apel di mulutku saat tiba-tiba kak Ernia masuk ke kamarku.

"Hei adik sial, OSIS sekolah datang tuh buat ngejenguk. Tapi Elfa doang sih"

"Suruh aja masuk kak"

"Kau yakin? Atau kakak suruh pulang saja?"

" Kakak terlalu khawatir" ucapku. Kak Ernia segera berbalik. Ini sudah hari ketiga aku izin dari sekolah.

"Siang Rivelyn! Jadi, bagaimana kabarmu? Kakak kelas si pembuat onarnya sudah kami urus loh. Oh iya, ini aku ada bawa roti pisang kesukaanmu!" Elfa langsung memasuki kamarku dan menghapus aura tenang di dalamnya.

Aku tersenyum tipis. Aku memang sebelumnya belum pernah ngobrol langsung dengannya, tapi sepertinya dia tipe orang yang mudah bersosialisasi.

"Ah iya terima kasih. Kondisiku makin membaik. Sepertinya besok aku sudah boleh hadir ke sekolah"

"HAH? Regenerasi tubuhmu cepat juga ternyata. Aku iri! 3 hari luka yang separah itu langsung sembuh, aku harus tau rahasianya!"

"Aku juga sebenarnya terkejut. Aku bangga dengan diriku sendiri nih"

"Kata-kata itu bisa juga ya keluar dari mulutmu" Elfa terkikik geli. Dia tidak buruk juga.

"Tapi OSIS hebat juga ya bisa sampai tahu roti kesukaanku" Aku sengaja memangcing info darinya. Walau aku tidak begitu yakin apa bisa semudah itu mendapatkannya. Mereka itu bukan kumpulan bocah-bocah bodoh.

"Tau dong. Semua murid di SMA kitakan spesial, kewajiban kami untuk harus memberikan perhatian yang lebih!" Ucap Elfa berapi-api.

Diam-diam aku menghela nafas kecewa. Ini tidak akan semudah yang kubayangkan.
.
.
.
*
.
.
.
Aku merasakan denyutan di kepalaku semakin nyeri. Sore tadi saat aku baru bangun dari tidur siangku, aku mulai merasa pusing di kepala ku. Kak Ernia segera pergi membeli obat dan belum kembali sampai sekarang.

Tunggu, apa ini karena roti yang diberikan Elfa tadi? Sebentar, Aku kan belum memakannya. Aku mulai merasa bodoh

Aku berjalan perlahan ke arah ruang tamu. Mungkin ini gejala demam. Aku segera melangkah menuju ke arah jam peninggalan kedua orangtua kami. Seingatku ada obat demam di atas jam antik itu.

Aku menjulurkan tanganku ke atas jam tersebut. Kak Ernia memang lebih tinggi dariku, jadi dia mudah saja menaruh obat itu di atas jam ding dong ini.

Aku berjinjit sambil menahan pening di kepalaku. Sial...

PRAAAANG

Jam setinggi hampir dua meter itu rubuh bersamaan dengan tubuhku. Kacanya pecah kemana-mana.

Ssshhhhhhh

"Uhuk uhuk!" Pandanganku mulai mengabur, sepertinya aku mendengar suara mendesis seperti tabung gas yang bocor.

"Uhuk uhuk. Ugh, hoekh!" Gawat, sebenarnya ada apa ini? Dari dalam jam tersebut muncul gas yang terasa seperti serbuk yang beterbangan. Serbuk hitam pekat. Aku meratapi nasibku, nafasku jadi terasa berat dan aku bahkan tiba-tiba batuk darah seperti ini.

"Siapapun, siapapun yang mendapatkan ini, kekuatan terakhir kami. Tolong lindungi anak-anak kami dan selamatkan dia."

"Siapa? Siapa disana?" Mataku semakin mengabut. Samar-samar aku mendengar suara seseorang berbicara

"Tolong selamatkan dia, Aft..."

Dan semuanya menjadi gelap.
.
.
*
.
.
Mia tersenyum lebar di samping tempat tidurku. Rencanaku untuk masuk sekolah di hari keempat gagal. Kak Ernia bilang, setidaknya luka tergores akibat pecahan kaca jam antik kemarin itu minimal harus kering dulu sebelum aku kembali ke sekolah.

"Kau belum ditakdirkan untuk bisa memandangi keindahan wajah Axellone, Lyn."

"Hah? Apa?"

"Kau harus tau, dia itu sempurna. Saat pelajaran TIK tadi wajah seriusnya saat melihat komputer menawan sekali" Mia mulai tertawa-tawa aneh. Dia itu mengerikan disaat harus diperhadapkan dengan cowok-cowok 'tipenya'

"Aku juga tidak berniat menemuinya"

"Kau bohong! Aku tau kau sengaja menyusun semua rencanamu ini supaya mendapat libur sampai hari ini karena besok ada pelajaran penjas!"

"Yah aku memang suka pelajaran penjas sih, tapi tidak mungkin kan aku sampai merencanakan ini semua. Aku mulai ngeri denganmu"

"Itu dia niat terselubung mu. Kau ingin hadir besok karena ingin melihat tubuh atletis Axellone kan?!"

"Hah, aku jadi ingin menjadi seorang laki-laki. Ternyata mendapatkan hati orang-orang seperti mu mudah sekali ya. Andai aku seorang lelaki aku pasti sudah populer sekarang"

"Ahaha, kau ini. Jadi perempuan saja belum mahir tapi sudah ingin jadi lelaki. Awas kalau sampai terkabul bahaya loh"

"Malah bagus kan?" Ucapku santai

"Kau ini..."

Tanpa aba-aba, Mia menggelitik pinggang ku. Aku tertawa sampai hampir menangis karena tidak tahan. Untung dia sadar dengan kondisi ku dan langsung menghentikannya.

"Huffft, makanya punya dada yang besar sedikit dong" Mia menepuk dadaku sedikit keras. "Eh?" tiba-tiba dahi Mia mengerut.

"Dasar gila! Mesum! Kalau mau pegang, pegang punyamu sendiri! Ini namanya pelecehan seksual! Aku tidak sudi dipegang-pegang perempuan!" Aku mengutuk dengan segala macam kosa kata. Geli tau!

"Dadamu terasa benar-benar datar ya"

"Hah?"

Aku menarik selimutku sampai bahu dan meraba dadaku. Seketika aku membeku. Aku yakin dadaku tidak serata ini. Ini benar-benar datar seperti dada lelaki

"Rivelyn, rambutmu banyak rontok"

Aku segera melihat bantalku. Aku kaget, sepertinya semua rambutku ada di sana.

"Mau ku panggilkan kak Ernia?"

"Tidak perlu, aku mau istirahat saja"

"Kalau begitu aku pamit dulu. Jaga kesehatanmu yah Rivelyn"

"Terimakasih, tolong jangan beritahu kak Ernia"

Mia mengangguk dan pergi. Aku segera bangkit, menghadap cermin dan mulai memeriksa tubuhku. Aku tersadar, rambutku tidak rontok sepenuhnya. Lebih dari setengah panjangnya lepas dan menyisakan sisa rambut yang pendek.

Seperti potongan rambut lelaki

Aku terhentak. Aku segera mengibas-ngibaskan rambutku. Ternyata benar, rambutku hanya putus sebagian dan anehnya aku malah melihat wajah seorang lelaki yang mirip denganku di cermin.

Aku segera menyingkap kaos putihku dan melemparnya. Rasanya otakku ingin berhenti bekerja.

Siapa lelaki di pantulan cermin itu?

__bersambung__
Jangan lupa tinggalin jejak
vote & comment

AFTHARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang