9. My Lovely Sister

64 7 4
                                    

"apa ini?"

Khaerin menatapku dengan tatapan malas. "Sebuah pena dan kertas putih" jawabnya. Seperti teringat akan sesuatu, ia melanjutkan kata-katanya. "Apa kau juga mau bilang kalau kau tidak tahu apa-apa tentang itu?"

Aku menatapnya tak percaya. Aku bahkan tidak tau harus mengatakan apa. Tadi, ia tiba-tiba mengajakku ke sebuah ruangan yang besarnya tidak perlu dijelaskan dan menyerahkan selembar kertas dengan pena sambil menyuruhku duduk.

Tapi harusnya ia tahu masalahnya! Pertama, ia hanya memberikan kertas dan pena tanpa menjelaskan aku harus melakukan apa dengan kedua benda ini. Kedua, kalaupun aku harus menuliskan sesuatu di dalam kertas ini, aku tidak akan nyaman menulis sambil terus diperhatikan dengan tatapan seolah-olah menilai ku. Dan ketiga, ada lebih dari seorang yang sedari tadi terus memperhatikan ku.

Semua manusia yang masih normal  juga tau ini bukan situasi yang nyaman. Kemana perginya otak cerdas para anggota OSIS yang selalu dibangga-banggakan itu?

"Riwayat hidupmu"

Aku menatap sang pemilik suara si muka datar lalu mengangguk mengerti. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Gabungan aura mereka berdua merupakan penyiksaan besar-besaran yang tidak manusiawi.

Aku menarik kertas itu ke hadapan ku. Setelah berpikir beberapa saat, aku menyerahkan kertas itu pada Khaerin.

Khaerin mengerutkan kedua alisnya lalu menatapku menuntut penjelasan, sedangkan Axellone masih terlihat datar-datar saja.

"Aku tidak ingat apapun" bohongku berusaha keras meyakinkan mereka. "Jangan banyak menunda-nunda, katakan apa saja mengenai dirimu, Ares." ucap Khaerin tak sabaran.

Aku berusaha keras menahan semua kegugupan ku sambil terus berharap mereka tidak memiliki kemampuan membaca pikiran seseorang.

"Hal paling awal yang kuingat, aku sedang kabur lewat jendela rumah seseorang lalu berjalan tanpa tujuan ke tengah keramaian dan kemudian semuanya berawal ketika aku menemukan seekor anjing-

"Reizard" potong Axellone. Aku meneguk salivaku ketika melihat tatapannya yang tiba-tiba terasa dingin padaku. "Yah, maksudku Reizard yang tergeletak di gang itu." lanjutku dalam satu tarikan nafas.

"Lalu?" ucap Khaerin tak sabaran. "Kau mau mendengar apa lagi dariku? Kalian semua sudah tau kelanjutannya dari Reizard" jawabku sambil memainkan pena di genggaman ku.

"Kau lupa ingatan? Reaksimu tidak terlihat seperti orang yang lupa ingatan. Terlalu lugu dan santai" Khaerin bangkit dari kursinya lalu berjalan mengambil sebuah notes dan menuliskan sesuatu di sana. "Axellone, mungkin karena itu. Aku sudah pernah mengecek kondisi tubuhnya dan tidak ada yang salah disana"

"Hah, apa maksud kalian?" tanyaku. Khaerin mengabaikan ku sambil melanjutkan kegiatannya menuliskan sesuatu di lembaran notesnya.

Merasa tidak akan mendapat jawaban darinya, aku mengalihkan pandanganku pada Axellone. Aku sedikit terkejut melihatnya memperhatikan pulpen yang ada di genggamanku. "Mungkin saja" jawabnya sambil tidak melepaskan pandangannya

"Hei ayolah, apa kalian berdua tidak akan mengatakan apapun padaku?"

Suara pintu yang tiba-tiba terbuka membuatku berhenti mengeluh. Elfa berdiri di samping pintu tersebut sambil memamerkan senyuman cerianya. "Apa aku mengganggu? Tidak kan? Tidak dong ya kan? Ahahahaha" aku melirik ke arah Khaerin dan Axellone. Mereka terlihat biasa saja dengan sikap Elfa yang berlebihan itu.

"Axellone, kiriman dari bagian barat sudah tiba. Kau harus segera melihatnya" tanpa basa-basi, Axellone segera bangkit berdiri dan pergi keluar bersama Elfa. Sekilas, aku melihat mukanya yang terlihat seperti... Entahlah, mungkin kata 'tidak nyaman' sepertinya cocok untuk mendeskripsikannya

AFTHARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang