12. Suka

36 3 6
                                    

"ARES, PASS!!"

Dengan cekatan aku melemparkan bola basket yang baru beberapa detik lalu menyambangi tanganku. Tomy (teman sekelas ku) menerima umpanan ku dengan lihai dan...

"Tim kuning 1 poin"

"Yeaaah!!!" Teriak kami kegirangan mendengar suara berat Pak Bear. Aku menunduk kelelahan, aku dulu pernah beberapa kali bermain basket dan aku benar-benar mengingat rasa letih saat itu. Yah, tidak jauh berbeda dengan sekarang hanya saja kali ini aku bisa bertahan lebih lama.

PRIIIIIIT

"HaaaaH" Aku menarik dan membuang nafasku kasar. Peluit Pak Bear berbunyi menandakan kuarter kedua telah usai. Ini yang dari tadi sudah ku nantikan. Break time.

Aku berjalan dengan lunglai ke arah bangku lapangan. Belum lagi bokong ku mendarat ke tempat yang seharusnya, aku merasakan seseorang dengan teganya memukul punggung ku tanpa main-main kerasnya.

"Ares, umpan mu tadi boleh juga" ucap Tomy girang sambil menyampirkan lengannya di bahu ku.

"Iya iya, tapi tolong lepaskan tangan mu. Ini be-"

"Yoo, Ares. Umpan dan block mu yang terbaik kali ini. Kecil begini kau bisa hebat juga ternyata" potong Joko sambil mengacak rambut ku.

Melihat kedua anggota tim ku lainnya yang terlihat ingin ikut dalam aksi kurang kerjaan mereka, aku segera melepas paksa tangan-tangan bau mereka (yah, kau tau seperti apa bau keringat).

"Aku serius, kalian berat" ungkap ku kesal. "Di kuarter selanjutnya aku pass" lanjut ku.

"Ini baru kuarter kedua" protes Tomy.

Aku menganggukkan kepala ku lalu mengambil posisi ternyaman untuk duduk. "Dan kalian bisa lihat kalau aku benar-benar sudah kelelahan" balasku. Sekilas pandangan ku mencari Axellone. Bagus, dia sedang fokus dengan tenis meja nya. Aku memang tidak suka jika dia mengawasi.

"Wah wah, sepertinya anak baru kita tidak terlalu sering berolahraga" sindir Dalis, anggota setimku yang lainnya. Joko terlihat setuju sambil menganggukkan kepalanya. Ketika mata kami bertemu dia mengeluarkan cengiran lebarnya.

"Terserah, apapun itu aku tidak ikut di kuarter selanjutnya" balasku malas.

PRIIIIIIT

"eh, udah mulai lagi bro. Panggilin Axellone gih, tadi dia cadangan tim kita" suruh Tomy yang dibalas anggukan Dalis sementara yang lainnya kembali ke lapangan

Aku mengelap keringatku dan membiarkan handuknya menggantung di atas kepala ku.

"Nih"

1 kata dan itu mampu membuat ku terlonjak kaget saat menyadari Emixandra tepat berada di sebelah ku sambil menyodorkan minuman padaku.

"Thanks" ucap ku sambil menyambar minuman dari tangannya.

"Oh iya, jangan panggil aku dengan nama Emixandra di depan umum. Panggil saja dengan nama Rivelyn" ucapnya santai. "Pulang sekolah nanti kau bisakan?"

"Aku tidak yakin" balasku setelah meneguk habis minuman di genggaman ku.

BUAAAK!

"HEI!" Ucapku spontan saat sebuah bola meluncur tepat di antara aku dan Emixandra.

"Melukai penonton itu pelanggaran!" Lanjut ku kesal. Beberapa pemain terlihat menahan tawa mereka. "Apanya yg lucu?" tanyaku lebih kepada diriku sendiri.

"Kau akan mengerti nanti" jawab Emixandra pelan sambil berusaha menahan senyum gelinya. "Teman mu itu terlalu polos untuk mengerti kesalahpahaman yang ia buat" tambahnya sambil pergi meninggalkan ku yang kebingungan.

Setelah kuarter ketiga dimulai, pak Bear membiarkan kami bermain sendiri di lapangan jadi selagi dia tidak ada disini kurasa aku bisa bersikap sedikit kurang ajar.

Aku mengambil bola basket dari sampingku lalu menatap kesal ke arah mereka. "Jadi, kalian ingin aku menendang bola manis ini ke muka siapa?"

Suara tawa pecah terdengar menggelegar di seluruh lapangan. "Serius, ada apa dengan kalian?!Bukankah peluit nya baru dibunyikan dan kalian langsung buat rusuh begini?!" tanyaku kesal.

"Bahkan dengan sepupunya sendiri ternyata dia tidak peduli ya, astaga perutku sakit." ucap Dalis di tengah tawanya.

Mendengar kata sepupu spontan aku melihat ke arah Axellone. Tunggu, apa maksud tatapan tajamnya itu?

Dirga, ketua kelas kami yang berada tidak jauh dari ku mendekati ku dan membisikkan sesuatu yang sukses membuat ku sejenak lupa caranya bernafas.

"Axellone suka sama Rivelyn"

_____________________________________

Author POV.
"Astaga, Ares. Kau benar-benar cocok dengan celemek. Kapan aku bisa punya pacar seperti mu?"

Rivelyn menghela nafasnya dengan berat sambil tetap membiarkan Silvi menggelayut manja pada lengannya. Di pelajaran prakarya mereka kali ini temanya adalah jajanan kaki lima jadi mereka memang harus bergumul dengan dapur.

"Cukup, Silvi. Kau mengganggu Ares. Pergi sana, urus pekerjaan mu!" Ucap Zirga, kembaran Dirga ketua kelas kami dengan kesal.

Silvi mengerucutkan bibirnya dengan kesal lalu pergi sambil menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal. "Seharusnya kau katakan saja kalau kau tidak nyaman" sambung Zirga.

"Yah, aku tidak terlalu merasa terganggu" balas Rivelyn. Zirga mendecak kesal lalu melanjutkan pekerjaannya.

Rivelyn memilih untuk tidak ambil pusing dan melanjutkan kegiatannya. Bagiannya bukan sesuatu yang amat susah untuk dikerjakan. Dia kebagian tugas membuat martabak asin.

"Tolong, bawang bombaynya" ucap Zirga. Rivelyn segera mengambil bawang bombay di sampingnya lalu melanjutkan pekerjaannya.

Rivelyn menatap sekelilingnya, sepertinya kelompok lain sudah hampir menyelesaikan bagian mereka. Tiap kelompok dibagi 5 orang dan untungnya dia tidak sekelompok dengan Axellone, Emixandra ataupun Mia.

"Eheem, Zirga" panggil Rivelyn

"Hmm?"

"Sepertinya kau tidak terlalu dekat dengan Silvi"

"Hah?" Pandangan Zirga sepenuhnya teralih pada Rivelyn.

Rivelyn melirik sekilas ke arah Zirga. Dia bukannya terlalu peduli dengan mereka. Setahunya mereka bertiga (termasuk Dirga) adalah teman masa kecil dan sayangnya Zirga hampir tidak pernah akur dengan Silvi. Rivelyn hanya mencoba membuat suatu pembicaraan agar ia bisa membaur dengan yang lainnya.

"Maksudku, caramu mengusir Silvi tadi agak kasar"

"Oh, dia memang selalu seperti itu. Jadi sudah sepantasnya dia harus didisiplinkan" balas Zirga sambil kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Aku tidak masalah kok"

Zirga melirik sekilas ke arah Rivelyn. "Maksudmu?"

"Beberapa anak perempuan memang mudah akrab dengan laki-laki. Jadi ku rasa kau tidak usah terlalu... Memaksanya" balasku cuek.

"Bisa tolong minta telurnya satu?" Tambahku.

Zirga mengambil telur di sampingnya. Belum sempat tanganku menggapainya ia menarik lagi tangannya.

"Ku rasa kau harus belajar bagaimana cara mengabaikan makanan milik orang lain. Ku pikir sepupu mu sudah mengajarkan mu dengan benar. Aku kecewa"

Rivelyn mengerutkan alisnya, "hah?"

Zirga meletakkan telurnya di atas meja dan melanjutkan pekerjaannya. Rivelyn terhenyak beberapa saat sampai kemudian dia mendapat makna yang tersembunyi dalam kalimat Zirga.

Bersambung

AFTHARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang