10. Siapa?

54 5 0
                                    

Aku memasukkan selembar roti selai nanas ke mulutku dan mengunyahnya sambil terus membiarkan Dion yang terus menatapku. Pagi ini kami sedang bersiap-siap pergi ke sekolah dan entah kenapa, sepertinya aku mulai menyukai rasa nanas.

"Jadi mulai kapan aku bisa pergi ke Nactralus untuk mencari jati diriku?" tanyaku sambil melirik ke arah Debby.

"Pfffft" Aku melirik tajam Dion yang sedang berusaha menahan tawanya. "Apa yang lucu?"

"Kau bahkan tidak tau kalau kau sekarang sedang berada di Nactralus, nenas bodoh"

Ucapan Dion cukup membuatku tersedak. Aku segera menyambar minuman di samping piringku dan meneguknya rakus. Aku mengabaikan Dion yang masih setia menertawakan ku dan melihat ke arah Debby meminta penjelasan. Tapi sayangnya, ia hanya menganggukkan kepalanya.

Aku menghela nafasku pelan. Harusnya aku bisa menyadarinya. Akhir-akhir ini aku sudah terlalu banyak merasa kaget.

"Danyar wang anye nya hoho!"
*Dasar orang aneh yang bodoh!*

Aku melemparkan tatapan bermusuhan pada Khaerin yang juga melakukan hal yang sama padaku. Menurutku dia lebih cocok dengan sebutan 'orang aneh' dari padaku. Kenapa? Karena dia memakan sarapannya di bawah meja yang berseberangan dengan meja makan. Mulutnya penuh dengan roti selaras dengan porsi roti di piringnya yang jumbo. Persis seperti cara makan seorang bocah kecil.

"Afa?!" *Apa?!* sentak Khaerin yang tidak suka dengan tatapanku.

Aku memutar bola mataku. Sebenarnya wajah Khaerin sangat cantik. Wajahnya halus dan imut seperti boneka. Ditambah lagi tubuhnya yang mungil membuatnya terlihat semakin menggemaskan. Tapi sayangnya, dia kembaran setan.

"Kau..." Suara Axellone membuatku melirik ke arahnya. Iris hitamnya menatapku dengan datar seperti biasa. "Aku tidak apa-apa" ucapku cepat. Sudah pasti dia ingin menanyakan tentang tingkahku semalam.

Aku menunduk sambil memainkan roti di piringku. Sebenarnya aku tidak bisa dibilang 'tidak apa-apa', tapi mau bagaimana lagi? Sejak kematian kedua orangtuaku, aku akan selalu kehilangan segala emosi ku disaat aku sedang tertekan. Lega? Justru tidak! Rasanya semakin menyiksaku. Seperti jika kau ingin berteriak namun suaramu tidak mau keluar.

Orang yang pernah merasakannya pasti mengerti. Disaat kau sedang tersiksa dengan emosi mu dan tiba-tiba saja seluruh emosimu itu hilang tak berbekas. Sama seperti semalam.

Kecewa, kesal, protes dan bahkan aku merasa bodoh disaat yang bersamaan. Tapi sayangnya, aku tidak bisa mengungkapkannya. Yang tertinggal cuma kehampaan. Beberapa detik yang lalu kau bersedih dan sekarang kau kebingungan menanyakan untuk apa kau bersedih. Tiba-tiba saja perasaan itu ditarik darimu. Sama sekali tidak melegakan! Jangan pernah berharap untuk merasakannya.

"Hei, selamat pagi!"

Reizard turun dari lantai dua sambil memamerkan senyumannya setelah menyapa kami. Dibelakangnya, menyusul Zaka yang terlihat sangat berantakan dengan seragamnya. Wajahnya juga terlihat kusut. "Dengar, mulai besok aku mau Ares sudah ada dalam jadwal pagi membangunkan babi yang satu ini! Siapapun tolong gantikan aku" ucap Zaka sambil mengacak-acak rambutnya.

Reizard terkekeh sambil mengambil selembar roti dari piring Axellone. Dibagian ini aku takjub melihat mereka yang tidak terlihat segan dengan Axellone mengingat wajahnya yang datar itu.

"Dimana Elfa?" tanya Zaka

"Hari ini dia piket pagi, jadi dia berangkat duluan" jawab Debby. Sesaat, aku tertarik melihat tingkah Dion dan Khaerin yang tertangkap mataku. Disana, mereka sedang bertengkar seperti kucing dan anjing.

AFTHARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang